Harga Sawit Hanya Naik Rp 200, Petani Kalteng Sebut Masih Jauh dari Harapan
Kebijakan pemerintah menghilangkan tarif ekspor CPO kelapa sawit belum memengaruhi harga sawit di kalangan petani. Di Kalteng, kenaikan harga sawit hanya Rp 200 per kg, masih jauh dari normal.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Harga tandan buah segar kelapa sawit di Kalimantan Tengah merangkak naik. Namun, kenaikan itu masih jauh dari harapan para petani yang sampai saat ini mulai menelantarkan kebun sawitnya lantaran ongkos perawatan yang mahal. Kenaikan harga rata-rata hanya Rp 200 per kilogram di beberapa daerah di Kalteng.
Sebelumnya, pemerintah menghapus pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO serta produk turunannya mulai 15 Juli hingga 31 Agustus 2022 dengan harapan bisa merangsang harga di tingkatan petani menjadi lebih baik. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103 Tahun 2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam revisi aturan disebutkan, tarif pungutan ekspor produk CPO dan turunannya menjadi nol berlaku 15 Juli sampai 31 Agustus 2022. Lalu, mulai 1 September 2022, berlaku kembali tarif maksimal 240 dollar AS per ton untuk harga CPO di atas 1.500 dollar AS per ton dengan perubahan tarif ad valorem yang progresif terhadap harga (Kompas, 17 Juli 2022).
Stevanus Purwadi, petani sawit di Desa Kantan Atas, Kabupaten Pulang Pisau, mengungkapkan, sejak kebijakan nontarif pajak tandan buah segar (TBS) kelapa sawit berlaku, kenaikan hanya Rp 200 per kg. Sebelumnya, TBS sawit di kalangan petani yang menjual kepada tengkulak di desa itu hanya Rp 350 per kg, harganya kini menjadi Rp 559 per kg.
Sementara untuk harga beli dari pabrik perusahaan terdekat, lanjut Stevanus, harganya hanya Rp 600 per kg. ”Masih jauh dari normal, masih belum nutupi biaya perawatan,” katanya saat dihubungi dari Palangkaraya, Selasa (26/7/2022).
Stevanus mengungkapkan, dirinya baru mulai menanam sawit pada tahun 2014. Sepanjang tahun itu, harga sawit pernah mencapai Rp 600 per kg, tetapi pada tahun-tahun berikutnya belum pernah kurang dari Rp 600 per kg. Stevanus menanam pohon sawit di lahan miliknya seluas 11 hektar.
Kini, ia tak bisa memanen TBS lantaran biaya yang cukup besar. Ia harus menyewa tenaga untuk memanen ratusan pohon sawit miliknya dan membayar Rp 250 per kg TBS yang dipanen, belum termasuk biaya makan atau rokok para pemanen. ”Mending tidak usah dipanen. Di sini sebagian besar petani sawit tidak berani memanen karena harganya begitu anjlok,” ucapnya.
Untuk biaya perawatan, kata Stevanus, dirinya harus membeli pupuk dengan harga Rp 310.000 per karung dan herbisida yang harganya Rp 150.000 per liter. Dalam satu hektar, setidaknya ia membutuhkan 3-4 karung pupuk dan sekitar 5 liter herbisida. ”Harga 1 ton sawit hanya mampu untuk merawat lahan 1 hektar saja, sedangkan lahan lain kalau tidak dirawat hasil panennya bakal buruk,” ujarnya.
Di Kabupaten Kotawaringin Timur, kenaikan harga rata-rata juga hanya Rp 200 per kg. Suryano (48), petani, menjelaskan, sebelumnya harga TBS di tengkulak hanya Rp 800 per kg dan perlahan naik hingga saat ini mencapai Rp 1.000 per kg. ”Masih jauh normal ini, tetapi ya saya agak menyesal karena sudah jual semua sawit kepada tengkulak waktu harganya masih Rp 800 per kg. Daripada tak dapat apa-apa,” katanya.
Suryano mengungkapkan, dirinya tetap menjual meski harganya anjlok karena kebutuhan mendesak untuk membiayai kedua anaknya yang baru masuk sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. ”Mau tidak mau tetap saya jual karena kebutuhan sekolah. Apalagi, sekarang baru masuk sekolah anak-anak,” ucapnya.
Suryano memiliki kebun seluas 3 hektar. Dari tiga hektar itu, hanya 1,5 hektar yang ditanami sawit, sisanya ditanami karet dan berbagai sayuran. ”Untung masih ada karet, jadi masih ada tambahan sedikit untuk kebutuhan lainnya,” ujarnya.
Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalteng Gusto Adrianus mengungkapkan, banyak kebijakan dilakukan pemerintah, mulai dari membuka kembali keran ekspor CPO dan menghilangkan tarif ekspor CPO. Namun, di kalangan petani, harga tak langsung membaik. Butuh waktu untuk penyesuaian sampai kebijakan itu menguntungkan semua.
Ketua Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI) Yulhaidir menjelaskan, Kalteng merupakan salah satu provinsi penghasil CPO terbesar di Indonesia. Beberapa wilayahnya memiliki kebun sawit yang begitu luas, tetapi petani sawit belum makmur karena banyak faktor. Ia pun sudah bertemu dengan pemerintah pusat untuk membicarakan sawit berkelanjutan agar petani bisa lebih sejahtera.
Yulhaidir mengungkapkan, pihaknya sudah bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu di Jakarta untuk berdiskusi dan menyerahkan rekomendasi dari AKPSI. AKPSI memiliki anggota 160 bupati di daerah penghasil sawit beserta jajarannya dari lembaga atau dinas terkait.
”Pemerintah merespons baik karena ini aspirasi masyarakat, bukan permintaan mengada-ada,” ujar Yulhaidir, yang juga merupakan Bupati Seruyan, Kalteng.