Ketika Undang-undang Jadi Pertaruhan antara Tidur di Teras dan Kasur
Para seniman dan aktivis melakukan aksi protes dengan menggelar pentas ketoprak ”Mahkamah Kongkalikong”. Pentas ini memprotes putusan MK yang dinilai kontroversial soal syarat capres dan cawapres.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Undang-undang tidak sekadar menjadi urusan negara. Masalah itu bahkan bisa merembet menjadi urusan rumah tangga dan bahkan bisa berujung menjadi perdebatan, hingga bahan pertaruhan antara tidur di teras atau kasur.
Hal itu terbukti dalam perbincangan antara Usmani dan istrinya, di rumahnya di Desa Antah Berantah, Senin (6/11/2023) petang. Usmani adalah pimpinan dari segala aturan konstitusi, termasuk aturan tentang pemilihan lurah.
Perbincangan tersebut merupakan bagian dari sandiwara Ketoprak Tobong di Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (6/11/2023). Sandiwara itu mengusung lakon Mahkamah Kongkalikong.
Seusai mencicip durian, Usmani bertanya kepada sang istri, apa yang membuatnya terlihat muram dan kurang senang. Suasana justru berangsur memanas saat sang istri mengucapkan keinginannya.
Dengan nada tinggi, ia mendesak Usmani agar mau mengubah aturan pemilihan lurah. Aturan yang diinginkan untuk diubah adalah aturan terkait batas usia dari calon lurah dan wakil lurah. Dengan demikian, keponakannya bisa memenuhi syarat maju sebagai kandidat wakil lurah.
Usmani berulang kali mengungkapkan keraguan. Ia hanya mengatakan akan mengusahakannya. Namun, sang istri terus memaksa.
”Pilihannya mau atau tidak. Mau tidur di teras atau tidur di kasur?” ujarnya mengancam.
Pilihan tidur di kasur adalah pilihan yang diberikan ketika suaminya mau menuruti keinginan mengubah aturan, sesuai keinginan istri. Adapun tidur di teras adalah pilihan yang harus dijalani ketika Usmani menolak untuk mengubah aturan tentang pemilihan lurah.
Sang istri pun terus-menerus mengintimidasi. Dia berdalih bahwa itu bukanlah hal sepele karena hal tersebut menyangkut masalah keluarga. Gibas, bakal calon yang digadang-gadang maju sebagai bakal calon wakil lurah, adalah putra dari kakak ipar Usmani yang saat ini masih menjabat sebagai lurah.
Terakhir, dia pun mengeluarkan ancaman terdahsyatnya. ”Kalau tidak mau juga, biar aku yang pergi saja!” ujar sang istri ketus.
Usmani pun menarik tangan istrinya dan menganggukkan kepala pertanda mengalah dan mau mengubah aturan tersebut.
Tak berapa lama, setelah situasi mulai tenang, si Lurah Antah Berantah, yang kemudian dipanggil sebagai Jaka Widagdo, muncul. Dia menanyakan apakah situasi baik-baik saja.
Istri Usmani menawarkan sisa duren yang ada di meja. Namun, Jaka kemudian justru menanggapi sinis.
”Opo duren kui lambang nek aku kudu leren?” tanya Jaka. Kalimat itu bermakna, apakah durian itu bermakna lambang, sindiran, bahwa aku harus berhenti menjabat? Namun, pertanyaan itu dijawab tawa dari Usmani dan istrinya.
Adegan kemudian berganti dengan adegan Jaka merangkul seorang cantrik, yang terlihat girang dan menari-nari. Dia menenangkan dan berbisik ke telinga cantrik tersebut, ojo kesusu, jangan terburu-buru.
”Tunggu Gibas untuk jadi perpanjangan kekuasaanku,” ujarnya. Mendengar itu, cantrik tersebut kembali menari-nari.
Adegan kembali berganti. Sejumlah hakim duduk di sekeliling meja panjang. Mereka memperdebatkan soal batas usia calon lurah dan calon wakil lurah. Sebagian berkeras menolak dan sebagian lainnya, termasuk Usmani, berkeras mengubah dari batas usia 40 tahun menjadi 35 tahun.
Beberapa hakim yang menolak kemudian juga berupaya menyadarkan Usmani. Mereka mengatakan, seorang hakim tidak bisa terlibat mengambil keputusan ketika perkara tersebut menyangkut seseorang yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Ketika hakim itu nekat, keputusannya bisa dibatalkan dan yang bersangkutan bisa terkena sanksi administratif, bahkan diproses pidana.
Setelah itu, muncul seorang pegawai yang menyorongkan surat-surat aduan dari masyarakat, yang isinya menolak tentang rencana pengubahan aturan tersebut.
”Lalu bagaimana ini?” seorang hakim bertanya kebingungan.
Namun, akhirnya adegan ditutup, dengan pernyataan keras hakim lainnya bahwa ini adalah negara republik. Jadi, segala sesuatunya harus diputuskan oleh rakyat.
Maka, semua pemeran hakim kemudian menari-nari, maju mendekati penonton, sambil terus-menerus berseru, keputusan tentang pengubahan aturan tersebut harus ditolak. ”Harus dikembalikan kepada rakyat, harus ditolak!” ujar mereka.
Pimpinan produksi pentas Mahkamah Kongkalikong, Widihasto Wasan Putra, mengatakan, pentas ini merupakan bentuk aksi protes terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang dikemas dalam bentuk budaya. Protes ditujukan terkait putusan MK yang dinilai kontroversial, terkait dengan syarat untuk maju sebagai calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres). Putusan ini yang akhirnya membukakan peluang bagi Gibran Rakabuming Raka, keponakan pimpinan MK Anwar Usman, untuk maju sebagai bakal cawapres.
”Putusan MK itu sarat dengan kepentingan KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), terutama karena dibuat saat tahapan pemilu sudah berlangsung,” ujarnya.
Pentas ini melibatkan 30 orang yang terdiri dari seniman dan aktivis. Dengan pentas ini, diharapkan Majelis Kehormatan MK bisa memberikan putusan terbaik sesuai harapan masyarakat.
Hendro Plered, salah satu seniman yang terlibat, mengatakan, jika mahasiswa sering disebut sebagai agen perubahan, kelompok seniman adalah agen dari kritik. Seniman harus bisa mengkritisi segala masalah dan perubahan di masyarakat.
Putusan MK itu sarat dengan kepentingan KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), terutama karena dibuat saat tahapan pemilu sudah berlangsung.
Lola (52), salah seorang penonton, memuji aksi protes yang dikemas dalam pentas ketoprak tersebut.
”Protes tidak selamanya harus dikemas menjadi aksi turun ke jalan, berteriak keras dan merusak. Protes juga bisa dikemas menjadi tontonan seni yang menarik dan bermakna,” ujarnya.