Publik Sudah Lelah dengan Berita Negatif dan Menyedihkan
Bosan baca berita negatif dan menyedihkan, publik beralih ke konten yang lebih positif yang disampaikan dengan menarik.
Berita yang negatif dan menyedihkan, seperti politik dan perang, semakin kurang diminati publik. Berita-berita berkarakter seperti itu tak henti-hentinya beredar sehingga membosankan dan membuat publik bingung, kewalahan, lalu lelah.
Akibatnya, semakin banyak orang yang berpaling atau menghindari mengonsumsi berita, khususnya berita-berita dari media arus utama. Perang di Ukraina dan Timur Tengah diduga berkontribusi pada perubahan konsumsi berita yang menjadi tren global ini. Meski minat pada berita menurun, kepercayaan publik terhadap berita tetap stabil.
Baca juga: Jurnalisme sebagai Jembatan Perdamaian
Ini kesimpulan dari hasil analisis Institut Reuters di Universitas Oxford berdasarkan survei YouGov pada Januari-Februari 2024 untuk Digital News Report 2024. Survei YouGov melibatkan 94.943 responden dewasa di 47 negara. Laporan analisis yang dipublikasikan BBC News, Senin (17/6/2024), itu menyebutkan, hampir empat dari 10 orang (39 persen) di seluruh dunia mengaku kadang-kadang atau sudah sering menghindari baca berita.
Jumlahnya meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2017 yang angkanya 29 persen. Perempuan dan anak muda cenderung merasa lebih lelah dengan banyaknya berita yang beredar.
Di seluruh dunia, 46 persen responden menyatakan tertarik atau sangat tertarik dengan berita. Jumlah ini turun dari 63 persen pada 2017. Khusus di Inggris, minat terhadap berita berkurang hampir setengahnya sejak 2015. Meski trennya turun, khusus untuk berita-berita terkait pemilu seperti pemilu di Amerika Serikat masih relatif tinggi.
”Dalam beberapa tahun terakhir, agenda pemberitaan sangat sulit,” kata penulis utama laporan Institut Reuters di Universitas Oxford, Nic Newman, kepada BBC News.
Baca juga: Bahayakan Jurnalisme, ”The New York Times” Gugat OpenAI dan Microsoft
Newman menduga, publik semakin menghindari berita negatif dan menyedihkan demi melindungi kesehatan mental mereka. Atau bisa jadi mereka sekadar ingin menikmati hidup. Dari hasil analisis, terlihat orang yang memilih untuk menghindari berita sering melakukannya karena merasa ”tidak berdaya”.
Mereka adalah orang-orang yang merasa tidak mempunyai pilihan atas persoalan-persoalan besar di dunia. ”Kita pernah mengalami pandemi Covid-19 dan perang. Jadi, barangkali ini bentuk reaksi alami orang menghindari berita,” ujarnya.
Video berita pendek
Dalam laporan analisis itu disebutkan pula jumlah konsumen sumber berita konvensional seperti televisi dan media cetak menurun tajam selama 10 tahun terakhir. Salah satunya karena generasi muda lebih memilih untuk menyampaikan informasi atau berita mereka secara daring atau melalui media sosial.
Di Inggris, hampir tiga perempat orang (73 persen) mendapatkan berita secara daring. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan 50 persen orang yang masih mengonsumsi berita dari televisi dan 14 persen orang dari media cetak.
Pelantar media sosial yang paling penting sebagai sumber berita tetap Facebook, meski dalam jangka panjang Facebook juga mengalami penurunan. Kanal Youtube dan Whatsapp juga masih menjadi sumber berita penting bagi banyak orang. Sementara Tiktok sedang naik daun, bahkan kini melampaui X untuk pertama kalinya.
Baca juga: Video Merajai Konten Media Digital
Sebanyak 13 persen orang menggunakan aplikasi berbagi video Tiktok untuk mendapatkan berita. Sementara jumlahnya di X hanya 10 persen. Jumlahnya di Tiktok lebih tinggi lagi untuk kelompok usia 18-24 tahun secara global, yakni sebesar 23 persen.
Bagi anak muda, video kini menjadi sumber berita daring yang lebih penting. Video berita pendek memiliki daya tarik paling besar. Sebanyak 72 persen video berita dikonsumsi di Youtube. Newman menjelaskan, konsumen mengadopsi video karena lebih mudah digunakan dan menyediakan beragam konten yang relevan dan menarik.
Wartawan semakin dikalahkan oleh komentator, pemengaruh (influencer), dan selebritas partisan, terutama di kalangan anak muda di Tiktok, Instagram, dan Snapchat. ”Banyak media konvensional yang masih berkutat pada budaya berbasis teks dan susah mengadaptasi cara penyampaian informasi mereka,” ujarnya.
Laporan Institut Reuters di Universitas Oxford menyebutkan, banyak media sedang beradaptasi dengan inovasi teknologi dan perubahan pola konsumen ini. Hal ini juga memicu perubahan dalam cara media sosial dan mesin pencari beroperasi.
Banyak media konvensional yang masih berkutat pada budaya berbasis teks dan susah mengadaptasi cara penyampaikan informasi mereka.
Banyak pihak sekarang secara eksplisit tidak memprioritaskan konten berita dan politik. Mereka mengalihkan fokus dari ”penerbit” ke ”pencipta konten” dan mendorong format yang lebih menyenangkan dan menarik, termasuk video, demi menarik perhatian publik.
Pemengaruh berita berperan lebih besar dibandingkan dengan organisasi media arus utama dalam menyampaikan berita di pelantar daring populer seperti Tiktok. Dalam survei terhadap 5.600 pengguna Tiktok ditemukan 57 persen memakai Tiktok untuk mencari berita.
Mereka lebih memperhatikan kepribadian dari individu pemengaruhnya ketimbang 34 persen responden yang mengaku mereka lebih mengikuti wartawannya atau media arus utamanya. Temuan ini menunjukkan redaksi perlu membangun hubungan langsung dengan audiens mereka.
”Pelantar daring harus dimanfaatkan untuk menghubungkan diri dengan orang-orang yang lebih sulit dijangkau, seperti audiens anak muda. Seperti yang dilakukan para pemengaruh itu,” kata Newman.
Baca juga: Penghasilan ”Influencer” di China Bisa sampai Rp 7 Triliun
Vitus ”V" Spehar, pembuat konten di Tiktok dengan 3,1 juta pengikut, adalah salah satu tokoh berita yang dikutip beberapa responden survei. Spehar dikenal karena gaya unik dalam menyampaikan berita utama harian.
Ia melakukannya sambil berbaring di lantai di bawah meja. Cara itu dianggap para responden memberikan perspektif yang lebih lembut tentang peristiwa terkini dan kontras dengan pembawa berita konvensional yang duduk kaku dengan meja kursi.
Kecerdasan buatan
Meski terlihat bermasa depan suram, wartawan-wartawan di media konvensional atau arus utama diyakini tetap bisa bertahan. Ada kabar baik. Kepercayaan publik terhadap berita masih tetap stabil. Dalam laporan itu juga ditemukan publik khawatir dengan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam pemberitaan, terutama untuk berita-berita keras seperti politik atau perang.
Publik menilai AI sebaiknya hanya digunakan dalam urusan seperti transkrip dan terjemahan. ”Publik tidak mau AI menggantikan pekerjaan wartawan,” kata Newman.
Mayoritas konsumen berita di Amerika Serikat dan Inggris merasa tidak nyaman dengan jurnalisme yang sebagian besar dihasilkan oleh AI. Mereka tidak masalah jika AI digunakan untuk menghasilkan konten berbasis teks, ilustrasi, grafik, dan foto atau video yang tampak realistis.
Baca juga: Etika Penggunaan AI dalam Jurnalisme
Publik menerima dengan tangan terbuka jika AI dipakai untuk membantu meningkatkan pengalaman mereka dalam menggunakan berita, memberikan informasi yang lebih personal dan mudah diakses. Kekhawatiran publik soal penggunaan AI untuk jurnalisme ini seiring dengan banyaknya media yang memakai AI, mulai dari penelitian hingga menyalin hasil wawancara dan membuat konten.
Kepala Eksekutif News Corp Australia Michael Miller, kepada situs berita Al-Jazeera, mengungkapkan, perusahaan media itu sudah menggunakan AI untuk memproduksi sekitar 3.000 artikel dalam seminggu. Penggunaan AI ini berdampak buruk pada nasib wartawan dan staf redaksi lain.
Tabloid Jerman, Bild, memperingatkan stafnya bahwa mereka kemungkinan terpaksa mengurangi jumlah karyawan karena AI ini. Tahun lalu, Bild mengumumkan program pemotongan biaya operasional hingga 107 juta dollar AS.
Baca juga: Kecerdasan Buatan Segera Kehabisan Naskah Buatan Manusia
Kekhawatiran pada AI ini terkait dengan kekhawatiran terhadap konten berita hoaks atau palsu. Kekhawatiran ini meningkat tiga poin persentase (59 persen responden survei) dibandingkan dengan tahun lalu. Jumlahnya lebih banyak lagi di Afrika Selatan dan AS, masing-masing 81 persen dan 72 persen. Ini karena kedua negara itu mengadakan pemilu tahun ini.
Ada tantangan lain yang dihadapi media arus utama, yakni adanya keengganan publik untuk membayar langganan berita. Sebanyak 17 persen responden di 20 negara mengatakan mereka membayar untuk berita daring. Angka ini tidak berubah selama tiga tahun terakhir. Mayoritas pelanggan berita di AS juga cenderung mau berlangganan karena ada diskon saat masa uji coba atau promosi. (REUTERS/AFP)