Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sedang dibahas di DPR dinilai merenggut hak-hak dasar masyarakat adat. Kebijakan itu berpotensi menambah konflik berkepanjangan di Indonesia.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sedang dibahas di DPR dinilai merenggut hak-hak dasar masyarakat adat. Rancangan undang-undang itu berpotensi menambah konflik berkepanjangan di Tanah Air.
Hal itu terungkap dalam serial webinar dengan tema ”Peranan Hukum Adat dalam Penerapan UUPA 1960 di Kalteng Menyongsong Era Omnibus Law” yang diselenggarakan oleh Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat di Palangkaraya, Kamis (4/6/2020).
Hadir sebagai pemateri, antropolog Dayak, Marko Mahin dari Lembaga Studi Dayak 21; Ketua Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rakhma Mary; dan pakar hukum agraria dari Universitas Andalas, Kurnia Warman.
Dalam paparannya, Siti Rakhma mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja akan menambah runyam konflik agraria di Indonesia. Bukan hanya kriminalisasi, perampasan tanah juga masih akan terjadi karena RUU yang disebut juga omnibus law itu melanggar prinsip dan filosofi Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang menjadi acuan hukum agraria di Indonesia.
”Argumentasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan penduduk terpatahkan dengan mencermati seluruh pasal dalam omnibus law. Ini merupakan ajang perampokan besar-besaran sumber daya alam,” kata Rakhma.
Rakhma menjelaskan, data YLBHI mencatat dalam dua bulan saja pada tahun 2020 sudah ada 16 kasus perampasan tanah yang terjadi di Indonesia. Dari 16 kasus itu, setidaknya 70 keluarga kehilangan lahan dan lebih dari 900 keluarga terancam kehilangan lahan. Sebanyak 40 keluarga dari kasus-kasus tersebut merupakan komunitas adat, seperti yang terjadi pada orang rimba di Jambi dan keluarga masyarakat adat Minahasa di Kelelendoy, Sulawesi Utara.
Ini merupakan ajang perampokan besar-besaran sumber daya alam. (Siti Rakhma Mary)
”Parahnya lagi, aparat menjadi tameng para pemilik modal sehingga penegakan hukum tidak jalan dan kriminalisasi di mana-mana. Nah, omnibus law tidak bisa jadi solusi atas konflik itu, justru akan lebih parah lagi,” tutur Rakhma.
Dalam konteks Kalimantan Tengah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mencatat terdapat 354 konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan di Kalteng di lahan seluas 127.371,88 hektar sejak tahun 2014 hingga kini. Dalam kasus-kasus tersebut, keterlibatan aparat mendominasi.
Banyaknya konflik di Kalteng, menurut Marko Mahin, menjadi satu catatan penting betapa mendesaknya pengakuan masyarakat adat di provinsi tersebut. Hingga kini, dalam skema perhutanan sosial baru ada satu hutan adat yang sudah diakui beserta komunitas adatnya. Itu pun membutuhkan waktu dan proses panjang.
”Padahal, suku Dayak itu (selama ini) sudah menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan masalah dan pengelolaan kehidupannya yang berdasar pada kepercayaan,” ungkap Marko.
Marko menilai, dalam pasal-pasal RUU Cipta Kerja belum tersurat keinginan pemerintah untuk mengakui hukum adat dan masyarakatnya. Justru, kepentingan korporasi lebih banyak menjadi acuan dalam pembahasan RUU tersebut.
”(Dalam RUU) hanya ada kewenangan (masyarakat adat) untuk memanfaatkan tanahnya, bukan menguasai atau mengelola. Di satu sisi, korporasi akan banyak diuntungkan, apalagi ketika masa investasi diperpanjang dari 35 tahun menjadi 90 tahun,” ujar Marko.
Kurnia Warman mengungkapkan, dalam banyak aturan yang terpecah dari berbagai undang-undang, baik di perkebunan, kehutanan, pertambangan, maupun migas, disebut soal pengakuan masyarakat adat. Namun, ketidaktahuan pemerintah dan keengganan pemegang izin memicu konflik.
”Dalam aturan sektoral itu dinyatakan, pemegang izin usaha wajib mengurus perolehan tanahnya menurut hukum agraria. Artinya, dalam perolehan tanah untuk izin usaha SDA (sumber daya alam) wajib mengakui hak masyarakat berdasarkan hukum adat,” ungkap Warman.
Seperti yang terjadi di Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur, tiga warganya ditangkap karena dituduh mencuri, yakni James Watt (47), Hermanus (almarhum), dan Dilik. Padahal, mereka memanen di lahan milik masyarakat atau berada di luar hak guna usaha. Sawit tersebut memang ditanam perusahaan.
Dalam hak asal-usul di UUPA 1960, lanjut Kurnia, apabila ada benda di atas tanah, dan benda itu tidak diketahui asal-usulnya oleh pemilik tanah, benda itu memberikan manfaat bagi pemilik tanah, maka benda tersebut menjadi milik pemilik tanah karena ada asas asesi di situ atau perlekatan.
Namun, apa daya tiga orang itu ditangkap dan dipenjara. Mereka sudah menjalani 10 kali persidangan, padahal perusahaan menanam di atas tanah yang jelas berada di luar hak guna usaha.
Pengamat dan peneliti masyarakat hukum adat Yando Zakaria saat dihubungi secara terpisah mengatakan, saat ini tidak perlu lagi berdebat panjang soal masyarakat hukum adat. Tanpa RUU Cipta Kerja, pemerintah bisa memberikan lapangan pekerjaan yang luas kepada masyarakat, apalagi masyarakat adat.
”Kalau mau bikin lapangan kerja, tidak perlu omnibus law, bikin perppu mencabut Pasal 67 Ayat (2) UU Kehutanan. Ada 40 juta pekerja yang dibutuhkan di sana,” kata Yando.
Ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan: ”Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Adapun Ayat (1) berbunyi: ”Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”.