Deforestasi Kian Masif, Sungai-sungai Kunci di Kalteng Menuju Kritis
Sungai-sungai kunci di Kalteng kian rapuh karena tutupan hutan terus menyusut di sekitarnya. Kerapuhan itu mulai terlihat dari bencana yang kian buruk di Kalteng, baik banjir maupun kebakaran hutan dan lahan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Sungai-sungai kunci di Kalimantan Tengah di ambang kritis akibat alih fungsi lahan. Pemerintah perlu melihat kembali perizinan konsesi, khususnya pelanggar kawasan hutan, dengan pendekatan daerah aliran sungai.
Hal itu terungkap dalam diskusi akhir tahun yang diselenggarakan Save Our Borneo (SOB) dengan tema ”Sawit dalam Kawasan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kalimantan Tengah”, Senin (20/12/2021). Kegiatan itu dihadiri beberapa organisasi lingkungan di Kalimantan Tengah.
Dari data Greenpeace, tutupan hutan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) di seluruh sungai besar di Kalimantan Tengah menuju kritis. Sungai Kahayan yang pada tahun 1990 tutupan hutan di sekitarnya mencapai 969.836,1 hektar berkurang menjadi 570.847,7 hektar pada tahun 2020. Tersisa 37,1 persen tutupan hutan di DAS Kahayan.
Sungai Kahayan memiliki panjang 250 kilometer dan melintas di Kabupaten Pulang Pisau, Gunung Mas, dan Kota Palangkaraya. Sungai ini merupakan sumber kehidupan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Meluapnya sungai ini menyebabkan tiga kabupaten dan kota tersebut direndam banjir hingga hampir satu bulan.
”Deforestasi didorong oleh perluasan pertanian skala besar dan penebangan yang berdampak pada daerah aliran sungai di Kalteng. Bentang alam menjadi lebih sensitif terhadap peristiwa iklim, seperti kekeringan dan curah hujan yang tinggi,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas.
Lalu, Sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur pada tahun 1990 memiliki tutupan hutan di sekitarnya mencapai 923.493,8 hektar. Namun, tahun 2020, tutupan hutan tersisa 287.714,8 hektar saja. Tutupan hutan di sekitar sungai yang panjangnya mencapai 400 kilometer itu beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Sungai Mentaya menjadi yang paling kritis dengan hutan di sekitarnya hanya tersisa 19,6 persen.
Tutupan hutan di sekitar Sungai Kaki juga di bawah 30 persen pada tahun 2020 atau tepatnya hanya 26,4 persen dari sebelumnya 70,6 persen pada tahun 1990. Selain itu, masih ada enam sungai besar lainnya yang melintas di 14 kabupaten/kota di Kalteng yang kondisinya tidak jauh berbeda, yakni Kapuas, Barito, Sebangau, Sebangau Kecil, Katingan, dan Seruyan.
”Sayangnya, batasan minimum menjaga tutupan hutan 30 persen itu dihapus Omnibus Law sehingga deforestasi di sekitar sungai ke depan akan jauh lebih besar. Harusnya dipertahankan itu kawasan hutan 30 persen,” ucap Arie.
Arie menambahkan, dengan turunnya tutupan hutan, bencana terus-menerus terjadi sejak tahun 1990, seperti banjir karena luapan sungai dan banjir rob. Bahkan, kekeringan hingga menyebabkan kebakaran lahan di wilayah gambut yang rusak juga terjadi.
Oleh karena itu, perlu ada evaluasi perizinan dengan basis pendekatan daerah aliran sungai untuk mengukur batas lahan atau kawasan hutan yang bisa dipertahankan. Hal ini penting karena karakteristik kehidupan masyarakat di Kalteng berpusat pada sungai. ”Jadi, distop ekspansinya, dievaluasi izin konsesi berdasarkan DAS, lalu wilayah-wilayah yang kritis itu direhabilitasi,” kata Arie.
Turunnya tutupan hutan atau deforestasi di sekitar DAS di Kalteng, tambah Arie, terbukti dengan banyaknya perkebunan sawit yang sudah beroperasi, bahkan sudah panen, masuk dalam kawasan hutan. Perlu ada pemulihan kembali kawasan hutan dan tata kelola kawasan hutan dengan pelibatan masyarakat.
Ini juga harus dilihat kerugian negaranya sehingga ada penegakan hukum yang bisa dijalankan.
”Pengakuan kawasan hutan bukan hanya soal sawit (yang masuk dalam kawasan hutan), melainkan juga desa-desa, bahkan lahan pertanian yang masuk kawasan hutan,” ujarnya.
Hal serupa disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono. Sampai saat ini terdapat 1,7 juta hektar luas perkebunan sawit di Kalteng yang sudah beroperasi menurut data Kementerian Pertanian.
Dari total luas itu, setelah dilakukan tumpang susun peta, lebih kurang 821.862 hektar perkebunan sawit masuk dalam kawasan hutan. Artinya, hanya 878.138 hektar yang perizinannya di luar kawasan hutan.
Dimas menambahkan, pada tahun ini, sedikitnya terdapat 600.000 hektar yang ditawarkan untuk mendapat izin pelepasan kawasan hutan meski di lapangan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit itu bahkan sudah bertahun-tahun berproduksi. ”Ini juga harus dilihat kerugian negaranya sehingga ada penegakan hukum yang bisa dijalankan,” katanya.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng Harlind Ardi tidak menampik banyak perusahaan sawit yang kebunnya masuk dalam kawasan hutan. Tak hanya itu, ia menambahkan, banyak juga kebun koperasi sawit milik masyarakat yang masuk dalam kawasan hutan.
”Ini kami terus perjuangkan agar dikeluarkan dari kawasan hutan. Salah satu caranya dengan memperjuangkan hal ini dalam revisi tata ruang dan wilayah Kalteng,” ungkap Harlind.
Harlind menambahkan, sejak moratorium sawit tahun 2011 di Kalimantan Tengah, tidak ada perluasan lahan perkebunan sawit yang baru. ”Yang ada itu hanya menanam di wilayah HGU (hak guna usaha) yang sudah ada,” katanya.
Halind menyampaikan, dari 170 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalteng, sebanyak 105 perusahaan bergabung di Gapki. Meski tak memiliki data pasti, menurut dia, sebagian besar perusahaan tersebut wilayahnya masuk dalam kawasan hutan akibat SK Menteri Kehutanan Nomor 592 soal penunjukan kawasan hutan.
”Ada perusahaan yang sudah melapor ke KLHK, tetapi ada juga perusahaan yang diam saja,” ujar Halind.