Gerakan merawat bumi dengan mengolah sampah makanan sisa rumah tangga menjadi eco enzim mulai menggeliat. Di Palangkaraya, Kalteng, warga mulai menerapkan pengolahan sampah sisa makanan tersebut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
Sampah makanan merupakan jenis sampah paling banyak di Indonesia. Membuat gerakan eco enzim dengan mengolah sampah makanan rumah tangga bisa menjadi solusi menyelamatkan lingkungan. Selain menekan timbulan sampah, upaya ini juga memberikan manfaat bagi pertanian.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020, sampah makanan mencapai 40 persen dari total sampah yang dihasilkan masyarakat di 199 kabupaten/kota. Kompas mencatat, setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan setara Rp 2,1 juta per tahun sehingga nilai sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun per tahun (Kompas, Kamis 9 Mei 2020).
Di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, gerakan mengolah sampah makanan mulai menggeliat, salah satunya dilakukan oleh Yohanes Eufnonius Raymond Jawa Niron atau yang biasa disapa Randi. Dia menjelaskan, sudah beberapa tahun terakhir dirinya mengolah sampah makanan di rumahnya menjadi cairan eco enzim.
Randi, yang beberapa kali mendapat pembekalan dan seminar dari lembaga Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan tentang eco enzim, langsung mempraktikkannya di rumah. Dirinya juga mengelola kebun milik lembaga tersebut dengan memanfaatkan sampah untuk menjadi pupuk dan cairan eco enzim.
Randi menjelaskan, sampah makanan yang digunakan merupakan makanan yang masih segar, seperti sayuran, buah-buahan, nasi, dan daging rebus. Adapun untuk makanan yang digoreng, harus dikeluarkan dulu kandungan minyaknya sehingga membutuhkan proses khusus.
”Sampah saya pilah dahulu, lalu yang masih segar-segar seperti sayuran rebus, buah-buahan, saya simpan di ember. Biasanya saya tidak mau pakai yang sudah digoreng. Meskipun bisa (diproses eco enzim), tetapi cukup rumit,” tutur Randi, di Palangkaraya, Jumat (20/5/2022).
Randi menjelaskan, proses selanjutnya adalah menyiapkan wadah berupa botol plastik air mineral berukuran 1,5 liter. Sisa makanan kemudian diisikan hingga sekitar 3 persen dari volume botol atau 45 mililiter. Lalu, tambahkan air kira-kira 150 mililiter atau 10 persen dari volume botol. Terakhir, dia menambahkan 15 mililiter molase yang bisa berupa gula aren atau gula merah, sedangkan gula pasir tidak disarankan. ”Setelah itu botol ditutup rapat,” ujarnya.
Untuk menghindari gas metana yang menumpuk, Randi membuat lubang pada tutup botol lalu menyalurkan selang pada botol lain yang diisi air. Alternatifnya, bisa setiap hari tutup botol dibuka beberapa menit. Setelah itu, sisa makanan yang sudah dicampur air dan gula merah itu dibiarkan selama tiga bulan.
Setelah tiga bulan, cairan dan sisa makanan yang sudah terfermentasi itu dipisahkan. ”Cairan itulah yang kita siram ke tanaman, atau bahkan ke sungai, sedangkan sisa makanannya bisa dihancurkan atau dicacah lagi untuk jadi solusi toilet mampet yang bisa menghancurkan kotoran,” ujar Randi.
Randi mengungkapkan, tanaman yang disiram eco enzim menjadi jauh lebih segar. Tanah yang sebelum ditanam disirami eco enzim pun menjadi lebih subur. Randi mengatakan, daun tanaman cabai atau pohon buah-buahan menjadi jauh lebih terang dan buahnya pun jauh lebih sehat dibanding pakai pupuk kimia yang jauh lebih mahal.
Direktur JPIC Kalimantan Frans Sani Lake mengungkapkan, mengolah sampah makanan menjadi cairan eco enzim tidak memerlukan biaya besar. Modalnya hanyalah kemauan. Membuat cairan eco enzim menjadi gerakan merawat bumi yang harus diedukasi secara meluas. ”Selama ini manusia diberi makan atau hidup oleh bumi, dengan begitu sudah saatnya manusia memberi makan bumi melalui cairan eco enzim,” katanya.
Frans menjelaskan, eco enzim tak hanya menyuburkan tanah, tetapi juga bisa digunakan untuk membersihkan sungai tanpa merusak. ”Gerakan ini kalau dilakukan oleh setiap orang di rumahnya masing-masing, bisa mereduksi produksi sampah makanan dan tentunya menjaga bumi menjadi jauh lebih baik,” ucapnya.