Harga Sawit di Sumsel Terkerek walau Belum Tutupi Modal Petani
Harga tandan buah segar di tingkat petani swadaya dan plasma sudah mulai terkerek. Meskipun begitu, kenaikan harga dinilai belum ideal. Kebijakan yang mempermudah ekspor sangat ditunggu.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pasca-penghapusan pungutan ekspor, geliat ekspor minyak sawit mentah (CPO) di Sumatera Selatan mulai terlihat. Kondisi ini berdampak pada terkereknya harga tandan buah segar di tingkat petani swadaya ataupun plasma. Meskipun demikian, harga tersebut belum sesuai dengan harapan petani karena masih di bawah biaya produksi mereka.
Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Selatan Alex Sugiarto, Rabu (27/7/2022), menerangkan, saat ini harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani sudah terkerek naik. Harga di tingkat petani swadaya Rp 1.000-Rp 1.250 per kilogram (kg). Sebelum penghapusan pungutan ekspor, harga TBS sempat terpuruk hingga Rp 600 per kg.
Sementara itu, di tingkat petani plasma (mitra), TBS sudah dihargai Rp 1.611 per kg atau meningkat dibandingkan dengan dua minggu sebelumnya yang sebesar Rp 1.259 per kg. Bahkan, di daerah lain, seperti Riau dan Sumatera Utara, harga TBS petani plasma sudah mencapai Rp 1.900 per kg.
Perbaikan harga ini merupakan dampak dari penghapusan pungutan ekspor yang ditetapkan pemerintah pada 15 Juli 2022. Proses renegosiasi sudah mulai berjalan walau belum normal. ”Sudah ada CPO yang bisa diekspor, tapi belum optimal karena masih ada pasar yang membutuhkan waktu untuk melakukan penyesuaian, termasuk untuk pengiriman dan pengapalan,” ujar Alex.
Menurut Alex, kebijakan pelarangan ekspor dan pencabutannya yang begitu cepat tentu mengejutkan pasar. Untuk proses pemulihan, termasuk renegosiasi, membutuhkan waktu penyesuaian 2-3 bulan. ”Setelah pemerintah melarang ekspor, pasar mencari negara produsen lain, seperti Malaysia atau mengganti minyak nabati selain sawit,” ucapnya.
Walau harga sudah terkerek naik, lanjut Alex, angka tersebut masih di bawah harga pokok produksi (HPP) petani yang berada pada kisaran Rp 1.600-Rp 1.800 per kg. Tingginya HPP itu juga disebabkan ada kebiasaan petani pemilik kebun yang membayar tinggi tenaga pemanen ketika harga sedang bagus.
”Ketika harga TBS tinggi, petani rela mengeluarkan biaya lebih untuk membayar pemanen, bahkan mencapai Rp 500 per kg. Tujuannya agar lebih banyak TBS yang dipanen. Namun, saat harga jatuh, akhirnya petani pun tekor,” ujarnya.
Untuk mempercepat kenaikan harga TBS, Alex berharap pemerintah segera mempertimbangkan penghapusan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang dianggap menjadi penghambat ekspor. Menurut dia, banyak eksportir yang kesulitan memenuhi kebutuhan domestik sebesar 30 persen dari total ekspor.
Alex berpendapat, kebutuhan CPO untuk domestik tidaklah sebesar itu. Dia memperkirakan, dari 50 juta ton produksi CPO di Indonesia, kebutuhan domestik hanya berkisar 10-15 persen saja. Apalagi, saat ini harga CPO masih sekitar Rp 9.200 per kg. Artinya, harga minyak curah bisa ditetapkan Rp 14.000 per kg.
Hal itu, menurut Alex, berarti tidak ada lagi alasan untuk tetap meneruskan kebijakan DMO ataupun DPO. Jika aturan ini dihapus, Alex meyakini aktivitas ekspor akan semakin gencar dan harga TBS di tingkat petani pun bisa lebih cepat melesat.
Setidaknya harga TBS bisa mencapai Rp 3.000 per kg.
Ketua Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumsel Slamet Somosentono berharap pemerintah membuat kebijakan yang dapat mempermudah ekspor. Hal ini agar harga sawit di tingkat petani swadaya bisa lebih baik.
”Setidaknya harga TBS bisa mencapai Rp 3.000 per kg,” ucapnya. Angka itu tidaklah mustahil karena sebelum ekspor dilarang, harga TBS sempat menyentuh Rp 3.600 per kg.
Selain itu, hilirisasi juga perlu digencarkan agar petani tidak terlalu bergantung pada pasar ekspor. Ini, misalnya, dengan membuat pabrik pengolahan minyak makan merah di daerah sentra penghasil kelapa sawit.
Dengan begitu, petani bisa mendapatkan nilai tambah yang lebih baik. Selain itu, ujar Slamet, pihaknya terus membina petani swadaya untuk berkelompok agar memiliki nilai tawar yang lebih kuat sehingga tidak dipermainkan oleh tengkulak.
Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Agus Darwa telah membentuk satuan tugas khusus untuk mengawasi pergerakan harga TBS di lapangan, termasuk memantau kapasitas tangki di pabrik. Menurut dia, perlu ada hubungan yang baik antara petani dan pabrik kelapa sawit agar tidak ada hasil panen dari petani yang tertolak.