Konflik Lahan di Kotawaringin Barat Berujung Jeruji untuk Petani
Konflik lahan di Kalteng berujung pada penangkapan warga yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Di Kotawaringin Barat, tiga petani dipenjara lantaran dituduh mencuri di kebun sendiri.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
PANGKALAN BUN, KOMPAS — Tiga warga Desa Kinjil, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah ditangkap dan dipenjara karena diduga mencuri sawit di kebunnya sendiri. Selain mereka, 10 warga Desa Babual Baboti tak jauh dari Desa Kinjil juga ditangkap polisi lantaran protes soal plasma. Dua peristiwa itu dinilai sebagai dampak buruk penyelesaian konflik lahan.
Tiga warga Desa Kinjil itu adalah Aleng Sugianto (58), Suwadi (40), dan Maju (51). Ketiganya kini menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah setelah berkas perkaranya dilimpahkan dari Polres Kotawaringin Barat.
Sri Sukatmi, menantu Aleng dan juga istri Suwadi, menjelaskan, saat ini dirinya dan keluarga masih belum percaya bahwa Aleng dan dua orang lainnya ditangkap karena memanen buah sawit di kebunnya sendiri. Ia merasa tindakan itu tidak adil untuk keluarganya.
Dampaknya, kini mereka kehilangan tulang punggung keluarga dan harus mencari alternatif mata pencarian lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup juga sekolah anak.
”Dulu kan sering berladang, suami saya juga kerja di perusahaan itu sudah 16 tahun, ini malah ditangkap,” kata Sri dari Desa Kinjil, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng, Minggu (25/6/2023).
Aleng dan dua temannya itu ditangkap pada 27 April 2023 karena diduga mencuri buah sawit milik perusahaan yang ditanam di kebun milik Aleng. Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat Yudhi Satriyo Nugroho menjelaskan, berkas ketiganya telah lengkap dan saat ini sedang dilakukan pemeriksaan lanjutan di Kejaksaan Negeri Kotawaringin.
Dalam waktu dekat, lanjut Yudhi, pihaknya akan melimpahkan kasus itu ke pengadilan karena berkas telah lengkap. Menurut dia, dari berkas yang ia terima, Aleng dan dua temannya mengakui jika sawit yang mereka ambil merupakan sawit milik perusahaan. Ia menyatakan tak perlu lagi bertanya soal kepemilikan tanah.
”Kami hanya fokus pada berkas yang ada di kami, kalau persoalan lahan mungkin ranahnya perdata,” kata Yudhi saat ditemui di Pangkalan Bun, Selasa (20/6/2023).
Pelimpahan dari Polres Kotawaringin Barat ke Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat terjadi pada Selasa (20/6/2023) pagi. Aleng dan dua tersangka lainnya langsung diperiksa saat tiba di kantor kejaksaan.
Yudhi menjelaskan, penyidik kepolisian menjerat mereka dengan Pasal 363 Ayat 1 Ke-4 KUHP dengan tuntutan tujuh tahun penjara. Dari hasil pemeriksaan, Aleng dan dua temannya diduga mencuri buah sawit dengan total kerugian Rp 2,9 juta rupiah dari PT Bumitama Gunajaya Abadi (BGA).
Kebun plasma
PT BGA merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Perusahaan itulah yang melaporkan Aleng, Suwandi, dan Maju atas dugaan pencurian buah sawit. Perusahaan itu setidaknya memiliki luas kebun sebesar lebih kurang 26.000 hektar yang terdiri dari kebun inti dan kebun plasma.
Corporate Affair PT BGA Jauhari Mahkrus mengakui bahwa tanah tempat Aleng, Suwandi, dan Maju memanen sawit merupakan milik Aleng dan keluarganya dengan luas delapan hektar. Namun, lahan itu, menurut Aleng, sudah disepakati untuk menjadi kebun plasma sehingga perusahaan menanami sawit di lahan tersebut sejak 2008-2011. Hasilnya dibagi dua untuk perusahaan dan warga, termasuk Aleng, yang masuk dalam koperasi plasma.
Menurut Jauhari, Aleng tidak menerima hasil plasma karena dari lima kavling tanah plasma yang diterima Aleng, tiga di antaranya sudah dijual oleh Aleng sendiri ke orang lain sehingga orang yang membeli hak plasma Aleng itu yang menerima hasil plasma selama ini.
”Mungkin karena dulu hasilnya enggak seberapa, kalau sekarang kan sudah lumayan. Plasma itu harusnya yang berhak dapat (Aleng) tapi karena sudah dijual jadi diberikan kepada orang lain,” ungkap Jauhari.
Atas dasar sudah menjual hak plasmanya, lanjut Jauhari, pihaknya masih beranggapan tanah Aleng masih masuk dalam kerja sama kemitraan atau kebun plasma antara perusahaan dan Koperasi Kompak Maju Bersama, koperasi yang mengurus kebun plasma di Desa Kinjil dengan luas 640 hektar.
Tanaman di atas kebun Aleng, menurut Jauhari, merupakan milik koperasi yang bekerja sama dengan perusahaan sehingga apa yang dilakukan Aleng merugikan perusahaan dan membuatnya melaporkan peristiwa itu ke kepolisian.
Jika aparat yang dipertemukan dengan masyarakat, memang potensi kekerasan bisa meningkat, seharusnya ada mediasi dulu untuk mencari jalan keluar. (Janang Firman)
Sukemi (60), istri Aleng, mengungkapkan, sejak kerja sama dengan perusahaan, pihaknya tidak mendapatkan sepeser pun uang. Suaminya, Aleng, sejak 2016 meminta keluar dari skema plasma karena ingin mengolah sendiri kebun tersebut. Baru pada 2020, terdapat surat kesepakatan dari pemerintah desa, koperasi, dan Aleng juga keluarganya yang menyatakan mereka tidak lagi menjadi bagian dalam koperasi plasma. Atas dasar itulah Aleng memanen dan mengelola sendiri kebunnya.
”Saya juga bingung kenapa suami saya kok malah ditangkap, padahal kebun punya sendiri,” ungkap Sukemi.
Tak jauh dari Desa Kinjil tempat tinggal Aleng, peristiwa serupa juga terjadi. Di Desa Babual Baboti, setidaknya 10 warga desa ditangkap polisi karena protes terhadap kebijakan plasma perkebunan sawit yang ada di desa tersebut. Namun, perusahaan perkebunan itu yang berbeda dengan kasus Desa Kinjil.
Manajer Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Janang Firman menjelaskan, kasus Kinjil ataupun Babual Baboti memiliki kemiripan, yaitu status kepemilikan lahan dikesampingkan di atas kasus pidana lainnya. Menurut dia, yang dilakukan Aleng ataupun warga Babual Baboti merupakan aksi kekesalan mereka karena tak ada solusi yang menguntungkan masyarakat dalam penyelenggaraan usaha perkebunan kelapa sawit.
”Jika aparat yang dipertemukan dengan masyarakat, memang potensi kekerasan bisa meningkat, seharusnya ada mediasi dulu untuk mencari jalan keluar,” ungkap Janang.
Kasus Desa Kinjil dan Desa Babual Baboti merupakan dua kasus dari banyaknya konflik lahan yang ada di Kalteng. Kasus itu mengingatkan masyarakat pada kasus Desa Penyang, yaitu tiga orang dipenjara karena dituduh mencuri sawit saat melakukan protes, satu di antaranya meninggal dalam penjara (Kompas, 26 April 2020).