Patroli dan Deklarasi Belum Selesaikan Konflik Sawit di Kotawaringin Timur
Patroli besar dan deklarasi bersama di Mentaya Hulu dinilai tidak selesaikan masalah di balik aksi panen massal.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·2 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Untuk antisipasi aksi panen sawit perusahaan secara massal di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Polda Kalteng patroli dan rangkul tokoh masyarakat untuk tolak aksi. Namun, hal itu dinilai tak selesaikan masalah.
Minggu (21/4/2024), tokoh masyarakat di Kotawaringin Timur dan pejabat di Kecamatan Mentaya Hulu dan Bukit Santuai menggelar deklarasi bersama. Isinya menolak pencurian massal buah sawit milik perusahaan setempat. Deklarasi itu dilaksanakan di Gelanggang Olah Raga (GOR) Borneo di Kecamatan Mentaya Hulu.
Camat Mentaya Hulu Indra menjelaskan, deklarasi itu dilakukan sebagai respons atas gerakan pencurian massal terhadap kebun sawit perusahaan di wilayah dua kecamatan tersebut. ”Kami menolak segala bentuk aksi pemanenan, pencurian, penjarahan, pengumpulan, pengangkutan tandan buah sawit secara tidak sah atau hasil perbuatan tindak pidana,” katanya.
Indra menambahkan, elemen masyarakat setempat sepakat dukung aparat penegak hukum untuk menindak tegas warga yang memanen buah sawit secara tidak sah.
Sebagaimana diketahui, warga di Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, memanen massal buah sawit di area perkebunan milik sebuah perusahaan. Aparat kemudian menangkap tujuh orang dalam peristiwa yang dinilai sebagai bentuk pencurian tersebut. Namun, kelompok advokasi petani sawit setempat menyebutnya sebagai bentuk protes atas minimnya kesejahteraan petani plasma.
Kami akan mengoptimalkan Satgas Penanganan Konflik Sosial (PKS) di seluruh wilayah Provinsi Kalteng sehingga konflik sosial dapat kita cegah sedini mungkin.
Polisi menyita sejumlah barang bukti, yakni dua mobil pikap untuk mengangkut sawit dan peralatan panen buah sawit, seperti egrek, tojok, dan angkong. Selain itu, polisi juga menyita beberapa janjang buah sawit yang dicuri.
”Kami juga siap dan akan ikut membantu aparat untuk menjaga keamanan dan ketertiban di kecamatan,” ujar Indra.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji mengungkapkan, deklarasi bersama itu merupakan bentuk penolakan terhadap perbuatan melawan hukum. Menurut dia, panen massal itu, selain tindak pidana, juga mengganggu ketertiban umum.
”Kami akan mengoptimalkan Satgas Penanganan Konflik Sosial (PKS) di seluruh wilayah Provinsi Kalteng sehingga konflik sosial dapat kita cegah sedini mungkin,” kata Erlan.
Satuan tugas tersebut, lanjut Erlan, merupakan bagian dari upaya untuk mencegah konflik sosial di tengah masyarakat. Salah satunya dengan melaksanakan patroli besar di wilayah Kotawaringin Timur.
Aksi memanen ini menjadi fenomena yang seharusnya dilihat masalah di belakang fenomena itu. (Bayu)
Menanggapi hal tersebut, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata menyayangkan deklarasi bersama yang digelar pejabat kecamatan itu tidak mengundang pihak yang berkonflik, yakni perusahaan dan warga sekitar. Dengan demikian, menurut dia, deklarasi itu tidak menyelesaikan masalah.
Aksi pemanenan buah sawit, lanjut Bayu, terjadi lantaran banyak janji yang diberikan pemerintah dan perusahaan perkebunan di wilayah warga yang tidak terealisasi. Mereka kemudian menuntut perusahaan menjalankan kewajibannya, tetapi komunikasi itu buntu sehingga memanen sawit menjadi aksi untuk menunjukkan sikap protes mereka.
”Aksi memanen ini menjadi fenomena yang seharusnya dilihat masalah di belakang fenomena itu. Fenomena itu membesar ke desa-desa hampir di seluruh Kalteng,” ungkap Bayu.
Bayu menambahkan, fenomena itu terjadi lantaran banyak lahan warga yang dirampas atau dibebani izin. Perusahaan datang dengan sejuta janji, termasuk kebun plasma, yang sampai saat ini tidak diberikan.
”(Aksi panen) Ini dianggap masyarakat cukup berhasil untuk mendapatkan respons oleh perusahaan agar mendengarkan tuntutan mereka dan membuka proses untuk penyelesaian konflik atau kasus mereka, sayangnya mereka justru ditangkap. Masalah itu diselesaikan hanya dengan tindak pidana, yang justru menambah masalah baru,” ungkap Bayu.