Saat ini harga jual TBS di tingkat petani naik, tetapi masih jauh dari harapan. Kementerian Perdagangan menginginkan harga TBS tingkat petani Rp 2.000 per kilogram.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pembatasan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil membuat daya serap pabrik terhadap tandan buah segar milik petani melemah. Dampak lain, harga tandan buah segar kelapa sawit milik petani jatuh. Namun, kini harga mulai naik.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Kabupaten Aceh Utara Kastabuana yang dihubungi pada Rabu (27/7/2022) mengatakan, harga jual tandan buah segar di tingkat petani di Aceh pada Rabu Rp 1.250 per kilogram, naik dari Rp 1.150 per kilogram pada Minggu, 24 Juli 2022.
Kenaikan harga TBS di tingkat petani dinilai dampak positif dari kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke China. Pemerintah China menyampaikan siap menampung 1 juta ton CPO dari Indonesia.
Kastabuana berharap kunjungan kerja Presiden ke China dan Jepang dapat mendorong kenaikan harga sawit di dalam negeri. Menurut dia, kalau ekspor lancar, daya serap pabrik terhadap TBS petani naik sehingga harga beli juga akan meningkat.
Kastabuana mengatakan, kenaikan sedikit harga jual juga karena dampak dari penghapusan pungutan ekspor. Meski demikian, harga jual TBS di tingkat petani masih jauh dari harapan. Adapun Kementerian Perdagangan menginginkan harga TBS tingkat petani Rp 2.000 per kilogram.
”Harga jual TBS yang tidak stabil membuat petani berada dalam kesulitan. Harga pupuk dan obat-obatan naik, sedangkan harga sawit turun,” kata Kastabuana.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Provinsi Aceh Sabri Basyah menuturkan, jika kran ekspor dibuka lebar, kemampuan serapan pabrik terhadap TBS petani akan meningkat sehingga harga beli TBS juga membaik.
Sabri mengatakan, pabrik-pabrik kelapa sawit di Aceh terpaksa membatasi pembelian TBS dari petani karena stok minyak sawit di dalam tangki masih banyak. Minyak sawit tidak bisa dijual ke luar negeri secara besar-besaran karena ada pembatasan.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk menjamin stok bahan baku minyak goreng dalam negeri.
”Kebijakan DMO dan DPO harus dicabut agar pasar kembali normal. Kebijakan pemerintah membatasi ekspor justru dampaknya dirasakan oleh petani,” kata Sabri.
Sabri menuturkan, jika kondisi ini tidak segera diselesaikan, ekonomi petani sawit akan semakin memburuk. Ada ribuan petani dan keluarganya bergantung hidup pada kelapa sawit. ”Angka kemiskinan berpotensi bertambah apabila harga sawit tidak kunjung membaik,” kata Sabri.
Luas perkebunan sawit di Aceh 530.000 hektar, 52 persen di antaranya milik rakyat. Adapun produksi CPO di Aceh setahun 100 ton per bulan.
Sabri mengatakan, jika kran ekspor telah dibuka, Aceh berpotensi melakukan ekspor langsung ke luar negeri tanpa harus melalui Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Sebelumnya, beberapa kali Aceh mengirimkan CPO ke India melalui Pelabuhan Calang, Kabupaten Aceh Jaya.
Sebelumnya, seorang petani di Aceh Barat Daya, Muhip Puddin, menuturkan, sejak muncul polemik minyak goreng, harga jual kelapa sawit di tingkat petani tidak stabil. Perubahan harga terjadi begitu cepat.
Muhip tidak menjual TBS langsung kepada pabrik, tetapi kepada agen atau pengepul. Alasannya, dia tidak memiliki armada atau mobil untuk mengangkut ke pabrik. Selisih harga jual pada penampung dengan pabrik Rp 200-Rp 250 per kg.
Muhip mengatakan, harga sawit yang tidak stabil membuat petani tidak tenang. Dia tidak berani melakukan pengembangan usaha atau mengajukan pembiayaan usaha ke perbankan, khawatir tidak dapat membayar cicilan. Dia berharap pemerintah membuat kebijakan yang memihak petani.