Desakan Mengevaluasi Kebijakan Merdeka Belajar
Transformasi pendidikan lewat Merdeka Belajar telah berjalan selama lima tahun. Banyak hal perlu dievaluasi.
JAKARTA, KOMPAS — Lima tahun Merdeka Belajar diterapkan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim yakin telah mulai mengubah wajah pendidikan agar lebih membahagiakan bagi peserta didik, guru, dan orangtua. Di sisi lain, desakan untuk mengevaluasi kebijakan Merdeka Belajar secara independen dan obyektif mengemuka.
Nadiem meyakini Merdeka Belajar bukan lagi program pemerintah, melainkan menjadi gerakan komunitas dan masyarakat. Karena itu, Merdeka Belajar harus dilanjutkan agar transformasi pendidikan dari usia dini hingga pendidikan tinggi dan pendidikan di luar sekolah dapat meluas dan berkesinambungan.
Baca juga: Menteri Nadiem Ajak Lanjutkan Merdeka Belajar
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, di Jakarta, Jumat (3/5/2024), mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mengevaluasi program Merdeka Belajar yang sudah lahir 26 episode sejak Nadiem Makarim dilantik pada 2019.
”Evaluasi total kebijakan-kebijakan pendidikan era Nadiem Makarim seharusnya dilakukan lembaga independen, termasuk organisasi profesi guru, agar kelangsungan atau dihentikannya kebijakan ini dilakukan secara obyektif, berorientasi perbaikan, jujur, dan berbasis data,” kata Satriwan.
Di era Merdeka Belajar, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dinilai gemar memproduksi istilah-istilah yang secara esensial sebatas jargon atau slogan untuk kepentingan branding program, seperti Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, Kurikulum Merdeka, Platform Merdeka Mengajar (PMM), serta Guru Penggerak.
”Kami menilai, baru di era Mas Nadiem, istilah yang sebenarnya jargon ini mengalami surplus produksi sampai-sampai publik tidak paham dan tidak hafal. Apa saja isi 26 episode Merdeka Belajar itu, apa bedanya Guru Penggerak dengan guru bukan penggerak? Di zaman Mendikbud sebelumnya tidak begini,” tutur Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri.
Iman menambahkan, P2G berharap agar kebijakan seperti Program Guru Penggerak (PGP) yang anggarannya fantastis mencapai sekitar Rp 3 triliun (2024) dihentikan. Sebab, PGP bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. PGP bersifat diskriminatif, eksklusif, tidak berkeadilan, dan tidak mengedepankan prinsip kesetaraan peluang.
Tidak semua guru berhak ikut pelatihan PGP untuk meningkatkan kompetensinya. Padahal, dalam UU Guru dan Dosen Pasal 14 Ayat (1) huruf d disebut, guru berhak mendapat kesempatan meningkatkan kompetensi. ”Artinya, semua guru tanpa kecuali sangat berhak mendapatkan dan mengikuti pelatihan, tidak hanya Guru Penggerak seperti sekarang ini,” kata Iman.
Evaluasi total kebijakan-kebijakan pendidikan era Nadiem Makarim seharusnya dilakukan lembaga independen, termasuk organisasi profesi guru, agar kelangsungan atau dihentikannya kebijakan ini dilakukan secara obyektif, berorientasi perbaikan, jujur, dan berbasis data.
Di era Nadiem, guru dikotak-kotakkan dengan beragam label. Ada istilah Guru Penggerak, Guru Konten Kreator, Guru Fasilitator, Guru Komite Pembelajaran, dan lainnya. Ini jelas membuat kastaisasi guru, eksklusivitas, dan menyulut konflik horizontal sesama guru.
Selain itu, P2G menyoroti tentang PMM yang dibuat Kemendikbudristek. Di daerah, dinas pendidikan dan pengawas sekolah masih mewajibkan guru mengikuti serangkaian kegiatan via PMM untuk mengejar sertifikat, padahal ini mengganggu proses pembelajaran siswa.
”Lebih menyedihkan adalah dinas pendidikan dan pengawas sekolah di daerah mengecek jumlah guru dan sekolah yang tidak mengerjakan PMM. Lalu, ditakut-takuti bahwa tunjangan sertifikasi guru tidak akan cair jika guru tidak menuntaskan PMM. Padahal, antara PMM dan tunjangan sertifikasi itu tak ada kaitannya. Ini sangat ironis dengan Merdeka Belajar,” kata Iman.
Adapun mengenai kebijakan Kurikulum Merdeka, pihaknya menilai perlu dilanjutkan. Hal itu tentu sambil memperbaiki atau merevisi bagian-bagian yang perlu disentuh, termasuk pelatihan guru, seperti halnya dulu Kurikulum 2013 yang direvisi pada 2017.
Sisi baik dan buruk
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, dalam diskusi dan refleksi ”Hari Pendidikan Nasional 2024: Lanjutkan Merdeka Belajar”, mengatakan, berdasarkan hasil pemantauan, JPPI memberikan lampu kuning bagi keberlanjutan Merdeka Belajar.
Meskipun diakui kebijakan ini ada sisi baiknya, tidak sedikit pula yang berdampak buruk. ”Jadi, sebelum dilanjutkan, perlu dievaluasi dan dilakukan langkah-langkah revisi supaya lebih berkualitas dan berkeadilan,” tuturnya.
Ubaid memaparkan, dalam Merdeka Belajar perlu diperjelas konsep Ki Hajar Dewantara yang dirujuk karena di lapangan konsep ini masih multitafsir. Hal ini terjadi karena Kemendikbudristek mengutip konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara, tetapi dalam beberapa hal justru bertentangan dengan prinsip yang diajarkan.
Sebagai contoh, soal pemaknaan merdeka, bagi Ki Hajar, pendidikan adalah proses memerdekakan manusia dan sekolah harus melahirkan manusia yang merdeka. Sementara program Merdeka Belajar dalam Kurikulum Merdeka mereduksi konsep kemerdekaan dalam teknis pembelajaran di kelas.
Selain itu, perlu kejelasan tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan. Dalam gagasan Ki Hajar, untuk menciptakan manusia merdeka, negara harus menjamin hak anak Indonesia di mana pun mereka belajar, di sekolah negeri ataupun sekolah swasta (sekolah partikelir, meminjam istilah Ki Hajar dalam risalahnya yang diterbitkan majalah Pusara, 1948).
”Sayangnya, sisi pemikiran Ki Hajar yang ini tidak masuk episode Merdeka Belajar. Episode Merdeka Belajar justru mendorong agenda privatisasi pendidikan, sebagaimana tecermin dalam RUU (Rancangan Undang Undang) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan kebijakan perguruan tinggi badan hukum (PTN-BH) yang membuat biaya uang kuliah tunggal di PTN jadi mahal,” papar Ubaid.
Baca juga: Guru Dijejali Beragam Aplikasi Pendidikan
Merdeka Belajar, lanjut Ubaid, juga harus mampu melepaskan belenggu guru yang terlilit administrasi. Aplikasi PMM, alih-alih mengurangi beban administratif guru, justru kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai. Bukan mutu guru yang naik, melainkan menjadi beban baru dan praktif koruptif-manipulatif yang diorkestrasi sekolah dan dinas pendidikan malah merajalela.
”Merdeka Belajar harus mampu menyejahterakan dan meningkatkan mutu guru. Harus ada skema dan tahapan jelas dan terukur untuk menjawab jutaan guru honorer yang masih terkatung-katung nasibnya, bahkan statusnya saja tidak diakui dan belum terdata di data pokok pendidikan,” tutur Ubaid.
Nadiem, dalam Rembuk Komunitas Merdeka Belajar dan Temu Nasional KIP Kuliah 2024, berharap gerakan Merdeka Belajar dapat digaungkan lebih besar lagi oleh komunitas. ”Saya berharap Merdeka Belajar menjadi kepemilikan bersama, tidak hanya pendidik, tetapi juga orangtua, siswa, mahasiswa, dan masyarakat,” kata Nadiem.
Mulai berubah
Nadiem memahami jika ajakan menuju perubahan menimbulkan pro dan kontra. Pada tahun pertama dan kedua menyosialisasikan kebijakan Merdeka Belajar kepada masyarakat, banyak salah kaprah terkait program ini. Namun, setelah lima tahun pelaksanaan Merdeka Belajar, suasana di ruang kelas dan cerita murid tentang pengalaman di sekolah telah berubah signifikan.
”Saya gembira atas peningkatan jumlah murid yang senang menceritakan aktivitas menyenangkan di sekolah kepada orangtua mereka,” ujarnya.
Baca juga: Transformasi Pendidikan Perlu Konsisten dan Berkelanjutan
Terkait Kurikulum Merdeka sebagai salah satu wujud Merdeka Belajar, Nadiem mengatakan kurikulum ini memberikan kesempatan kepada siswa yang tidak menonjol dalam kemampuan akademik. Melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), berbagai cara dipersiapkan untuk menunjukkan keunggulan peserta didik.
”Mungkin mereka tidak begitu mahir dalam berhitung, tetapi mereka memiliki kemampuan memimpin rekan-rekannya dalam mengerjakan proyek di lapangan. Mereka menjadi percaya diri,” katanya.
Bahkan, Nadiem menekankan, justru Kurikulum Merdeka lebih dibutuhkan sekolah yang tertinggal. ”Karena guru diberikan kebebasan untuk maju-mundur menyesuaikan pembelajaran dengan tingkat kemampuan siswa,” ujarnya.