Perempuan Tani Pulang Pisau Berinovasi di Ladang Gambut
Saat pandemi meraja, kelompok perempuan tani tak mau tinggal diam. Tak hanya sebagai ibu rumah tangga, mereka juga bergerak menopang perekonomian keluarga sekaligus menjaga gambut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan sendi ekonomi rakyat. Namun, perempuan tani di pelosok Kalimantan Tengah enggan menyerah. Mereka menyiasati lahan gambut demi menjaga asap dapur tetap mengepul tanpa membakar gambut.
Yayu Sunarti (50) merupakan satu dari 14 anggota Kelompok Tani Sri Dadi di Desa Talio Muara, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Desa itu terletak 145 kilometer dari Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng. Desa itu salah satu wilayah langganan kebakaran lahan.
Ia mencoba mengingat kembali bencana asap yang menyesakkan paru-parunya. Saat itu, ia sadar betul banyak warga yang masih membakar lahannya untuk menanam padi. Pemerintah kemudian memberlakukan larangan membakar lahan.
Ia dan warga desa pun kebingungan. Sawah yang selama ini dibersihkan dengan cara dibakar sudah tidak maksimal lagi untuk dikelola tanpa membakar. ”Bisa tapi biayanya mahal, gak sanggup,” katanya.
Walakin, ia dan kelompok tani yang isinya didominasi ibu-ibu rumah tangga itu memikirkan solusi. Solusi yang membuat dapur tetap berasap dengan masakan untuk anak-anaknya, namun tanpa harus membakar lahan gambut.
Kondisi itu membuat Yayu dan anggota Kelompok Tani Sri Dadi mencari ide bisnis yang tepat. Berbekal pengalaman anaknya yang pernah praktik budidaya jamur di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Yayu sekeluarga mengadu peruntungan untuk membudidayakan jamur tiram.
Bak gayung bersambut, anggota kelompok lain pun mulai mengumpulkan informasi soal mengelola jamur tiram. Bersama-sama mereka naik kelas, dari kelompok tani yang hanya bergelut di sawah menjadi kelompok usaha bersama.
Seperti terlihat Senin (20/9/2021) pagi, rumah Yayu sudah dikunjungi Sarwiyah (80) dan Pariah (40), anggota kelompok. Mereka menyirami kantong serbuk kayu berbentuk silinder atau yang dikenal dengan baglog tempat tumbuhnya jamur tiram di rak-rak kayu.
Terlihat seperti berbentuk kuping, jamur-jamur putih mencuat dari dalam baglog itu. Dibutuhkan waktu 35 hari untuk sampai pada tahap itu. Sebelumnya sudah ada banyak proses yang dilalui dengan tangan-tangan cekatan.
Pariah, anggota paling senior, memberikan contoh memanen jamur tiram. Baglog sisa panenan pun tak ia buang, namun dikumpulkan dalam karung. ”Ini bisa jadi pupuk,” ujarnya.
Pariah dan Yayu juga menunjukkan bagaimana ia membersihkan tangan dan kaki dengan alkohol sebelum menaruh bibit pada baglog yang berisi serbuk kayu sengon (Albizia chinensis) dan galam (Melaleuca leucadendron) tanaman rawa gambut. ”Dua tahun sebelum pandemi. kami sudah cuci tangan pakai alkohol,” ucapnya seraya tersenyum.
Produksi pun kian lancar sehingga bisa menghasilkan 2-3 kilogram jamur tiram tiap bulan dengan omzet lebih kurang Rp 1 juta per bulan. Pandemi memang membuat omzetnya menurun, namun kelompok wanita tani itu tak mau diam. Mereka kini tak hanya menjual jamur tiram mentah, tetapi juga mengolahnya menjadi kerupuk siap santap.
Hal serupa dilakukan Kelompok Wanita Tani (KWT) Desa Talio Hulu. Ada Supriapriani (39) dan Suarti (31) yang sedang memetik biji kopi liberika di desanya yang berjarak lebih kurang dari 15 kilometer dari desa Yayu.
Kopi legendaris yang dibawa dari Pulau Jawa ke Kalimantan oleh para transmigran itu sudah puluhan tahun umurnya, namun tetap perkasa. Mulai dari kemasan plastik biasa, kini mereka mengemas bubuk kopi dengan berat isi 65 gram, 150 gram, dan 200 gram. Penjualannya sudah sampai luar desa, dari Pulang Pisau hingga Kota Palangkaraya.
”Biasanya kami jual Rp 12.000 per bungkus yang 200 gram, sekarang kami jual Rp 10.000 biar lebih murah. Soalnya, pandemi ini yang mesen berkurang, gak seperti dulu. Makanya, harganya diturunkan dulu,” kata Suarti.
Meski dalam situasi pandemi, roda penggilingan kopi terus berputar dengan biji-biji kopi liberika dan rosbusta hingga menjadi kemasan bernama Kopi Talihu. Kini, kelompok wanita tani itu sudah mulai mencoba biji kopi pilihan, tak hanya menjual bubuk kopi.
Seakan tak mau berhenti, saat pesanan kopi berkurang, mereka kini mencoba menanam tanaman porang, kacang-kacangan, dan beragam sayuran yang baru dimulai awal 2021 ini. Tujuannya, untuk mendapatkan hasil harian. Meski belum dipanen, tanaman porang mereka sudah ada pemesannya.
Menanam porang dan sayuran juga dilakukan di Desa Kantan Atas, Kabupaten Pulang Pisau. Mereka memanfaatkan pekarangan rumah, pekarangan kantor desa, hingga sela-sela tanaman karet dan sengon mereka tanami sayuran tersebut. Sayur bisa dikonsumsi keluarga hingga dijual ke pasar di desa atau bahkan desa tetangga.
Ketiga desa tersebut, Talio Hulu, Talio Muara, dan Kantan Atas, merupakan Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) dampingan fasilitator desa dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), juga Lembaga Kemitraan. Mereka diberi modal dalam program revitalisasi ekonomi sehingga akhirnya bisa membuat rumah jamur, mendapatkan peralatan sangrai kopi, dan lain sebagainya.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRGM Myrna Asnawati Safitri mengungkapkan, tujuan utama dari pembentukan kelompok tani dengan beragam usaha itu adalah dukungan penyediaan nutrisi yang baik bagi keluarga petani.
”Beberapa kelompok itu merupakan bagian dari dukungan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ketahanan pangan,” ujar Myrna.
Myrna menambahkan, selain memenuhi nutrisi keluarga, usaha mikro, kecil, dan menengah itu dapat dikembangkan untuk skala ekonomi yang lebih besar sebagai alternatif pendapatan keluarga, kelompok, dan desa.
Berdasarkan data Kemitraan, sedikitnya 48 produk dihasilkan dari lahan gambut di 46 DMPG di Kalteng, termasuk Kopi Talihu, jamur tiram, dan bermacam sayuran. Sebagian besar lahan yang mereka kelola merupakan lahan gambut bekas terbakar puluhan atau beberapa tahun lalu.
Inovasi di lahan gambut yang dilakukan kelompok wanita tani itu tak hanya berdaya menjadi alternatif mata pencarian, tetapi juga membantu proses pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Apalagi, 10 persen dari penghasilan mereka disumbangkan kepada kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) untuk memadamkan dan mencegah api membakar lahan gambut.
Para perempuan tangguh itu pernah ”dikepung” asap gambut dan kini dihajar pandemi. Namun, mereka pantang mundur. Dipakainya caping, diambilnya pacul, lalu bergerak maju dengan tujuan jelas.