Nasionalisme dan Humanisme dalam Karya Pramoedya Ananta Toer
Membaca karya Pramoedya layaknya melacak jejak nasionalisme dan perjuangan bangsa. Ada sentuhan humanisme di situ.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·2 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Karya sastra dari Pramoedya Ananta Toer tak hanya sarat nilai nasionalisme, tetapi juga penuh sentuhan humanisme. Membaca karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer menjadi penting dalam menelusuri kesejarahan Indonesia.
Hal itu mengemuka dalam seminar Bali Bhuwana Kanti, serangkaian festival internasional yang digelar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, bekerja sama dengan Bentara Budaya Bali, Kompas Gramedia, Gramedia Pustaka Utama, dan Toko Buku Gramedia, Kamis (25/4/2024). Seminar yang berlangsung di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar itu mengusung tema ”Menimbang Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manu Budi”.
Hadir sebagai pembicara, kritikus sastra asal Korea Selatan, Koh Young Hun. Profesor sastra dari Hankuk University of Foreign Studies itu juga menulis buku Pramoedya Menggugat, Melacak Jejak Indonesia.
Seperti diketahui, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) merupakan tokoh sastra Indonesia yang juga seorang pejuang era kemerdekaan. Pujangga besar itu pernah dipenjara pada era kolonial, Orde Lama, dan Orde Baru. Oleh karena pandangannya dinilai prokomunitas Tiongkok dan dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI), ia ditangkap dan diasingkan. Novel dan karya-karya Pramoedya juga dilarang beredar pada era Orde Baru.
Dalam paparannya, Koh Young Hun menilai, pemenjaraan dan pengasingan terhadap tokoh sastra Pramoedya Ananta Toer terjadi lantaran pemerintah saat itu belum memahami atau berpura-pura tidak memahami karya Pramoedya.
”Padahal, Wakil Presiden Adam Malik pernah mengatakan, novel Pramoedya itu pantas difilmkan karena menggambarkan perjuangan rakyat,” katanya.
Penilaian terhadap karya-karya Pramoedya hanya dari satu sisi, menurut dia, tidak akan memberikan pemahaman keseluruhan pemikiran sang pujangga. Padahal, Pramoedya mengungkapkan pesannya tentang nasionalisme dan pandangannya mengenai humanisme melalui karya-karya itu.
Melihat Indonesia tidak hanya dari sisi heroiknya, tetapi lebih dari sisi insani. Ini penghayatan tentang Pramoedya yang mengarahkan kita pada penghayatan tentang kehidupan sejati, hidup untuk kehidupan.
Ia mencontohkan, dalam novel Perburuan, Pramoedya menyampaikan pemahamannya tentang nasionalisme dan kemanusiaan melalui tokoh Hardo. Itu muncul saat Hardo diminta pendapatnya tentang hukuman yang pantas dijatuhkan kepada Karmin.
”Hardo justru memaafkan Karmin karena menganggap Karmin belum mengerti, atau dalam istilah Jawa, durung ngerti wis dadi wong,” ujar Koh Young Hun.
Dalam pandangan Koh Young Hun, karya-karya Pramoedya sejajar dengan karya sastrawan dunia. Tak hanya dari sisi kualitas, jumlah seluruh halaman dari tetralogi Buru atau Bumi Manusia karya Pramoedya lebih banyak dibandingkan novel War and Peace karya Leo Tolstoy. Buku-buku Pramoedya juga sudah diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.
Nominator Nobel
Dari penuturan langsung Pramoedya, menurut Koh Young Hun, sastrawan penerima penghargaan Ramon Magsaysay itu sudah sejak 1981 dikabarkan menjadi nomine penerima Nobel. Namun, hal itu tidak pernah terwujud.
”Ada beberapa sebab dan alasan, terutama dari Pemerintah Indonesia saat itu,” kata Koh Young Hun.
Koh Young Hun juga menyebutkan, dalam dunia sastra Korea sendiri belum ada sastrawan besar seperti Pramoedya di Indonesia. ”Saya bisa mengatakan, dunia sastra Indonesia lebih unggul dari Korea,” ujarnya.
Adapun Rektor ISI Denpasar I Wayan ”Kun” Adnyana mengatakan, berdasarkan karya dan pengaruhnya terhadap dunia sastra, Pramoedya setara dengan empu. Membaca karya Pramoedya, menurut dia, menjadi penting dalam melihat sejarah Indonesia sedari masa kolonial hingga awal kemerdekaan.
”Melihat Indonesia tidak hanya dari sisi heroiknya, tetapi lebih dari sisi insani. Ini penghayatan tentang Pramoedya yang mengarahkan kita pada penghayatan tentang kehidupan sejati, hidup untuk kehidupan,” ujar Kun Adnyana.
Lebih lanjut Kun Adnyana mengatakan, acara seminar Bali Bhuwana Kanti menjadi bagian festival internasional Bali Padma Bhuwana, yang diselenggarakan ISI Denpasar, sebagai upaya ISI Denpasar dalam membangun poros perguruan tinggi seni dan desain Asia Pasifik (The Asia Pacific’s Axis of Arts and Design Higher Education) dan menuju Bali-Global Axis on Arts and Design.