Ancaman Pandemi Covid-19 Jangan Sampai Jadi Peluang Eksploitasi Lahan
Ancaman pandemi Covid-19 jangan sampai menjadi peluang untuk mengeksploitasi lahan di Kalteng. Di sisi lain, pemerintah daerah juga berharap para pengusaha menjaga wilayahnya agar tidak menjadi kluster baru.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ancaman pandemi Covid-19 jangan sampai menjadi peluang untuk mengeksploitasi lahan di Kalimantan Tengah. Di sisi lain, pemerintah daerah juga berharap para pengusaha menjaga wilayahnya agar tidak menjadi kluster baru.
Hal itu terungkap pada serial webinar yang dilaksanakan oleh Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat di Palangkaraya, Senin (8/6/2020). Tema yang dibahas adalah ”Dinamika Bisnis dan HAM di Tengah Pandemi”.
Hadir sebagai pemateri dalam seminar daring itu Ketua Direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) Emil Ola Kleden; Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng Endang Narang; perwakilan dari Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN, Yuyun Wahyuningrum; Deputi Direktur Advokasi ELSAM Andi Mutaqien; dan Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia Ahmad Arif.
Tanda tangan elektronik dari masyarakat di atas surat yang dibuat perusahaan. (Emil Ola Kleden)
Endang menjelaskan, pihaknya mulai khawatir dengan kesehatan pekerja di lingkar tambang dan sawit. Ia berharap pembatasan sosial benar-benar bisa maksimal diterapkan di sana.
Sebelumnya, pihak Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng melakukan pemeriksaan cepat bagi seluruh pegawai dan pekerja di salah satu perusahaan tambang di Kabupaten Murung Raya. Endang khawatir karena akses yang jauh dari fasilitas kesehatan negara, pekerja menjadi kluster baru korona di Kalteng.
”Meskipun belum ada kasus di wilayah itu, kami terus berkoordinasi dan meminta agar tiap perusahaan, apalagi dengan jumlah pekerja besar, membentuk tim sendiri untuk penanganan Covid-19 dan segera melaporkan jika ada indikasi,” kata Endang.
Endang menjelaskan, saat ini jumlah kasus korona di Kalteng terus meningkat. Hari ini mencapai 502 kasus dari 494 kasus positif di hari sebelumnya. Tingkat penularan (RT) pun untuk Kalteng mencapai 1,42; artinya satu orang mampu menularkan satu sampai dua orang.
”Musuh ini tidak terlihat, jadi harus ada upaya untuk memperkuat imunitas diri masing-masing,” ujar Endang Narang.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng Halind Ardi mengungkapkan, pihaknya patuh terhadap protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah. Ia mengaku 117 anggota Gapki Kalteng sudah menerapkan pembatasan akses keluar masuk perusahaannya.
”Kami berupaya maksimal untuk menjalankan perintah pemerintah. Kami juga menjamin kesehatan para pekerja,” kata Halind.
Halind menjelaskan, pihaknya tidak bisa berhenti beroperasi karena banyak pertimbangan. Salah satunya juga mengingat ada ribuan orang yang bekerja di satu perusahaan sawit yang menggantungkan nasib pada pekerjaannya.
Melihat hal itu, Emil Ola Kleden mengungkapkan, ancaman pandemi ini justru menjadi peluang bisnis pemodal besar untuk mengeksploitasi alam. Celah-celah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pun terbuka lebar di sekitar wilayah konsesi.
”Para pejuang HAM juga terbatas aksesnya untuk memantau langsung. Pandemi ini akan banyak menyimpan masalah yang sulit diungkap jika pemerintah dan penegak hukum tutup mata,” ungkap Emil.
Celah-celah pelanggaran yang dilihat oleh Emil antara lain rapat virtual untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat atas usulan-usulan perusahaan, misalnya pelepasan tanah adat, penebangan pohon di hutan dengan kandungan karbon tinggi, ekspansi ke wilayah kaya keanekaragaman hayati, dan berbagai usulan yang berpotensi menghilangkan hak dasar masyarakat.
Rapat virtual, lanjut Emil, bisa saja terjadi hanya dengan beberapa tokoh masyarakat yang diundang melalui aplikasi pesan singkat atau telepon ke jaringan pribadi, tanpa diketahui warga kampung, apalagi masyarakat adat.
”Tanda tangan elektronik dari masyarakat di atas surat yang dibuat perusahaan,” ungkap Emil.
Dijadikan alasan
Situasi pandemi, lanjut Emil, dijadikan alasan untuk tidak dapat menindaklanjuti hasil kesepakatan atau perjanjian sebelumnya, misalnya untuk langkah pemulihan atas kerusakan yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan.
Di Kalimantan Tengah, masyarakat Laman Kinipan di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, terus melakukan protes meski tidak bisa lagi beraksi di lapangan karena dilarang selama pandemi untuk mendapatkan wilayah adatnya. Saat ini, sekitar 4.000 hektar hutan mereka terus dibuka oleh salah satu perusahaan perkebunan sawit.
”Intervensi kapitalis itu membuka selubung-selubung alam sehingga penyakit yang tadinya hanya ada di hutan menyeberang ke manusia. Titik itu tidak pernah diperhatikan oleh penguasa, apalagi pengusaha,” ungkap Emil.
Senada dengan Emil, Ahmad Arif melihat Indonesia belum saatnya menerapkan normal baru. Istilah yang digunakan seharusnya adalah norma baru karena dilihat dari sisi mana pun, negara belum maksimal menyelesaikan pekerjaan rumahnya seperti pemeriksaan massal yang masih rendah, penapisan hingga kebijakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terdampak.
”Yang perlu dibantu adalah sektor informal dan masyarakat miskin bukan pengusaha besar, logika anti-sains ini justru dimainkan oleh pemerintah,” kata Ahmad Arif.
Arif mengingatkan, seburuk apa pun perekonomian suatu negara selalu ada jalan untuk memulihkannya. Namun, pemerintah harus tetap mengutamakan keselamatan masyarakatnya karena kematian tidak bisa dibangkitkan lagi.