Korupsi Timah dan Momentum Menyelamatkan Keberlanjutan Hidup di Bangka-Belitung
Tanpa komitmen kuat pemangku kepentingan terkait, pengungkapan kasus korupsi timah tidak akan berdampak untuk Babel.
PANGKAL PINANG, KOMPAS — Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertambangan ilegal membuat wilayah Bangka-Belitung yang sempit semakin kritis. Karena itu, pengungkapan kasus dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah 2015-2022 harus dioptimalkan untuk menyelamatkan keberlanjutan hidup di provinsi kepulauan tersebut.
Penjabat Gubernur Bangka-Belitung Safrizal ZA dalam Konsultasi Publik mengenai ”Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Daerah (KLHS RPJMD) Bangka-Belitung 2025-2029 di Kota Pangkal Pinang, Pulau Bangka, Rabu (24/4/2024), mengatakan, sebagai daerah kepulauan, faktor risiko kerusakan lingkungan Bangka-Belitung jauh lebih besar dibandingkan wilayah daratan. Salah satunya perubahan iklim yang memicu kenaikan muka air laut sehingga bisa menenggelamkan kawasan pesisir.
Baca juga: Pro dan Kontra Tanggapi Rencana Pemerintah Kelola Smelter Sitaan Korupsi Timah
Akibatnya, wilayah Bangka-Belitung yang sempit secara alami berpotensi semakin menyusut. Faktor risiko itu semakin parah oleh ulah aktivitas pertambangan yang tidak bertanggung jawab ataupun ilegal, terutama terkait komoditas timah. Terbukti, banyak kolong atau danau sisa penambangan timah ilegal di hampir seluruh wilayah Bangka-Belitung. Kolong-kolong itu tidak bisa menjadi ruang hidup hingga ada upaya pemulihan yang butuh waktu panjang.
Untuk itu, pengungkapan kasus korupsi timah harus betul-betul menjadi alarm semua pihak agar tidak sekadar mengutamakan syahwatnya dalam mengeksploitasi timah tanpa memikirkan masa depan anak-cucu yang akan menjadi generasi penerus Bangka-Belitung.
”Kalau kerusakan lingkungan terus terjadi, di masa depan, generasi penerus kita akan kesulitan mencari lahan hunian, kehilangan banyak cadangan oksigen, kesulitan air bersih, kelangkaan sumber pangan lokal, dan banyak lagi yang terkait rantai kehidupan,” ujar Safrizal.
Momentum yang harus diperhatikan dari pengungkapan kasus korupsi timah, lanjut Safrizal, itu adalah mencari titik kesimbangan baru agar pemanfaatan lingkungan bisa selaras dengan pelestarian lingkungan.
”Pasca-pengungkapan kasus korupsi timah, beban lingkungan Bangka-Belitung berkurang drastis karena hampir 100 persen pertambangan ilegal berhenti. Momentum itu harus disambut dengan membenahi tata kelola pertambangan untuk masa depan,” katanya.
Sulit menghentikan pertambangan
Yang pasti, Safrizal menuturkan, dalam waktu dekat atau jangka pendek, sulit untuk menghentikan aktivitas pertambangan timah sama sekali. Itu karena masyarakat ataupun perekonomian Bangka-Belitung masih sangat bergantung pada timah. Setidaknya 500.000-600.000 warga dari total 1.521.723 jiwa penduduk Bangka-Belitung bekerja di sektor pertambangan timah.
Saya mau stop pertambangan, tetapi bagaimana dampaknya.
Itu artinya, ada 30-40 persen penduduk Bangka-Belitung yang menggantungkan nasibnya pada timah. ”Saya mau stop pertambangan, tetapi bagaimana dampaknya. Itu pasti akan berdampak sosial sangat besar kalau dilakukan serta-merta (tiba-tiba atau radikal dalam waktu singkat),” tuturnya.
Kenapa bisa demikian, menurut Safrizal, itu karena timah bisa menghasilkan uang secara instan. Dalam waktu 12 jam, para penambang timah bisa mendapatkan uang sekian dollar AS dari menjual hasil tambangnya. Sebaliknya, kalau di sektor lain, seperti hortikultura, mereka butuh waktu untuk mendapatkan hasil panen. Itu pun kalau hasilnya baik.
”Menanam cabai contohnya, itu harus nunggu empat bulan untuk panen. Selama empat bulan, tanaman itu harus dirawat dengan baik,” ujarnya.
Oleh karena itu, Safrizal menyampaikan, menghentikan pertambangan timah harus direncanakan secara matang untuk jangka panjang. Selama pembenahan tata kelola pertambangan, pelan-pelan semua pemangku kepentingan terkait berupaya untuk mengubah pola pikir masyarakat agar yang tadinya petani kembali menjadi petani dan yang nelayan kembali menjadi nelayan.
Bagaimana caranya, itu harus dilakukan dengan kebijakan yang bisa memberikan kepastian keuntungan untuk masyarakat. Di sektor pertanian ataupun perkebunan, misalnya, pihak terkait harus mampu meningkatkan produktivitas semua komoditas dan memberi kepastian dalam distribusi penjualan.
Baca juga: Pengungkapan Korupsi Timah Tidak Hentikan Penambangan Ilegal di Babel
”Pelan-pelan, kita harus mendorong masyarakat beralih dari sektor pertambangan ke sektor-sektor lain yang potensial, seperti pertanian. Kita semua harus menyadari bahwa hasil tambang pasti ada waktu habisnya. Jadi, untuk keberlanjutan hidup di Bangka-Belitung, kita harus mulai memikirkan sistem ekonomi hijau. Itu tidak mudah, tetapi saya yakin bisa terealisasi suatu hari nanti asal semuanya berkomitmen berubah,” ujar Safrizal.
Butuh komitmen kuat
Ketua Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka-Belitung Reniati mengatakan, tanpa komitmen kuat dari pemangku kepentingan, sangat sulit mengubah pola perilaku masyarakat dari bergantung kepada timah menjadi ke sektor-sektor lainnya. Hal itu disebabkan perekonomian Bangka-Belitung masih sangat bergantung pada hasil timah.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, pada triwulan pertama tahun ini, terjadi deflasi di Pangkal Pinang dan Tanjung Pandan (Pulau Belitung). Hal itu menandakan terjadi penurunan harga jual komoditas bahan pokok yang diakibatkan penurunan daya beli masyarakat.
Dari sisi ekspor, belum ada komoditas yang diekspor dari Bangka-Belitung hingga Februari ini. Itu karena tidak ada timah yang bisa diekspor sehingga memengaruhi sektor lainnya. Sebelum terungkap kasus korupsi timah, 83 persen ekspor Bangka-Belitung berasal dari timah ataupun industri pengolahan timah. Sisanya, 17 persen, berasal dari industri pengolahan sawit.
Baca juga: Penyidik Kumpulkan Fakta Baru Dugaan Korupsi Timah di Bangka
Hingga akhir 2023, industri pengolahan timah berkontribusi 20,17 persen untuk struktur ekonomi Bangka-Belitung. Baru kemudian, ada pertanian dengan kontribusi 19,53 persen dan perdagangan 16,4 persen. Pengeluaran rumah tangga masyarakat menjadi sumber terbesar pertumbuhan ekonomi Bangka-Belitung, terutama yang berkecimpung dalam penambangan timah.
”Jadi, selama tidak ada komitmen kuat dari pemangku kepentingan dalam mengubah pola perilaku masyarakat agar beralih dari sektor pertambangan timah, hal itu akan sulit terealisasi. Dengan komitmen penuh saja, langkah itu tidak bisa berdampak instan, tetapi butuh proses panjang,” kata Reniati.
Hukum menjadi kunci
Sebaliknya, Direktur Bangka-Belitung Resources Institute Teddy Marbinanda berpandangan, masa depan Bangka-Belitung akan sangat ditentukan oleh pengungkapan kasus korupsi timah yang sedang berlangsung. Kalau Kejaksaan Agung yang menangani kasus dengan dugaan kerugian negara Rp 271 triliun itu tidak mengungkapnya secara tuntas, praktik pertambangan timah yang tidak bertanggung jawab akan terus terjadi.
Karena itu, Teddy berharap, Kejaksaan Agung bisa mengungkap fakta dari perkara tersebut seluas-luasnya. Selain itu, prosesnya jangan sampai berlarut-larut agar segera mendapatkan kepastian hukum. Kalau tidak, opini dan spekulasi di masyarakat akan terus berkembang. Dampaknya, secara pelan-pelan, praktik pertambangan timah ilegal yang sekarang cenderung tiarap akan kembali bermunculan.
Baca juga: Lima Smelter Terkait Dugaan Korupsi Timah Akan Dikelola Negara
”Pengungkapan kasus korupsi timah ini adalah momentum berharga untuk membawa pertambangan timah ke era baru yang bisa bermanfaat optimal untuk masyarakat ataupun negara dan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah. Tetapi, kalau tidak ada komitmen kuat dari penegak hukum dalam menuntaskan kasus ini secara luas, kita akan kehilangan momentum untuk membenahi tata kelola pertambangan timah yang sangat menentukan masa depan Bangka-Belitung,” tutur Teddy.
Pemerhati sejarah Bangka-Belitung yang menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia Dato Akhmad Elvian menuturkan, sejak era Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin I (berkuasa 1724-1757), Bangka-Belitung sudah mengenal batasan atau aturan dalam penambangan timah sebagaimana tertuang dalam hukum adat Kitab Sindang Mardika. Isinya adalah tidak boleh menambang timah di tujuh lokasi sakral.
Lokasinya, yakni wilayah cadangan ladang atau kebun untuk sumber cadangan pangan. Wilayah cadangan kampung untuk perluasan kampung. Hutan konservasi atau peramun (peramu) untuk sumber bahan baku pembuatan rumah, perahu, dan mencari obat-obatan tradisional. Hutan adat untuk sumber kehidupan sehari-hari, antara lain mengambil buah-buah hutan.
”Wilayah pesisir untuk mencegah bencana dan sumber pangan laut. Sempadan sungai untuk sumber air bersih. Bukit dan gunung yang menjadi sumber mata air dan habitat satwa liar sebagai bagian rantai kehidupan manusia,” ujar Elvian.
Baca juga: Korupsi Timah Sisakan Kerusakan Lingkungan dan Anak Putus Sekolah
Menjadi kebiadaban lokal
Elvian menyampaikan, hukum adat itu turut diadopsi oleh pemerintah kolonial hingga era Orde Baru Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, sejak era Reformasi yang mengubah status timah yang tidak lagi menjadi komoditas strategis, kebijakan itu memicu keterlibatan masyarakat secara luas untuk menambah timah.
Akhirnya, kearifan lokal yang sudah terjaga sejak lama diabaikan demi keuntungan sesaat. Itu menjadi awal malapetaka yang memicu kerusakan lingkungan secara masif. ”Akhirnya, kearifan lokal itu menjadi kebiadaban lokal,” kata Elvian.
Keuntungan yang didapat dari pertambangan yang tidak bertanggung jawab, menurut Elvian, itu tidak memberikan banyak manfaat untuk masyarakat. Sebagian besar hasil tambang semacam itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nilainya tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan yang akan dipikul masyarakat di masa depan.
”Tidak heran, perekonomian masyarakat tidak meningkat signifikan. Pembangunan di Bangka-Belitung pun cenderung jalan di tempat. Lalu, siapa yang diuntungkan? Hanya sebagian pihak saja. Orang-orang yang diuntungkan itu hidup bergelimang harta tanpa pernah merasakan dampak kerusakan lingkungan di sini karena mereka tinggal di rumah mewahnya di luar Bangka-Belitung,” tuturnya.
Tidak heran, perekonomian masyarakat tidak meningkat signifikan. Pembangunan di Bangka-Belitung pun cenderung jalan di tempat.
Untuk itu, Elvian berpesan agar semua pemangku kepentingan tidak menyia-nyiakan momentum pengungkapan kasus korupsi timah untuk membenahi tata kelola pertambangan timah di Bangka-Belitung.
”Sejarah mencatat, pertambangan yang dilakukan secara bertanggung jawab bisa memberikan manfaat untuk masyarakat dan pemerintah tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan,” kata Elvian.