Gerakan ”Merdeka Belajar” yang dicanangkan pemerintah terus digencarkan. Dalam gerakan itu, murid mesti diposisikan sebagai pusat dalam suatu pembelajaran.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gerakan ”Merdeka Belajar” yang dicanangkan pemerintah terus digencarkan. Dalam gerakan itu, murid mesti diposisikan sebagai pusat dalam suatu pembelajaran. Kondisi itu memungkinkan proses pembelajaran terasa menyenangkan seperti yang dikehendaki murid. Peningkatan literasi diyakini mampu dicapai lewat mekanisme tersebut.
Hal itu dibahas pada seminar nasional bertajuk “Kurikulum Merdeka Pendidikan Khas De Britto di Era Disrupsi dan Perkembangan Teknologi” dalam rangka Lustrum XV SMA Kolese De Britto, di SMA Kolese De Britto, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (13/5/2023).
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anindito Aditomo menjelaskan, gerakan merdeka belajar bertujuan untuk menyediakan kesempatan belajar seluas-luasnya bagi murid. Misi yang ingin dicapai dari suatu pembelajaran agar seorang murid mampu berkontribusi untuk masyarakat dan dunia modern.
”Untuk itu, yang perlu mereka miliki adalah karakter dan kompetensi yang utuh. Bukan sekadar keluasan pengetahuan,” kata Anindito, dalam seminar tersebut.
Menurut Anindito, sekolah harus bertransformasi dalam memberikan pembelajaran kepada para muridnya. Tidak bisa lagi lembaga pendidikan tersebut memosisikan guru sebagai penyalur informasi secara searah. Seharusnya, sekolah menjadi komunitas belajar yang mendudukkan murid sebagai pusat dari proses pembelajaran. Itulah yang berusaha dilakukan lewat gerakan ”Merdeka Belajar”.
Anindito tak memungkiri jika pergeseran paradigma pendidikan terjadi secara cukup signifikan. Meski demikian, ekosistem pendukung seperti guru dan sekolah mulai bergerak menuju arah yang benar. Dicontohkannya, saat ini, kurikulum merdeka sudah diadopsi secara sukarela sekitar 300.000 satuan pendidikan. Padahal, kurikulum itu masih pada tahap implementasi bertahap.
”Sekolah harus menjadi tempat anak-anak mengembangkan karakter dan kompetensi sehingga mereka bisa mencari sendiri informasinya, menyintesis, dan menerapkan informasi itu pada problem yang mereka hadapi di bidang apa pun. Ini pergeseran paradigma yang luar biasa,” kata Anindito.
Lebih lanjut, Anindito menyatakan, anak didik hendaknya diarahkan untuk menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat. Itu hanya bisa terjadi jika murid memaknai dengan sungguh-sungguh atas proses belajar yang dijalaninya.
Misalnya, dalam hal baca tulis, Anindito enggan menuntut anak buru-buru bisa memiliki kemampuan membaca teks. Menurut dia, jauh lebih penting anak-anak didekatkan dengan minat membaca. Tingginya minat membaca dengan sendirinya akan meningkatkan kemampuan baca seorang anak. Lebih dari itu, anak-anak juga akan mampu membaca teks dan memahami isinya.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Iwan Syahril mengatakan, saat ini, guru harus memiliki keberpihakan yang tinggi terhadap murid. Sebab, murid dijadikan pusat dalam suatu proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru dituntut untuk semakin mengenal para muridnya.
”Anak diciptakan berbeda-beda. Jadi pembelajarannya tidak bisa dipaksakan. Misalnya, anak itu seperti sebuah jagung, jangan ditumbuhkan dengan cara menanam padi. Nanti dia akan pura-pura menjadi padi. Begitu juga sebaliknya,” kata Syahril.
Dari pemantauannya, ungkap Syahril, terdapat simpul yang menunjukkan para guru telah bergerak secara berdaya lewat sejumlah komunitas belajar. Gerakan akar rumput itu melancarkan pergeseran paradigma pendidikan. Perubahan tak melulu didorong oleh desakan dari pemerintah.
”Kita harus terus menguatkan kolaborasi dan semangat gotong royong. Banyak simpul yang bergerak secara berdaya melalui komunitas-komunitas belajar. Itu sifatnya tidak top-down lagi, tetapi sudah lebih organik di dalam ekosistem di berbagai daerah,” kata Syahril.
Sementara itu, Kepala SMA Kolese De Britto FX Catur Supatmono mengatakan, sekolah yang dipimpinnya menerapkan pendidikan yang menumbuhkan siswa dari berbagai aspek. Bukan hanya kognitif, tetapi juga perihal etika, estetika, hingga olahraga. Lewat cara semacam itu, para murid akan tumbuh secara lebih optimal dan menyeluruh serta mau menolong sesamanya yang membutuhkan.
Anak diciptakan berbeda-beda. Jadi pembelajarannya tidak bisa dipaksakan.
Kondisi semacam itu, ungkap Catur, hanya bisa dicapai apabila sekolah mampu menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang siswa. Iklim belajar juga harus dikondisikan agar mampu memerdekakan siswa. Itu mendorong siswa mau dan bebas menyampaikan ide-idenya tanpa rasa takut.
”Pendidikan berangkat dari konteks siswa. Pengalaman pendidikan disusun berdasarkan konteks tersebut. Setelah proses belajar, mestinya ada proses refleksi sehingga menjadi pengalaman bermakna yang akan membuat siswa tumbuh dan berkembang,” kata Catur.