Produksi Tahu dan Tempe di Sidoarjo Kembali Normal, Harga Naik 15 Persen
Produksi tahu-tempe di Sidoarjo, Senin (4/1/2021), kembali normal setelah perajin mogok produksi 3 hari. Produsen menaikkan harga dan memperkecil ukuran untuk menyesuaikan kenaikan harga kedelai yang melebihi 25 persen.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Produksi tahu dan tempe di Kabupaten Sidoarjo, Senin (4/1/2021), kembali normal setelah produsen mogok produksi selama tiga hari. Untuk mengimbangi kenaikan harga bahan baku kedelai yang mencapai 25 persen, produsen menaikkan harga jual sebesar 10-15 persen dan mengecilkan ukuran produknya.
Dewi Kurniawati (35) mengaku senang melihat tumpukan tempe di pedagang langganannya di Pasar Larangan Sidoarjo. Ibu rumah tangga itu pun langsung membeli empat kotak tempe berbungkus daun pisang kesukaannya. Dua kotak tempe dimasak pada hari ini dan dua lainnya dimasak keesokan harinya.
”Senang sekali akhirnya bisa kembali menikmati tempe setelah tiga hari ini tidak menyantapnya meskipun sudah mencari di beberapa pedagang. Tanpa tempe atau tahu, rasanya tetap ada yang kurang di meja makan,” ujar Dewi.
Salah satu pedagang tempe dan tahu di Pasar Larangan, Sunarto (45), mengatakan, saat ini produksi kembali normal, tetapi harga jual sedikit lebih mahal. Satu kotak tempe yang biasanya dia jual Rp 4.000, sekarang dijual Rp 5.000 atau naik 25 persen. Kenaikan harga tempe itu berasal dari produsen menyusul naiknya harga kedelai.
Berdasarkan pemantauan Kompas, sejumlah sentra produksi tempe dan tahu di Sidoarjo, seperti di Desa Sepande, Kecamatan Candi, dan Desa Tropodo, Kecamatan Krian, kembali berproduksi. Puluhan pekerja mengolah kedelai menjadi tahu dan setelah barang jadi, sejumlah pedagang perantara membelinya untuk dijual lagi secara eceran di pasar ataupun dengan cara keliling kampung.
Salah satu produsen tahu tempe yang juga Ketua Primkopti Karya Mulya Sukari mengatakan, harga kedelai impor saat ini mencapai Rp 9.050 per kilogram, naik dari sebelumnya Rp 7.000 per kg. Kenaikan harga yang mencapai Rp 2.050 per kg atau sekitar 29 persen itu dinilai memberatkan pelaku usaha.
”Yang memberatkan, harga bahan baku naik tinggi, sementara produsen tidak bisa menaikkan harga jual produknya karena daya beli masyarakat yang rendah sebagai dampak kondisi ekonomi yang terdepresiasi akibat pandemi Covid-19,” kata Sukari.
Mayoritas produsen tahu tempe di Sidoarjo melakukan mogok produksi secara nasional selama tiga hari pada 1-3 Januari. Tujuannya tidak lain agar para pemangku kebijakan di negeri ini memberi perhatian serius terhadap kenaikan harga kedelai yang melambung tinggi.
Menurut Sukari, produsen tahu dan tempe mayoritas mengandalkan kedelai impor sebagai bahan baku produksinya. Itu karena produksi kedelai lokal sangat minim. Selain itu, kualitas kedelai lokal juga dinilai masih jauh dari harapan sehingga berpengaruh terhadap kualitas produk tahu dan tempe yang dihasilkan.
”Produsen sendiri sudah berupaya maksimal dengan menaikkan harga jual produk sebesar 10-15 persen dan mengecilkan ukuran. Harapannya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang memproduksi tahu dan tempe,” ucap Sukari.
Menurut Sukari, ada lima Primkopti yang memasok kebutuhan kedelai di Sidoarjo. Primkopti Karya Mulya, misalnya, rata-rata memasok 400 ton kedelai untuk kebutuhan 270 anggotanya dan juga kebutuhan produsen tahu tempe di luar anggota koperasi.
Penjabat Bupati Sidoarjo Hudiyono mengatakan, meskipun terjadi kenaikan harga kedelai, pihaknya memastikan stok barang aman dan tidak ada kelangkaan. Hasil inventarisasi Dinas Perindag Sidoarjo, stok kedelai saat ini sebanyak 450.000 ton. Semuanya merupakan kedelai impor dari Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina.
Stok kedelai itu diprediksi mampu mencukupi kebutuhan produksi industri tahu dan tempe selama tiga bulan ke depan atau hingga musim panen tiba di AS, Argentina, dan Brasil. Berdasarkan data Disperindag Sidoarjo, rata-rata permintaan kedelai dari sentra-sentra produksi tempe dan tahu di Sidoarjo sebesar 15.000 ton per bulan.
”Selain mengandalkan pasokan kedelai impor, Sidoarjo sebenarnya berpotensi menghasilkan kedelai lokal. Dengan luas lahan pertanian 20.000 hektar, petani leluasa menanam komoditas pangan selain padi asalkan harganya menarik,” ujar Hudiyono.
Kepala Disperindag Sidoarjo Tjarda mengatakan, pihaknya terus berupaya memastikan stok kedelai untuk kebutuhan industri tahu dan tempe aman. Salah satunya berkomunikasi dengan Perum Bulog Divre Jatim Subdivre Surabaya Utara dan sejumlah importir kedelai yang memiliki usaha di Sidoarjo.
Tjarda meminta masyarakat tidak resah karena produsen tahu dan tempe di Sidoarjo sudah kembali berproduksi seperti sebelum terjadi kenaikan harga kedelai. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berupaya menjamin pasokan kedelai karena menyadari tahu dan tempe telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat.