Nilai Tukar Petani di Kalteng Turun, Pupuk Langka Jadi Pemicu
Nilai tukar petani di Kalimantan Tengah menurun. Hal itu dipicu beberapa faktor, salah satunya karena pupuk bersubsidi yang langka.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Nilai tukar petani di Kalimantan Tengah menurun dari 119,99 pada Mei lalu menjadi 115,35 pada Juni 2023. Salah satu faktor pemicu adalah langkanya pupuk bersubsidi di sekitar wilayah petani sehingga biaya produksi meningkat.
Herianto (48), petani di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, mengungkapkan, saat ini pupuk bersubsidi mulai langka, khususnya jenis NPK (nitrogen, fosfor, dan kalium). Dirinya beserta 15 anggota kelompok tani harus mengeluarkan biaya tambahan untuk bisa membeli pupuk non-subsidi yang harganya lebih mahal.
Di Pulang Pisau, pupuk bersubsidi bisa didapat dengan harga Rp 115.000 per karung ukuran 50 kilogram (kg), sedangkan pupuk non-subsidi harganya berkisar Rp 350.000-Rp 500.000 per 50 kg.
Herianto menjelaskan, sawahnya yang seluas hampir 2 hektar membutuhkan setidaknya tiga karung atau 150 kg pupuk urea dan empat karung atau 200 kg pupuk NPK di masa tanam kali ini. Heri dan kelompok taninya pun terpaksa meminjam ke bank untuk biaya produksi. Sebagian petani lain bahkan meminjam uang ke tetangga.
”Mau tidak mau harus dipupuk. Kalau tidak, ya, pasti gagal panen. Itu pasti. Jadi, bagaimana caranya, ya, harus beli berapa pun harganya,” kata Heri, Senin (3/7/2023).
Hal serupa terjadi di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau. Menurut Kepala Desa Pilang, Rusli, pupuk mulai langka sehingga petani kesulitan produksi, khususnya petani yang memiliki kebun karet dan kelapa sawit.
Kalau yang masuk food estate, masih ada pupuk persediaan yang dulu.
Adapun untuk petani yang masuk dalam program lumbung pangan atau food estate, masih memiliki persediaan pupuk bantuan pemerintah. ”Yang agak kesulitan petani yang berkebun kelapa sawit. Kalau yang masuk food estate, masih ada pupuk persediaan yang dulu,” kata Rusli.
Harga pupuk non-subsidi yang tinggi dan langkanya pupuk bersubsidi memicu tingginya biaya produksi. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng mencatat kenaikan itu melalui nilai tukar petani (NTP) gabungan di Kalimantan Tengah. NTP merupakan indikator untuk melihat kemampuan atau daya beli (tukar) petani di pedesaan.
BPS Kalteng mencatat, selama Juni 2023, NTP di Kalteng sebesar 115,25 atau turun 3,13 persen dibandingkan dengan Mei 2023 yang mencapai 118,38. Kepala BPS Kalteng Eko Marsoro menjelaskan, penurunan itu disebabkan turunnya nilai tukar pada beberapa subsektor, yakni tanaman perkebunan rakyat 5,43 persen, perikanan 0,80 persen, dan tanaman pangan 0,03 persen.
Sementara itu, subsektor peternakan dan hortikultura mengalami peningkatan nilai tukar masing-masing sebesar 2,29 persen dan 0,66 persen.
Pada subsektor tanaman pangan yang di dalamnya termasuk komoditas padi, nilai tukar petani di Kalteng menurun dari 99,73 pada Mei lalu menjadi 99,70 saat ini. Nilai di bawah 100 memiliki arti pengeluaran petani jauh lebih besar ketimbang pemasukan mereka dari hasil panen atau hasil produksi.
”Penurunan pada petani kelompok padi disebabkan belum panennya gabah di petani yang menyebabkan stok gabah menjadi sedikit dan harga gabah mengalami peningkatan. Selain itu, juga tentunya pupuk sebagai penunjang produksi,” ujar Eko.
Herianto dan puluhan anggota kelompok tani di Desa Belanti Siam merupakan penerima manfaat Program Strategis Nasional (PSN) lumbung pangan atau yang dikenal dengan sebutan food estate. Menurut Herianto, program itu merangsang petani untuk bisa memproduksi lebih daripada biasanya dengan berbagai macam bantuan, mulai dari benih sampai pupuk.
Namun, bantuan itu hanya berjalan di tahun pertama pada 2019-2020. Saat ini, semua petani di desanya mengeluarkan biaya sendiri untuk mengolah sawah mereka masing-masing. ”Meskipun memang banyak bantuannya dulu, terus ada program lain, kan, seperti ikan, bibit buah, dan sayur, dan banyak lagi,” kata Heri.
Heri hanya berharap stok pupuk bersubsidi diperbanyak sehingga petani tak perlu keluar desa untuk membeli pupuk. ”Berapa pun harganya, petani harus beli karena kalau enggak, ya, tak bisa hidup padinya,” katanya.