Membakar Ranting dan Rumput, Enam Petani Ditahan Polisi
Polda Sumsel menangkap enam petani yang terbukti membuka lahan dengan cara membakar. Mereka berasal dari tiga daerah di Sumsel, yakni Ogan Komering Ilir, Penukal Abab Lematang Ilir, dan Banyuasin.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel menangkap enam petani yang terbukti membuka lahan dengan cara membakar. Mereka berasal dari tiga daerah di Sumsel, yakni Ogan Komering Ilir, Penukal Abab Lematang IIir, dan Banyuasin. Mereka membuka lahan dengan cara membakar karena dianggap lebih murah.
Keenam petani yang ditangkap adalah empat warga Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, SS (47), MS (66), MU (65), dan Al (46). Lalu BG (45), warga Banyuasin, dan SR (30) asal Kabupaten Ogan Komering Ilir. Keenamnya tertangkap tangan melakukan pembakaran di atas lahan masing-masing dengan luas 1-5 hektar. Penangkapan ini dilakukan pada rentang waktu 1 Juli-17 Juli 2020.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Komisaris Besar Anton Setyawan, Jumat (17/7/2020), mengatakan, mereka ditangkap karena membakar lahan untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan. ”Padahal, sejak awal sudah ditegaskan bahwa membakar itu dilarang,” katanya.
Mereka melakukan pembakaran dengan menggunakan alat yang sederhana berupa korek api dan minyak tanah. Pembakaran dilakukan setelah sebelumnya pelaku memotong tanaman liar dan ranting kemudian langsung membakarnya atau membabat dan mengumpulkan tumbuhan liar baru membakarnya.
Dari hasil pemeriksaan, keenam tersangka ini melakukan pembakaran secara mandiri atau dengan menyuruh orang lain dan membayar upah. Dari hasil pemeriksaan, upah yang dibayar sekitar Rp 4 juta untuk membersihkan lahan seluas hampir 2 hektar.
Anton mengatakan, Maklumat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan tentang Larangan Pembakaran Hutan, Lahan, dan Ilalang/Semak Belukar menegaskan, semua pihak, baik perorangan maupun koorporasi, dilarang membuka lahan dengan cara membakar. Kegiatan itu dikhawatirkan dapat merusak lingkungan, membahayakan kesehatan, dan terganggunya aktivitas di semua sektor.
Berdasarkan maklumat yang dikeluarkan pada 11 Juni tersebut, semua pelaku yang terbukti membakar lahan akan dikenai sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Ancaman hukuman mulai dari 1 tahun hingga 15 tahun penjara dan denda mulai dari Rp 1,5 miliar sampai Rp 10 miliar.
SR, seorang petani dari Kabupaten Ogan Komering Ilir, mengaku telah mengetahui jika membuka lahan dengan cara membakar itu melanggar hukum. Namun, hal itu terpaksa dia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. ”Saya tidak memiliki uang untuk membersihkan lahan, jadi saya membakar lahan karena biayanya jauh lebih murah dibanding menggunakan alat,” katanya.
Saya tidak memiliki uang untuk membersihkan lahan, jadi saya membakar lahan karena biayanya jauh lebih murah dibanding menggunakan alat. (SR)
BG, petani asal Banyuasin, juga telah mengetahui larangan tersebut. Hanya saja, membakar adalah cara paling efektif untuk membersihkan lahan. ”Sebenarnya saya hanya ingin membakar beberapa tumbuhan liar, tetapi tidak menyangka kebakaran bisa sampai merambat luas,” katanya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Hairul Sobri mengatakan, tindakan para petani ini berpotensi merusak lingkungan. Namun, jika dilihat dari luasan yang hanya beberapa hektar, dampak yang ditimbulkan tidaklah sebesar korporasi yang telah menyebabkan kebakaran ratusan ribu hektar lahan di Sumsel.
Hairul ingat tahun lalu Polda Sumsel juga menangkap sejumlah petani kecil yang membuka lahan dengan cara membakar, tetapi hanya mengungkap satu kasus karhutla yang melibatkan korporasi. Hal ini tentu akan menimbulkan anggapan, polisi hanya berani menangkap petani kecil dan tidak mampu menangkap kebakaran yang disebabkan korporasi.
Menurutnya, ujar Hairul, yang terpenting saat ini adalah melakukan sosialisasi dan memberikan solusi kepada para petani. ”Jika tidak boleh membakar, terus apa solusinya? Itu yang harus dikedepankan, bukan hanya menangkap para petani,” kata Hairul. Selain itu, dirinya juga berharap pemerintah tegas mengevaluasi izin perusahaan yang lahan konsesinya terbakar tahun lalu.
Libatkan masyarakat
Kepala Subkelompok Kerja Sumatera Selatan Badan Restorasi Gambut (BRG) Onesimus Patiung menuturkan, cara yang paling efektif untuk mencegah kebakaran lahan adalah dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam menjaga lahan. Caranya mengelola lahan tersebut agar memiliki nilai ekonomi.
Hal inilah yang dilakukan BRG dalam menjaga lahan gambut yang diintervensi agar tidak kembali terbakar. Tahun ini saja, ujar Onesimus, BRG mengelontorkan dana sekitar Rp 4,2 miliar untuk melakukan revitalisasi ekonomi pada 35 kelompok masyarakat yang ada di sekitar lahan gambut yang diintervensi.
Program revitalisasi ekonomi ini sudah mulai diterapkan sejak Rp 2017 lalu. Saat itu, BRG menggelontorkan dana sekitar Rp 2,1 miliar untuk mengembangkan ekonomi pada 10 kelompok masyarakat. Program ini berlanjut pada 2018 sebesar Rp 4,9 miliar dan pada 2019 sebesar Rp 5,1 miliar.
Sebagian besar kelompok masyarakat diimbau mengembangkan sejumlah sektor usaha, seperti peternakan, perikanan, tanaman pangan, buah-buahan, dan pengembangan usaha di sektor lain. Dengan terciptanya nilai ekonomi ini, ujar Onesimus, kemungkinan adanya kebakaran lahan dapat diminimalkan karena masyarakat merasakan keuntungan ekonomi dari lahan yang mereka kelola.