Songket Terus Beradaptasi dengan Zaman
Seiring perubahan zaman, songket terus mengalami perkembangan. Pelaku usaha di bidang kain tenun pun terus berinovasi untuk menyesuaikan keinginan pasar.
Kain tenun songket Palembang terus berkembang. Para pencinta songket terus berinovasi menyesuaikan keinginan zaman. Songket yang awalnya hanya bisa digunakan untuk acara-acara sakral dan kalangan bangsawan kini bisa dijangkau oleh seluruh kalangan, termasuk kaum milenial. Aneka produk turunannya pun bermunculan agar bisa digunakan sehari-hari.
Aji YK Putra (31) , warga Kecamatan Kemuning, Palembang, tak akan pernah lupa saat ia menikahi Feny Maulia Agustin (27) tahun lalu di Palembang. Saat resepsi perkawinan, mereka mengenakan baju adat Palembang ”Aesang Paksangko” berupa balutan kain songket bermotif lepus berlian dilengkapi aksesori yang didominasi warna emas dan merah tua.
Ketika prosesi unduh mantu pun, mereka menggunakan jenis baju adat yang sama, tetapi dengan motif songket yang berbeda, yakni motif bungo pacar, meskipun kedua orangtua Aji bukan orang Palembang, ”Saya kelahiran Palembang, jadi saya bangga menggunakan budaya Palembang,” ujarnya, Rabu (16/3/2022). Menurut Aji, songket memiliki motif yang indah dan terlihat sangat megah dengan corak benang emasnya,
Nova Wahyudi (33), warga Jakabaring, Palembang, bahkan melamar istrinya pada tahun 2015 lalu dengan seperangkat kain songket jenis limar berwarna ungu. Songket yang diserahkannya itu adalah kain songket bersama dengan selendangnya. Nova menyadari budaya seserahan dengan menggunakan songket merupakan tradisi di Palembang sejak turun-temurun. ”Kalau bukan kita yang melestarikan budaya daerah, siapa lagi?” ujar Nova.
Dalam tradisi di Palembang, songket tidak hanya digunakan dalam proses pernikahan, songket juga digunakan untuk acara kelahiran, akikah, bahkan kematian. Setiap motif songket memiliki makna tersendiri untuk kebaikan pemakainya. Harganya pun bisa puluhan juta rupiah. Kini berbagai inovasi mulai muncul menjadikan songket mengikuti jaman.
”Dulu kain songket kerap diidentikan dengan orangtua. Karena yang menggunakannya biasanya hanya yang sebaya dengan bapak atau ibunya. Namun kini, anggapan itu kian pudar karena banyak kain bermotif songket yang sudah sangat kekinian,” kata Linda Krisnawati (33), warga Bukit Kecil, Palembang.
Ia memiliki songket yang kemudian ia jadikan kain bawahan dan selendang untuk dirinya dan baju kemeja untuk suaminya. Satu paket songket untuk pasangan itu harganya Rp 2,5 juta, belum termasuk ongkos jahit yang bisa mencapai Rp 800.000 per baju. ”Karena tergolong mahal, kain itu hanya digunakan untuk acara penting, seperti pernikahan dan juga acara keluarga yang lain,” ujar Linda.
Tetapi, kini ada pula kain bermotif songket. Dirinya kerap membeli kain bermotif songket untuk kegiatan sehari-hari karena harganya lebih terjangkau. ”Biasanya saya membeli pakaian bermotif songket sepaket dengan suami dan anak saya,” kata Linda. Harganya bisa hanya sekitar Rp 350.000 sepaket (tiga setel) pakaian couple.
Dewi Pemilik Toko Bella Songket yang berada di Komplek Ilir Barat Permai, Palembang, mengatakan, kain tenun songket berukuran 2 meter x 80 sentimeter memang dihargai sekitar Rp 2 juta sampai puluhan juta rupiah, tergantung dari motif dan jenis kainnya. Sementara kain cetak bermotif songket hanya sekitar Rp 100.000-Rp 200.000 per setel.
Baca juga: Perubahan Songket Mengikuti Dinamika Zaman
”Kain yang ditenun tentu akan lebih tahan lama, sedangkan yang dicetak akan lebih cepat pudar,” ucap Dewi. Apalagi menenun songket juga membutuhkan kesabaran dan ketekunan yang membutuhkan waktu yang lama. Itulah sebabnya, harganya jauh lebih mahal dibanding dengan kain yang dicetak.
Budaya menenun ini bermula dari proses perdagangan sutra dari Siam dan China serta benang emas dari China dan India. Adapun untuk motif berasal dari hasil kreasi warga Palembang sendiri.
Untuk memenuhi selera pasar milenial yang cenderung lebih suka warna kain kalem, sementara songket sangat mencolok dengan benang emasnya, muncullah kain tenun blongket kependekan dari blongsong-limar songket. Blongsong adalah kain tenun khas Palembang yang dibuat dengan benang sutera, sedangkan songket dibuat dengan benang emas.
Abdurahman (43), pemilik toko Rumah Tajung Antiq yang berlokasi di Kawasan Tuan Kentang Palembang sejak tahun 2007, telah berinovasi mengombinasikan blongsong dengan limar songket, guratan benang emas dalam songket. Modifikasi itu menghasilkan blongket dengan sedikit cukitan emas.
Proses pembuatannya cukup panjang. Pembuatan blongsong dimulai dengan menyusun sutra atau katun yang dilanjutkan pewarnaan dalam dengan teknik pelintir atau limar dan penyusunan motif. Secara keseluruhan, proses itu dapat memakan waktu selama lebih kurang 25 hari hingga satu bulan.
Setelah itu dilakukan penenunan kain yang membutuhkan waktu 1-3 hari untuk menghasilkan kain sepanjang 2 meter. Dalam proses itulah disematkan motif songket dan penambahan ornamen cukit emas. Pembuatan blongket jauh lebih singkat dibandingkan dengan songket. ”Karena untuk membuat songket membutuhkan waktu hingga 6 bulan,” kata Abdurahman.
”Selain itu, dari segi harga juga jauh lebih murah. Harga kain tenun songket bisa mencapai puluhan juta rupiah, sedangkan blongket sekitar Rp 400.000-Rp 600.000 per kain,” katanya. Untuk merangkul anak muda, dia pun membuat setelan dari kain blongket berupa kemeja dan tunik.
Blongket cukup diminati warga Palembang dan kota-kota lain, seperti Medan, Jakarta, hingga Bali. Banyak wisatawan mancanegara yang memesan blongket di Bali. Bagi wisatawan asing, blongket memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan kain tenun dari daerah lain. Karena itu, dalam satu bulan, Abdurahman bisa menjual sekitar 200 kain blongket.
Baca juga: Petenun Palembang Menenun Serpihan Hidup
Tingginya angka penjualan juga berkat adanya promosi loka pasar dan media sosial yang turut mempromosikan kain tradisional ini. Karena, sebelum menggunakan pasar daring, penjualan kain hanya sekitar 20 kain per bulan.
Kini banyak anak muda yang memadukan motif songket dan blongket pun yang kemudian diwujudkan dalam kain dengan teknik ”ecoprint” dengan jumputan.
Sejak abad ke-8
Budayawan Palembang, Ali Hanafiah, atau yang biasa disebut Mang Amin mengatakan, kata songket berasal dari serapan bahasa Melayu, yakni ”sungkit”, yang artinya mengait atau mencungkil. Songket sudah ada sejak zaman Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi. Budaya menenun ini bermula dari proses perdagangan sutra dari Siam dan China, serta benang emas dari China dan India. Adapun untuk motif berasal dari hasil kreasi warga Palembang sendiri.
Budayawan Palembang, Ali Hanafiah, atau yang biasa disebut Mang Amin mengatakan, kata songket berasal dari serapan bahasa Melayu, yakni ”sungkit” yang artinya mengait atau mencungkil. Songket sudah ada sejak zaman Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi. Budaya menenun ini bermula dari proses perdagangan sutra dari Siam dan China, serta benang emas dari China dan India. Adapun untuk motif berasal dari hasil kreasi warga Palembang sendiri.
Belum pernah ada inventarisasi ada berapa motif songket di Palembang. Sejumlah pihak yang Kompas temui menyatakan, ada 50, 71, bahkan 109 buah. Mang Amin mengatakan, setiap motif songket Palembang memiliki arti tersendiri.
Misalnya, motif jando berais (dikenakan wanita yang berstatus janda), bungo cino (bangsawan keturunan Tionghoa), limar mentok (perkawinan sultan di Mentok), dan nago besaung (erat kaitannya dengan kepercayaan keturunan Tionghoa di Palembang).
Menurut arkeolog dari Kantor Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti, motif songket ditemukan dalam relief Candi Bumi Ayu di Sumsel, Candi Mendut di Jawa Tengah, dan Candi Gumpung di Jambi. Pada beberapa makam para sultan dari Kesultanan Palembang Darussalam yang berkuasa pada abad ke-17 hingga ke-19 Masehi juga tertera motif hias seperti songket. Hal ini menandakan tradisi menenun songket sudah ada sejak lama.
Di zaman dulu, kata Mang Amin, hanya wanita yang telah menikah yang bisa mengenakan songket, baik itu songket buatan sendiri maupun turunan dari orangtua atau mertua. Bahkan, di Palembang, ada sebuah tradisi yang dulu dilestarikan, yakni 7 turun, 5 turun, 3 turun angka tersebut menandakan jumlah kain songket yang diturunkan ke generasi berikutnya. ”Namun, tradisi tersebut berangsur hilang walau masih ada beberapa orang yang masih menjaganya,” kata Mang Amin.
Mang Amin menghargai banyaknya inovasi yang dibuat para pelaku usaha untuk memperkenalkan songket kepada generasi mudai. Di satu sisi, cara ini ampuh untuk merangkul pasar baru. Namun, di sisi lain, perubahan kebudayaan yang cepat ini bisa memudarkan nilai penting dari songket itu sendiri.
Menurut dia, banyak penenun songket yang hanya melakukan pekerjaannya tanpa tahu apa arti yang terkandung di balik tenunan songket itu sendiri. ”Saat ini, pelaku industri kain terpaksa harus membuat kain tenun atau produk bermotif songket dengan cepat karena pesatnya tuntutan pasar,” kata Mang Amin.
Padahal, membuat songket membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Karena menurut dia, songket bukan sekedar kain biasa, tetapi kain yang sakral. Dulu, ujar Mang Amin, bagi orang Palembang, songket adalah sebuah kebanggaan bagi perempuan yang baru menikah. ”Semakin mahal atau semakin banyak songket yang diterima, semakin tinggi status sosial orang tersebut,” kata Mang Amin.
Karena itu, menurut dia, pengetahuan tetang songket harus terus ditularkan kepada generasi muda. Jika tidak, kesadaran mereka tentang nilai penting dari songket akan kian pudar seiring perkembangan zaman. ”Bayangkan saja, masih banyak motif songket yang tidak memiliki kajian mendalam. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah,” kata Mang Amin.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Cahyo Sulistyaningsih mengatakan, beragam upaya untuk perlindungan songket di Palembang terus dilakukan. Salah satunya adalah predikat songket sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional pada 2013.
Memang, untuk diajukan ke WBTB dunia, songket palembang kalah cepat dengan songket Malaysia. ”Bisa dibilang kita kecolongan dari Malaysia. Tetapi, ini akan menjadi pembelajaran kita ke depan,” kata Cahyo.
Kajian dan inventarisasi terkait songket di Sumsel pun terus berlangsung. ”Tujuannya tidak lain agar generasi muda di Sumatera Selatan tetap mengenal budayanya,” ujar Cahyo.