UU Cipta Kerja Ditetapkan, Reforma Agraria Semakin Jauh dari Harapan
Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja kian menjauhkan pencapaian reforma agraria, bahkan membuat penyelesaian konflik agraria kian kompleks.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tetap dimasukannya substansi pertanahan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan menjadi undang-undang ini dinilai akan membuat agenda reforma agraria semakin jauh dari harapan. Adanya aturan tentang bank tanah juga tidak dapat menjamin tercapainya tujuan reforma agraria.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Maria SW Sumardjono, saat dihubungi, Senin (5/10/2020), menyayangkan substansi pertanahan tetap dimasukkan dalam UU Cipta Kerja atau omnibus law. Padahal, penyusunan substansi pertanahan tersebut dinilai tidak memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis karena tidak ada undang-undang yang diacu.
Selain itu, pembuatan RUU Cipta Kerja juga dianggap tidak transparan dan tidak mempertimbangkan masukan publik. Padahal, akademisi sudah berulang-ulang menyampaikan masukannya yang dikirimkan ke pemerintah pada Maret dan DPR pada Juli. Namun, masukan tersebut tidak pernah mendapat tanggapan.
Berdasarkan dokumen RUU Cipta Kerja yang dibawa ke sidang paripurna, substansi yang mengatur tentang pertanahan tertuang dalam 22 pasal, yakni Pasal 125-147. Substansi itu, antara lain, mengatur tentang pengadaan tanah, aturan bank tanah, penguatan hak pengelolaan atau HPL, satuan rumah susun (sarusun) untuk orang asing, serta pemberian HPL pada ruang atas dan dan ruang bawah tanah.
Menurut Maria, substansi tentang bank tanah, pemuatan HPL, hingga sarusun, pada hakikatnya bukan merupakan penyederhanaan regulasi yang menjadi tujuan RUU Cipta Kerja. Namun, ia memandang bahwa hal ini sebagai penyelundupan substansi dalam RUU Pertanahan yang sudah ditunda pembahasannya karena bermasalah.
RUU Pertanahan merupakan salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode lalu. Namun, RUU tersebut ditunda pembahasannya pada 23 September 2019 karena penolakan keras sejumlah pihak lantaran berbagai isu krusial dan kontroversial yang tertuang dalam sejumlah pasal.
Salah satu substansi yang kontroversial, yaitu aturan tentang bank tanah. Pemerintah akan membentuk badan bank tanah untuk menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria. Ketersediaan tanah untuk reforma agraria paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan untuk bank tanah.
Dengan disahkannya RUU Cipta Kerja ini sudah jelas akan menjauhkan kita dari agenda reforma agraria. (Maria SW Soemardjono)
”Dengan disahkannya RUU Cipta Kerja ini sudah jelas akan menjauhkan kita dari agenda reforma agraria. Tidak ada yang bisa menjamin 30 persen tanah negara untuk reforma agraria. Sekarang saja tanahnya tidak jelas asal-usul dan pemberiannya,” ujarnya.
Maria juga menilai pembentukan badan bank tanah merupakan hal yang sia-sia. Padahal, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sangat bisa mengelola bank tanah karena mengetahui lokasi dan jumlah tanah negara. BPN juga dapat menghimpun tanah negara dari berbagai sumber dan didayagunakan untuk berbagai tujuan tak terkecuali reforma agraria.
Agenda reforma agraria juga dapat terus dijalankan jika semua pihak fokus pada pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2016 tentang Reforma Agraria di samping menyelesaikan konflik agraria secara tuntas dan mewujudkan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat.
”Aktifkan kerja-kerja Gugus Tugas Reforma Agraria dan bersedia bekerja sama dengan pihak-pihak yang memprakarsai kerja di lapangan untuk memfasilitasi redistribusi tanah. Jadi, kombinasi kerja antara yang diprakarsai pemerintah dan yang diprakarsai masyarakat. Ketiga agenda itu harus dilakukan secara simultan karena itulah inti dari reforma agraria,” ungkapnya.
Bertentangan
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menilai, ada motif pembajakan terhadap Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dalam pengesahan RUU Cipta Kerja. Pembajakan dilakukan karena tujuan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan UUPA yang memandatkan kepada negara untuk melindungi hak-hak konstitusi petani dan seluruh rakyat, terutama terhadap sumber-sumber agraria.
”Di dalam RUU Cipta Kerja akan membentuk bank tanah untuk menjalankan reforma agraria. Ini merupakan bentuk pengkhianatan dan penyimpangan dari agenda reforma agraria. Tidak mungkin reforma agraria disandingkan dengan kebutuhan tanah bagi para investor dan pemilik modal,” tuturnya.
Sebelumnya, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) juga terus menyampaikan desakan kepada pemerintah dan DPR untuk membatalkan pengesahan RUU Cipta Kerja. Mereka menilai aturan tersebut akan menjauhkan langkah tercapainya reforma agraria dan tidak menjadi solusi penyelesaian konflik agraria yang masih banyak terjadi saat ini.
KNPA mencatat, sejak Maret-September 2020, terdapat 39 kejadian konflik agraria yang berupa perampasan tanah, penggusuran, intimidasi, hingga penangkapan. Sejumlah konflik itu antara lain terjadi di Tebo (Jambi), Kebumen (Jawa Tengah), Lamandau (Kalimantan Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Cilacap (Jawa Tengah), dan Minahasa Selatan (Sulawesi Utara).
Serikat petani, buruh, dan organisasi lainnya yang memperjuangkan reforma agraria di berbagai wilayah akan melakukan aksi serentak untuk menolak pengesahan RUU Cipta Kerja selama tiga hari sejak 6-8 Oktober. Aksi tersebut juga menuntut dihentikannya perampasan hak-hak buruh dan tanah rakyat serta menjalankan reforma agraria sejati.