72 Persen Sasaran di Surabaya Sudah Terima BLT Minyak Goreng
Aparatur terpadu melanjutkan penyaluran bantuan langsung tunai minyak goreng, Bantuan Pangan Non-Tunai, dan Program Keluarga Harapan di Surabaya, Jawa Timur, menjelang Lebaran untuk membantu meringankan beban kehidupan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO, AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah melanjutkan penyaluran bantuan langsung tunai minyak goreng kepada keluarga penerima manfaat di Surabaya, Jawa Timur. Penyaluran kepada 85.326 jiwa diharapkan selesai sebelum Lebaran atau tersisa waktu sekitar dua pekan.
Penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng di Surabaya berlangsung sejak Sabtu (16/4/2022) di dua kecamatan, yakni Rungkut dan Simokerto. Penyaluran turut dipantau Menteri Sosial Tri Rismaharini yang sebelumnya menjabat Wali Kota Surabaya.
Berdasarkan penyesuaian data keluarga penerima manfaat (KPM) antara Kementerian Sosial, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Pos Indonesia (Persero), di Surabaya tercatat 85.326 jiwa sasaran atau KPM. Sampai Minggu (17/4/2022), penyaluran BLT minyak goreng telah menjangkau 61.436 jiwa sasaran atau cakupan 72 persen.
Menurut Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, selain BLT minyak goreng, juga disalurkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Ketiga bantuan itu, sesuai permintaan Presiden Joko Widodo, harus tersalurkan sebelum Idul Fitri atau Lebaran.
”Kami mendorong agar penyaluran bantuan bisa lebih cepat,” kata Eri. Pada Minggu, penyaluran bantuan dilaksanakan di Kecamatan Kenjeran. Aparatur Kemensos, BNI, dan Pos bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surabaya berusaha mempercepat penyaluran bantuan.
Eri melanjutkan, dimungkinkan ditempuh penyaluran bantuan ke kediaman atau tempat tinggal sasaran sehingga lebih cepat. Namun, cara ini memerlukan aparatur yang banyak. Sementara ini, bantuan diserahkan kepada sasaran yang diundang datang ke kelurahan, kecamatan, atau kantor pemerintahan tempat penyaluran.
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Pepen Nazaruddin mengatakan, BLT minyak goreng bernilai Rp 100.000 per bulan, sedangkan BPNT senilai Rp 200.000 per bulan. Bantuan diserahkan dengan nominal untuk tiga bulan atau Rp 900.000.
”Semoga bantuan langsung ini bermanfaat dan mengurangi beban ekonomi masyarakat yang benar-benar membutuhkan,” kata Pepen. Penyaluran BLT minyak goreng, BPNT, dan PKH secara bersamaan diharapkan membantu kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin yang ingin merayakan Lebaran.
Warga Simokerto, Nursalim, mengatakan berterima kasih kepada pemerintah kota yang mengusulkan dirinya sebagai penerima bantuan. Nursalim tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga termasuk dalam masyarakat berpenghasilan rendah. Situasi pandemi Covid-19 (coronavirus disease 2019) sejak Maret 2020 turut memperberat penghidupan keluarga.
”Apalagi harga-harga serba naik, sedangkan situasi pekerjaan tidak menentu,” kata Nursalim. Ia merasa tidak perlu malu menerima bantuan karena merasa membutuhkan. Jika penghasilan kian membaik sehingga perekonomian keluarga menjadi stabil, Nursalim akan melapor atau tidak keberatan jika dikeluarkan dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau tidak menerima berbagai bantuan lagi.
Lonjakan harga minyak sawit di pasar dunia mengerek harga komoditas minyak goreng di Indonesia. Kelangkaan produk sempat terjadi sehingga kian menyulitkan kehidupan masyarakat. Minyak goreng saat ini relatif mudah didapat, tetapi harga jual sudah dengan mekanisme pasar atau naik dua kali lipat dibandingkan dengan sebelumnya. Atas situasi itulah pemerintah memutuskan memberikan BLT minyak goreng per 1 April 2022 kepada 20,5 juta sasaran.
Penting untuk memperhatikan aspek pemberdayaan sehingga masyarakat yang sudah mandiri nantinya tidak perlu dibantu lagi.
Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto berpendapat, berbagai bantuan diharapkan membantu kehidupan masyarakat. Namun, bantuan bersifat jangka pendek atau sementara. Perubahan derajat kehidupan masyarakat sebaiknya ditempuh melalui kebijakan yang lebih mendasar, yakni peningkatan pendapatan melalui penetapan upah minimum yang rasional, penyediaan lapangan kerja, dan program peningkatan keterampilan kerja.
”Penting untuk memperhatikan aspek pemberdayaan sehingga masyarakat yang sudah mandiri nantinya tidak perlu dibantu lagi,” kata Bagong. Pemerintah juga harus memastikan penyaluran tepat sasaran dan menutup celah korupsi atau penyelewengan.