Kesejahteraan Guru Belum Terjamin, Merdeka Belajar Masih Meragukan
Pelaksanaan sistem pendidikan merdeka belajar tidak akan optimal ketika kesejahteraan guru tidak terpenuhi. Semua pihak harus fokus untuk meningkatkan kesejahteraan guru sembari menyiapkan fasilitas pendukung.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pelaksanaan sistem pendidikan merdeka belajar tidak akan optimal ketika kesejahteraan guru tidak terpenuhi. Karena itu, semua pihak harus berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan guru sembari menyiapkan fasilitas pendukung agar sistem pendidikan ini dapat berjalan baik.
Hal ini mengemuka dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (2/5/2023).
Ketua Persatuan Guru Indonesia (PGRI) Sumsel Ahmad Zulinto mengatakan, saat ini kesejahteraan guru di Sumsel belum merata. ”Masih ada guru yang memperoleh pendapatan Rp 300.000 per bulan. Kondisi tersebut mengharuskan guru untuk mencari pekerjaan sampingan lain, seperti bekerja sebagai buruh sawit atau bahkan ngojek. Jika demikian, bagaimana bisa guru dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengajar?” ujarnya.
Karena itu, ujar Zulinto, peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru harus menjadi prioritas di samping pelaksanaan kurikulum merdeka belajar. Zulinto mengapresiasi upaya pemerintah pusat dalam meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya melalui program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (P3K).
Meski demikian, hal itu belum cukup karena pelaksanaannya di lapangan belum optimal. Banyak daerah yang mengaku tidak sanggup menjalani program itu dengan alasan keterbatasan anggaran. ”Alasanya, pemerintah daerah tidak memiliki cukup anggaran untuk menggaji mereka. Padahal, pemda bisa mengajukan bantuan pada pemerintah melalui dana alokasi khusus,” ujar Zulinto.
Belum tersosialisasinya kebijakan pemerintah juga menjalar hingga ke tingkat sekolah. Misalnya, masih banyak kepala sekolah yang menggaji guru honorer seadanya melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS). ”Padahal, komposisi penggunaan dana BOS untuk menggaji guru honorer bisa mencapai 50 persen,” ujarnya.
Belum lagi adanya diskriminasi antara guru yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) dan guru berstatus P3K. ”Padahal, mereka sama-sama bekerja di sekolah negeri. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi,” ungkapnya.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, kurikulum merdeka belajar akan berjalan seadanya dan tidak maksimal. Ketika guru tidak sejahtera, rasa tanggung jawab untuk meningkatkan level pendidikan pun akan terkikis.
Padahal, keberadaan guru honorer sangat dibutuhkan karena di pelosok masih banyak sekolah yang membutuhkan tenaga pendidik akibat keterbatasan sumber daya manusia. ”Seharusnya, mereka (guru honorer) dijadikan ASN karena telah menjadi bagian yang krusial dalam pelaksanaan program pemerintah,” ujar Zulinto.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Selatan Sutoko mengakui, meningkatkan kesejahteraan guru masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar penerapan kurikulum Merdeka Belajar dapat berlangsung maksimal.
”Hampir semua sekolah di Sumsel sudah menerapkan kurikulum merdeka belajar. Namun, penerapannya masih harus terus dievaluasi,” ungkapnya.
Masih ada guru yang memperoleh pendapatan Rp 300.000 per bulan. (Ahmad Zulinto)
Karena itu, Sutoko berharap ada peran dari semua pihak agar konsep merdeka belajar dapat berjalan dengan baik di lapangan. Dukungan dari berbagai pihak baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik sangat dibutuhkan.
”Prioritas kita saat ini adalah mencari titik lemah pelaksanaan sistem belajar ini, kemudian melakukan pembenahan sesegera mungkin. Karena itu, sinkronisasi program pendidikan harus segera diwujudkan agar semua pihak mengetahui batas tanggung jawab dan kewenangannya,” ujar Sutoko.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menuturkan, sistem pendidikan memang sangat dinamis karena akan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. ”Sumsel tidak boleh ketinggalan,” ujarnya.
Terkait kesejahteraan guru, ia berharap semua pihak yang terkait dapat memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Misalnya, memanfaatkan program yang dapat meningkatkan pendapatan guru, seperti program sertifikasi dan insentif. ”Tentu kesejahteraan harus berbanding lurus dengan kualitas guru,” ucapnya.