Pendidikan yang Mencerdaskan
Harus diakui, capaian pendidikan kita masih jauh dari memuaskan. Reorientasi mendasar belum terlambat dilakukan. Butuh tekad kuat menciptakan sistem pendidikan yang mencerdaskan angkatan muda pembaru Indonesia.
Merujuk Mukadimah UUD 1945, pendiri bangsa menekankan tanggung jawab terpenting pemerintah dengan rumusan lugas: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.
Dua kewajiban pertama jelas menjadi syarat fundamental untuk bisa berperan dan berpengaruh di percaturan global, terutama dalam menerapkan politik luar negeri bebas aktif.
Kita dapat menyaksikan bangsa-bangsa yang mencapai tingkat kesejahteraan dan kemajuan mengagumkan, berkat sistem pendidikan yang mencerdaskan dan memuliakan martabat manusia. Sebagian besar bangsa mampu meraih taraf hidup tinggi tanpa kelimpahan sumber daya alam, tetapi dengan memupuk peningkatan modal sosial melalui pengembangan sumber daya manusia berkualitas. Buah dari proses pembelajaran terukur, bermutu, dan konsisten adalah karakter kuat dan integritas tinggi sehingga mendorong terbentuknya tatanan bangsa dan negara penuh keadaban, keadilan, dan mendorong gerak kemajuan berkelanjutan.
Dari jejak sejarah, tekad dan perwujudan upaya memajukan pendidikan kaum bumiputera bisa dirunut dari dua perguruan yang menonjol pada eranya. Pertama, Perguruan Taman Siswa yang diprakarsai dan didirikan Ki Hadjar Dewantara pada 1922. Proses belajar di perguruan ini dimaksudkan membentuk pribadi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan selanjutnya menyemai elan kemerdekaan pribadi menjadi benih pergerakan meraih kemerdekaan.
Dari jejak sejarah, tekad dan perwujudan upaya memajukan pendidikan kaum bumiputera bisa dirunut dari dua perguruan yang menonjol pada eranya.
Semboyan terkenal Taman Siswa: ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi teladan, di tengah membangun inisiatif, dan di belakang menyokong gerak kemajuan) menganjurkan kerja sama saling menguatkan dan memampukan. Salah satu tokoh tiga serangkai pendiri Indische Partij ini menanamkan prinsip egaliter, menolak eksklusivisme dan invidualisme di pendidikan, termasuk mengubah nama bangsawannya, Raden Mas Suwardi Suryaningrat sekembali dari menjalani hukuman pembuangan ke Belanda 1913-1919, demi mengejawantahkan konsep pendidikan untuk semua, mendobrak sekat-sekat primordial, diskriminatif, dan feodal di eranya.
Kedua, Indonesisch Nederlandsche School (INS) Kayu Tanam di Sumatera Barat yang berdiri tahun 1926. Pendiri INS Kayu Tanam, Mohamad Syafei, mengedepankan pendidikan sesuai kebutuhan siswa dan rakyat. INS Kayu Tanam (Setya Raharja, 2008) menyiapkan pemuda sebagai agen perubahan dengan menanamkan kepercayaan, inisiatif dan kemampuan sendiri, serta mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.
Berdirinya dua perguruan ini tak lepas dari kesadaran mendalam kedua tokoh itu atas perlakuan diskriminatif penjajah terhadap kaum bumiputera sekaligus siasat cerdik menyiasati tiga program Politik Etis: edukasi, irigasi, dan transmigrasi yang hakikatnya digunakan untuk mendukung kepentingan Belanda dan kroninya. Alih-alih turut menyediakan tenaga kerja murah lulusan sekolah untuk mengisi kebutuhan pegawai rendahan di pos-pos pemerintahan kolonial dan perusahaan asing, Perguruan Taman Siswa dan INS Kayu Tanam justru membentuk siswanya menjadi pribadi merdeka, tak menggantungkan penghidupannya pada pekerjaan formal yang disediakan dan diperlukan pemerintahan Hindia Belanda.
Supriyanto
Dari filosofi, kiprah, dan visi melenting jauh ke depan kedua tokoh pendidikan nasional itu kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang substansi pendidikan, bagaimana seyogianya akal budi anak-anak bangsa diolah dan dikelola. Basis pendidikan substansial adalah pembenihan dan pengembangan otoaktivitas secara optimal untuk melahirkan pribadi otonom.
Mengesampingkan basis itu bakal terus menuai aneka keruwetan dan mengundang beragam, terapi yang tak sesuai kodrat hakiki dan naluri manusia sebagai insan pembelajar yang seharusnya diberi keleluasaan untuk mengembangkan otonomi dan talentanya. Dalam hubungan ini, pesan pahlawan nasional Tan Malaka agaknya tetap relevan: tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan.
Baca Juga: Rekonstruksi Pendidikan
Capaian pendidikan
Harus diakui, capaian pendidikan kita masih jauh dari memuaskan. Indikator universal, seperti penilaian yang mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun di bidang literasi, matematika, dan sains (Programme for International Student Assessment) menunjukkan posisi stabil bertahan rendah selama 2000-2018.
Sebangun dengan hasil itu, kemampuan literasi dan numerasi penduduk usia 16-65 tahun dalam survei Programme for the International Assessment of Adult Competencies tahun 2018 dan terbatas hanya di DKI Jakarta juga menghasilkan fakta memprihatinkan. Kita berada di lapisan peringkat terbawah, tertinggal sangat jauh dari negara lain. Survei serupa akan diselenggarakan OECD tahun ini dan diperkirakan situasinya kian memburuk akibat pandemi.
Potret buram ini mengindikasikan kelambanan dalam merespons rendahnya kualitas pendidikan yang semestinya disadari sebagai sinyal bahaya dan ancaman bagi kemajuan bangsa. Juga ketidaktepatan arah dan kebijakan mencerdaskan kehidupan bangsa yang semestinya bertumpu pada rasionalitas, karakter, kekayaan dan kearifan lokal.
Rendahnya capaian pendidikan termanifestasikan pada peta ketenagakerjaan nasional.
Rendahnya capaian pendidikan termanifestasikan pada peta ketenagakerjaan nasional. Sebanyak 43 persen lebih pendidikan rata-rata pekerja hanya SMP ke bawah. Seturut ini, lemahnya kemandirian juga terdeteksi dari rasio wirausahawan berbanding total populasi penduduk yang hanya 3,47 persen, menempati peringkat 74 dari 137 negara (Global Entrepreneurship Index, 2019).
Dalam kompetisi global yang mensyaratkan tumbuh kembangnya inovasi (innovation driven), kita jelas masih jauh tercecer. Jumlah dosen atau periset bergelar doktor belum mencapai 40.000 orang. Bandingkan dengan China dan India yang memiliki hampir satu juta doktor, mayoritas memiliki keahlian di bidang ilmu dasar, terapan, dan teknologi. Mayoritas doktor kita berlatar belakang pendidikan agama dan hukum.
Kondisi ini sebangun dengan kualitas perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Mengacu lembaga pemeringkat Quacquarelli Symonds World University Rankings 2022 yang meriset 1.300 PT top di seluruh dunia, terdapat 16 PT di Indonesia yang tergolong dalam kluster tersebut, tetapi hanya empat universitas yang bertengger di peringkat 250-500 (UGM, UI, ITB. Unair).
Semua data dan fakta itu sekarang bersanding dengan tiga tantangan besar dan serius pada skala nasional-global, yakni Revolusi Industri 4.0, kemampuan mengelola bonus demografi, serta semakin meningkat dan terhubungnya kesadaran membangun paradigma ekonomi hijau. Tantangan majemuk dan sangat menentukan peradaban bangsa ini membutuhkan strategi yang tepat dari seluruh pengampu kepentingan.
Kemiskinan multidimensi
Kita juga masih mengidap kemiskinan struktural dan multidimensi. Yang pertama disebabkan ekosistem yang tak memihak dan memastikan kesetaraan perlakuan terhadap para pelaku ekonomi. Regulasi rumit dan berbiaya tinggi belum berkurang signifikan. Petunjuknya, antara lain, tingginya angka nisbah investasi berbanding output (incremental capital output ratio) dan terhambatnya upaya menaikkan kelas 64 juta UMKM ke level wirausahawan tangguh.
Ekonomi rente terus berlangsung dan korupsi tetap tinggi. Liberalisasi tanpa kendali hanya menguntungkan sedikit pelaku dengan kemampuan luar biasa melakukan hegemoni pasar. Ketimpangan penguasaan aset nasional di tangan segelintir penduduk jadi bukti tak terbantahkan berlangsungnya kemiskinan struktural dan regulasi sarat kolusi.
Ketimpangan penguasaan dan distribusi aset menuntut respons segera karena pada akhirnya akan menentukan lolos tidaknya dari jebakan middle income trap. Ketidakberdayaan negara dalam mengatasi problem kronis dan struktural ini akan mengundang bahaya laten ketegangan sosial dan menghambat pertumbuhan kelas menengah baru yang sangat dibutuhkan untuk memperbesar kapasitas produksi nasional, investasi, dan pertumbuhan berkelanjutan.
Liberalisasi tanpa kendali hanya menguntungkan sedikit pelaku dengan kemampuan luar biasa melakukan hegemoni pasar.
Jerat kemiskinan struktural merembet ke jenis kemiskinan lain, yaitu membengkaknya kemiskinan multidimensi. Beberapa studi mengonfirmasi angka kemiskinan multidimensi jauh lebih besar dari kemiskinan relatif ataupun absolut. Deprivasi akut penduduk miskin atas tiga akses kebutuhan dasar, yakni pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak, perlu kebijakan dan aksi nyata agar tak kian mendorong kenaikan prevalensi gizi buruk sehingga berujung meningkatnya populasi anak tengkes dan berbagai keterbelakangan lain yang berpengaruh besar secara agregat pada Indeks Pembangunan Manusia.
Pendangkalan
Seluruh uraian itu hakikatnya mengajak kita kembali ke khitah, mengkaji lagi tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Fragmentasi kepentingan, segregasi sosial-politik, dan disorientasi nilai perlu segera diakhiri untuk membulatkan tekad, mewujudkan cita-cita nasional yang telah diletakkan prioritasnya oleh para pendiri bangsa.
Pasca-Reformasi, kita banyak membuang peluang mengonsolidasikan seluruh kekuatan nasional agar fokus pada tujuan utama bernegara. Berulangnya kembali dalam bobot lebih serius penyakit kolusi-korupsi-nepotisme yang menjelma menjadi kekuatan oligarki dan mengorkestrasi sistem politik dan sistem ekonomi tuna nilai membuat wawasan kebangsaan terus mengalami entropi atau pendangkalan makna.
Baca juga Hardiknas 2022, Momentum Pemulihan Pendidikan?
Dampak bencana kefakiran dalam menghayati dan melaksanakan cita-cita kemerdekaan tak hanya menjauhkan dari tujuan strategis nasional, tetapi juga menimpakan beban berat ke rakyat dan generasi mendatang. Reorientasi mendasar belum terlambat dilakukan. Hulu semua itu sangat bergantung pada kesungguhan dan tekad kuat menciptakan sistem pendidikan yang mencerdaskan angkatan muda pembaru Indonesia.
Suwidi TonoKoordinator Forum ”Menjadi Indonesia”