Tata Kelola Perkebunan Sawit Ilegal Jalan di Tempat
Perbaikan tata kelola sawit di Indonesia menanti penegakan hukum tegas agar tidak selalu merugikan negara.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Tanpa penegakan hukum, perbaikan tata kelola sawit di Indonesia dinilai jalan di tempat. Sampai saat ini perusahaan yang berada di kawasan hutan masih beroperasi, bahkan berkonflik dengan masyarakat setempat. Di satu sisi, para pengusaha bingung dengan kebijakan pemerintah.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Pusat Hadi Sugeng mengungkapkan, implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan sangat memberatkan pengusaha karena syaratnya kesesuaian tata ruang.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang izinnya tidak sesuai tata ruang dikenai denda yang ia nilai sangat besar. Apalagi, perusahaan hanya diberi waktu satu kali daur hidup (satu kali tanam satu kali panen). Hal itu tercantum dalam UUCK Pasal 110b.
”Perusahaan hanya diberi waktu satu kali waktu daur dan harus dikembalikan menjadi fungsi hutan, itu sangat memberatkan dan membutuhkan biaya besar. Di satu sisi, pengusaha sawit harus menjaga devisa negara dari nilai ekspor,” kata Hadi dalam Forum Diskusi bertajuk ”Prospek Perkembangan Sawit Pasca-UUCK”, yang digelar GAPKI, di Palangkaraya, Senin (5/2/20240). Forum itu dihadiri Gubernur Kalteng Sugianto Sabran, Hadi Sugeng, pengamat hukum kehutanan dari Universitas Al Azhar Jakarta, Sadino; dan ratusan pengusaha perkebunan kelapa sawit di Kalteng.
Hadi menyinggung soal perkebunan sawit yang masuk kawasan hutan yang saat ini sedang ditangani satgas sawit pemerintah pusat. Dari data yang ia peroleh melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) setidaknya ada 20 surat keputusan dengan total 2.128 perusahaan swasta dengan luas 2,17 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang masuk kawasan hutan.
Jika 2,17 juta hektar perkebunan kelapa sawit itu didenda dan dicabut izinnya, Indonesia akan kehilangan 6,9 juta ton minyak kepala sawit mentah (CPO) atau setara Rp 112 triliun tiap tahun. Dampaknya akan mengurangi devisa negara.
Ini (sawit masuk kawasan hutan) yang sampai 700.000 hektar harus dicari jalan keluar karena merugikan negara juga.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran menyebut, perkebunan kelapa sawit di Kalteng mencapai 1,9 juta hektar. Rinciannya, 330.000 hektar merupakan kebun rakyat dan lebih kurang 1,5 juta hektar merupakan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta sekaligus merupakan terluas ketiga di Indonesia.
Sugianto menyebut, dari total itu hampir 700.000 hektar perkebunan kelapa sawit Kalteng ada di kawasan hutan. Ia meminta agar pemerintah pusat bisa segera memberikan jalan keluar melalui satgas sawit. Sampai saat ini pihaknya masih menunggu hasil evaluasi satgas sawit untuk masa depan industri sawit di Kalteng.
”Ini (sawit masuk kawasan hutan) yang sampai 700.000 hektar harus dicari jalan keluar karena merugikan negara juga. Jalan keluar dari sisi sosial ataupun persoalan hukum. Saya bilang, kalau mau denda, denda saja; yang penting ada kepastian hukum,” kata Sugianto.
Sugianto menyebutkan, persoalan ini berdampak besar ke investasi dan kehidupan masyarakat Kalteng. Dalam dua tahun belakangan terjadi penjarahan besar-besaran terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan sawit besar di Kalteng. Penjarahan itu, menurut Sugianto, berpangkal pada masalah sawit masuk kawasan hutan dan persoalan plasma.
Harusnya, jika ada pelanggaran hukum, apalagi soal kebun masuk kawasan hutan, harusnya ada tindakan hukum.
Melihat hal itu, Direktur Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata mengungkapkan, persoalan sawit masuk kawasan hutan merupakan persoalan klasik yang tak kunjung usai. Pengusaha ingin menghindari pajak, pemerintah ingin menata kembali pengelolaan sawit yang sampai saat ini jalan di tempat.
”Percuma saja kalau evaluasinya setengah hati. Harusnya, jika ada pelanggaran hukum, apalagi soal kebun masuk kawasan hutan, harusnya ada tindakan hukum. Selama tidak ada penegakan hukum, percuma saja,” kata Bayu.
Sudah puluhan tahun, lanjut Bayu, perusahaan beroperasi di kawasan hutan itu tanpa membayar pajak, tetapi tidak ada penegakan hukum. Perbaikan tata kelola melalui satgas sawit, menurut Bayu, harus berhasil menghitung kerugian negara selama ini, termasuk kerugian lingkungan dari menggunakan kawasan hutan menjadi kebun sawit yang merupakan sumber bencana dan konflik.
”Harusnya 2 November tahun lalu informasinya dibuka oleh satgas sawit, tetapi sampai sekarang belum. Ada potensi dan celah terjadi manipulasi,” kata Bayu.