Takdir Ibu Kota di Hilir Batang Air
Perusakan dan pencemaran Sungai Brantas sejak di kawasan hulu seolah menegaskan takdir atau nasib buruk kawasan hilir yakni Surabaya, ibu kota Jawa Timur, yang harus menerima konsekuensi bencana lingkungan.
Jakarta (ibu kota Indonesia) dan Surabaya (ibu kota Jawa Timur), dua metropolitan terkemuka Nusantara berkemiripan sebagai muara sungai besar. Keduanya sekaligus harus ikhlas menerima dampak perusakan dan pencemaran.
Jakarta bukan sekadar menerima banjir ”kiriman”, melainkan berbagai sampah pencemar Ciliwung sejak dari hulu di Bogor, Jawa Barat. Demikian pula Surabaya, mau tidak mau menerima kerusakan Sungai Brantas yang juga sudah terjadi sejak dari sumbernya di Batu, Jatim.
Mata air Brantas memancur deras dari lubang batuan di Arboretum Sumber Brantas di kaki Gunung Anjasmoro, dalam pengelolaan Perum Jasa Tirta 1 di Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Air mancur kemudian mengalir melalui jaringan saluran atau merembes dan menjadi mata air-mata air yang kemudian menjadi anak-anak Sungai Brantas.
Baca juga: Pandemi Tidak Kurangi Pencemaran Brantas
Namun, di Desa Sumber Brantas terpasang beberapa papan peringatan pencemaran saluran, sungai, dan lahan yang menjadi tempat pembuangan popok dan sampah plastik. Papan dipasang oleh pegiat pelestarian lingkungan sungai. Secara sederhana, pencemaran sampah dan limbah domestik terhadap Sungai Brantas sudah terjadi sejak di kawasan hulu.
Pencemaran membesar seiring batang air penanda kemegahan peradaban klasik Jatim (Kahuripan, Dhaha, Singhasari, Majapahit) itu melewati kabupaten/kota yakni Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Gresik, dan Surabaya.
Baca juga: Menjaga Memori Kali Surabaya
Tidak heran jika menurut tim peneliti dan pelajar magang di Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), kualitas air Brantas di Surabaya tidak pernah memenuhi standar baku mutu untuk perusahaan daerah air minum (PDAM).
”Perlu ditegaskan lagi dan lagi, pencemaran Brantas sudah terjadi sejak dari hulu, tidak berkurang, dan tidak pernah ada pembicaraan antardaerah yang dilintasi tentang bagaimana mengatasi pencemaran dan perusakan,” kata Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi, Minggu (7/5/2023).
Ecoton rutin setidaknya setiap dua-tiga pekan mengecek kualitas air terutama Kali Surabaya, terusan Brantas. Selain itu, Ecoton juga terlibat dalam ekspedisi sungai Nusantara dan menginvestigasi kasus-kasus pencemaran lingkungan sampai menggugat Pemprov Jatim hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Warga terdampak pencemaran juga masih didampingi, misalnya Lakardowo di Mojokerto, Sumobito di Jombang, dan area militer di Surabaya, Sidoarjo, Jombang, Kediri, dan Tulungagung yang merupakan lokasi temuan kasus pembuangan atau penimbunan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Perlu ditegaskan lagi dan lagi, pencemaran Brantas sudah terjadi sejak dari hulu, tidak berkurang, dan tidak pernah ada pembicaraan antardaerah yang dilintasi tentang bagaimana mengatasi pencemaran dan perusakan.
Dari pengecekan kualitas air secara rutin, bahan baku PDAM dari Brantas di Jatim tercemar bakteri Escherichia coli yang dapat memicu penyakit serius misalnya meningitis, infeksi saluran kemih dan usus. Pencemaran dengan kepadatan tertinggi bakteri itu yakni 50.000 per 100 mililiter air ternyata ditemukan dari sampel air dekat pipa masuk Instalasi Penjernihan Air Minum Karangpilang, Surabaya.
Dalam pengecekan pada Selasa (22/3/2023) bersamaan dengan dimulainya Ramadhan, kandungan amonia, besi, oksigen terlarut atau DO, dan fosfat melebihi ambang batas air baku sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Situasi mirip ditemukan pada sampel dari pipa keluar IPAM Karangpilang. Limbah itu sisa proses penjernihan yang dibuang ke Kali Surabaya. Hasil pengecekan memperlihatkan kandungan bebas klorin, amonia, besi, dan kejernihan tidak baik karena melewati ambang batas.
Baca juga: Ramadhan, Momentum Pantang Cemari Kali Surabaya
Kualitas air Brantas di Surabaya diperburuk dengan kandungan mikroplastik rata-rata 636 partikel per 100 liter air sungai. Bahkan, 40 persen sampel feses warga Jatim, termasuk Surabaya, mengandung mikroplastik meliputi fragmen, fiber, filamen dan granul yang berisiko memicu kanker dan penyakit dalam.
Pencemaran sungai bukan tidak disadari oleh PDAM Surya Sembada yang notabene ”membeli” air dari Perum Jasa Tirta 1 kemudian mengolahnya melalui instalasi penjernihan sebelum disalurkan ke warga. IPAM menjadi amat penting dalam penyediaan air bersih bagi masyarakat atau konsumen PDAM.
Penjernihan memakai bahan alami dan kimia yang berkonsekuensi biaya. Peningkatan pemakaian bahan-bahan untuk penjernihan memperbesar ongkos operasional. Konsumen turut menanggung lewat kenaikan tarif yang berlaku sejak 1 Januari 2023.
Baca juga: Tanggul Jebol Picu Banjir di Surabaya
Direktur Utama PDAM Surya SembadaArief Wisnu Wicaksono mengatakan, kenaikan tarif bertujuan mewujudkan asas keadilan kepada pelanggan terutama kaum miskin dalam bentuk subsidi, pemakaian air agar lebih tepat sasaran, mendorong masyarakat lebih bijaksana dalam penggunaan air, dan peningkatan pelayanan melalui operasional dan investasi secara wajar dan berkelanjutan.
Mayoritas konsumen PDAM Surya Sembada bisa diyakini memahami bahwa air dari keran tidak bisa dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu. Bahkan, air bersih tidak untuk minum dan masak, tetapi kebutuhan domestik kebersihan, mandi, mencuci, dan menyiram. Warga sudah terbiasa mengonsumsi air minum dari penjualan dalam kemasan botol, galon, dan drum.
Selain membawa polutan, Sungai Brantas sejak dari hulu mengandung material endapan. Pengerukan dan pemeliharaan Kali Surabaya, Kali Jagir, Kali Mas, dan jaringan drainase yang terhubung dengan sungai-sungai tadi harus terus dilakukan secara rutin oleh Pemerintah Kota Surabaya untuk menjaga keandalan prasarana dari ancaman banjir.
Kerusakan kecil pada prasarana dapat memicu banjir seperti terjadi pada Jumat (28/4/2023) di sebagian wilayah Surabaya Barat. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengakui, banjir itu terjadi akibat kerusakan dinding tanggul di Kembang Kuning sehingga curahan hujan tidak bisa dialirkan melalui jaringan drainase hingga ke Kali Surabaya. Namun, Eri berjanji situasi serupa tidak berulang sehingga pengerukan sungai, pemeliharaan, perbaikan, dan pembangunan baru prasarana pengendali banjir tetap menjadi program prioritas.
Kuncarsono Prasetyo, inisiator Begandring Soerabaia, komunitas pelestari kesejarahan, mengatakan, perusakan dan kerusakan Brantas menjadi cermin masyarakat ahistoris atau melupakan sejarah perkembangan peradaban.
Surabaya bermula dari kampung atau desa tepian sungai (naditira pradeca) yakni Curabhaya yang telah disebut dalam Prasasti Canggu atau Trowulan I oleh Maharaja Majapahit Hayam Wuruk bertarikh 7 Juli 1358. Lazim kemudian nama Brantas juga dikenal sebagai Curabhaya karena menuju desa tersebut. Di zaman kolonialisme VOC pada abad ke-17, ada peta yang menyebut Kali Surabaya termasuk Kalimas sebagai Rivier van Sourabaja dari Curabhaya.
Kuncarsono melanjutkan, Brantas atau Kali Surabaya termasuk Kalimas menjadi vital bagi perkembangan peradaban Surabaya itu sendiri. Di tepi sungai berdiri pabrik gula dan industri pengolahan. Hindia-Belanda membangun dam, bendung, dan pintu air bahkan menyodet Kali Surabaya di Wonokromo menjadi Kali Jagir.
Sebelum banyak jaringan jalan darat dibangun, sungai merupakan urat nadi peradaban. ”Bagi saya ironi mendengar kecelakaan perahu tambangan, orang tenggelam, pencemaran sungai karena bukan itu takdir Surabaya, metropolitan yang dilewati sungai besar dan penanda peradaban hebat,” katanya.