Di Tengah Tingginya Harga Pupuk, Selisih Harga Sawit di Sumsel Timpang
Harga tandan buah segar di petani sawit swadaya tergolong rendah jika dibandingkan dengan petani sawit plasma. Kondisi ini membuat banyak petani merugi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Harga tandan buah segar di tingkatpetani sawit swadaya Sumatera Selatan tergolong rendah jika dibandingkan dengan petani sawit plasma. Ditambah lonjakan harga pupuk, kondisi ini membuat banyak petani merugi.
”Harga tandan buah segar atau TBS di petani plasma sekitar Rp 2.300 per kilogram. Sementara harga TBS di petani swadaya hanya Rp 1.600 per kg. Idealnya, selisih harga tidak lebih dari Rp 200 per kg,” ungkap Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumsel Slamet Somosentono, di Palembang, Jumat (12/5/2023).
Kondisi ini, kata Slamet, sangat menyulitkan petani swadaya. Terlebih, harga pupuk tengah tinggi. ”Jika harga sawit ini tidak disetarakan, nasib petani swadaya akan semakin merana,” ucapnya.
Kenaikan harga pupuk memang signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Jika sebelumnya pupuk urea dijual Rp 5.000 per kilogram, kini bisa harganya mencapai Rp 10.000-Rp 15.000 per kg.
Kondisi ini memberatkan petani. Satu pohon biasanya membutuhkan 10 kg urea per tahun. Adapun rata-rata 1 hektar lahan ditanami 143 pohon sawit.
Karena itu, ujar Slamet, dibutuhkan regulasi yang bisa disepakati para pemangku kepentingan. Tujuannya, agar harga di petani swadaya bisa terdongkrak atau setidaknya tidak berbeda jauh dengan petani plasma.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Sumsel Alex Sugiarto menjelaskan, timpangnya harga TBS tidak lepas dari biaya yang dikutip para pengumpul. Harga yang ditetapkan merupakan harga di pabrik. Akibatnya, ada perbedaan harga dengan TBS yang diangkut dari kebun milik petani swadaya.
”Karena untuk mengangkut TBS dari kebun petani sampai ke pabrik kelapa sawit membutuhkan biaya,” katanya.
Akan tetapi, dia menyebut, penyetaraan bisa dilakukan. Harga yang sesuai tentu akan berpengaruh pada TBS yang dihasilkan. Namun, dibutuhkan regulasi dan payung hukum kuat untuk mewujudkannya.
Menurut dia, penyetaraan harga sangat penting. Saat ini, 43 persen dari 1,4 juta hektar kebun sawit di Sumsel adalah perkebunan rakyat, baik swadaya maupun plasma. Mengacu dari data ini, perkebunan sawit swadaya sama pentingnya dengan perkebunan plasma.
”Dengan harga yang baik, petani bisa mencari bibit unggul serta proses pemupukan dan perawatan yang ideal,” kata Alex.
Ia menilai, permasalahan yang masih terjadi di petani swadaya tidak lepas dari produktivitas yang masih sangat rendah. Produksi perkebunan sawit di Sumsel berkisar 2-3 ton minyak sawit mentah (CPO) per hektar per tahun. Padahal, idealnya dibutuhkan 4-6 ton CPO per hektar per tahun.
Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Agus Darwa mengutarakan, diskusi tentang regulasi penyetaraan harga akan dilakukan. Beberapa opsinya adalah membentuk kelompok tani yang diwadahi dalam badan hukum, seperti koperasi.
Koperasi itu bisa menaungi sejumlah petani swadaya untuk bekerja sama langsung dengan pabrik kelapa sawit. Cara ini dapat memotong rantai pasok dan harga TBS pun bisa terdongkrak.
Selain itu, badan hukum diharapkan petani bisa memperoleh sejumlah fasilitas bantuan dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. ”Langkah ini juga dapat mempercepat upaya hilirisasi sehingga petani bisa memperoleh nilai tambah dari sejumlah produk turunan selain CPO,” ujar Agus.