Undang-Undang Pos di Era Teknologi
Teknologi telah mengubah cara dan perilaku orang dalam memanfaatkan jasa perposan sehingga ekosistem pos harus berubah pula. Ini menjadikan Undang-Undang Pos seolah ”rapuh”, tak berdaya lagi mengakselerasi perubahan.
Revolusi informasi dan teknologi telah meredefinisi makna dan praktik penyelenggaraan pos dan logistik secara fundamental. Pengertian pos selama ini dimaknai sebagai pengiriman surat atau dokumen secara konvensional (dalam bentuk fisik), tetapi kini berkembang menjadi surat berbasis elektronik, faksimile, hybrid, dan terakhir layanan surat berbasis internet.
Begitu pula dalam hal pengiriman barang, praktik-praktik logistik berubah dari cara pendistribusian tradisional menjadi sistem modern dengan teknologi track dan trace di mana barang dapat dipantau dari tempat pengiriman hingga tujuan. Dalam perdagangan barang lewat pemesanan pos, disiapkan hub-hub penyimpanan di lokasi tujuan sehingga mempermudah pemesanan dan pendistribusiannya.
Pemerintah terus mendorong modernisasi dan optimalisasi layanan pos di seluruh wilayah Indonesia melalui ketersediaan regulasi yang menjamin tumbuh kembang industri pos dan perluasan jaringan ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini termasuk insentif perizinan pendirian perusahaan pos yang berlangsung singkat, cepat, dan sederhana melalui sistem online single submission risk based approach (OSS RBA).
Baca juga: Pos dan Jasa Kurir Baru
Tujuannya untuk membuka akses distribusi dan layanan pos ke seluruh wilayah teritorial Indonesia, meningkatkan ekonomi nasional, dan mendorong sektor pembangunan, serta membuka investasi baru untuk pemerataan kegiatan berusaha bidang pos. Dalam hal ini berlaku adagium, ”Tak ada sejengkal tanah di bumi Indonesia yang tidak mendapat layanan pos”.
Penyelenggaraan pos dikategorikan sebagai kegiatan prioritas dan strategis dalam urusan pengiriman dan pendistribusian surat, barang, dan transaksi keuangan ke seluruh belahan dunia. Diperlukan sistem jaringan interkoneksi di antara para pemain, baik di dalam maupun di luar negeri. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mendorong dijalinnya hubungan kerja sama antar-penyelenggaran pos nasional dari berbagai bangsa secara erat dengan melonggarkan pintu masuk melalui berbagai katup regulasi.
Tinggal bagaimana para penyelenggara pos merumuskan model perjanjian kerja sama (PKS) antarpenyelenggara dengan tetap mengacu pada koridor yang menjadi mandatori Perhimpunan Pos Sedunia (Universal Postal Union/UPU). Kerja sama dimaksud termasuk kemungkinan dibangunnya aliansi usaha bersama yang mampu mendorong terjadinya koloni baru usaha perposan nasional sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja potensial di dalam negeri.
Undang-Undang Pos
Di saat iklim investasi Indonesia mengalami transisi dari yang awalnya rumit dan berbelit, menjadi cepat dan sederhana, bisnis pos nasional mulai dilirik investor asing. Para pengusaha bidang pos dalam negeri melihat kondisi ini sebagai peluang emas, untuk makin mengepakkan sayapnya meluaskan jaringan baru di Indonesia. Kondisi tersebut didukung dengan lahirnya Undang-Undang tentang Pos Nomor 38 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 karena dianggap sudah tidak relevan.
Perubahan itu sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pos sebagai sarana komunikasi dan informasi sekaligus menjalankan peran ”pelumas” dan penggerak mata rantai pembangunan nasional, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mendukung kegiatan ekonomi nasional, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Baca juga: Digitalisasi Membuat Layanan Perusahaan Logistik Makin Efisien
Pada tahapan itu, UU Pos Nomor 38/2009 terbukti ampuh menjadi pemandu dan rujukan bagi industri perposan nasional setidaknya dalam satu dekade. Meskipun impian tentang kemudahan pelayanan pos belum sepenuhnya dapat diwujudkan secara nyata, seperti dilakukannya transformasi moda pengiriman barang pos menggunakan drone, autonomous car, dan jenis moda lainnya.
Zaman terus berubah, tuntutan publik ikut berkembang. Teknologi telah mengubah cara dan perilaku orang dalam memanfaatkan jasa perposan sehingga ekosistem pos harus berubah pula. Sementara sapuan gelombang digital makin deras, kuat, dan masif mendisrupsi keberadaan regulasi yang ada. Maka dipandang perlu ada cara baru yang mampu ”mereparasi”, cara lama untuk menjadi kompas dan pedoman penyelenggaraan pos menghadapi tantangan itu. Terpaan perubahan teknologi yang dahsyat itu menjadikan UU Nomor 38/2009 seolah ”rapuh”, tak berdaya lagi mengakselerasi perubahan yang ada.
Pembaruan regulasi bidang pos
Guna mengantisipasi tantangan yang membentang di depan, pemerintah kemudian menginisiasi sistem aturan baru dalam bentuk omnibus law, yang kemudian populer dengan sebutan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Dalam regulasi baru itu, sejumlah pasal dalam UU Nomor 38/2009 tentang Pos mendapat penekanan kembali, yakni soal kepemilikan asing.
Pasal 12 UU Nomor 38/2009 menyebutkan bahwa penyelenggara jasa pengiriman/pos asing wajib bekerja sama dengan penyelenggara dalam negeri jika ingin membuka perusahaan di Indonesia. Selain itu, saham mayoritas dari penyelenggara pos asing tersebut harus dimiliki penyelenggara pos dalam negeri.
Dalam UU Cipta Kerja, hal itu tidak diatur secara khusus, yang dapat ditafsirkan bahwa perusahaan asing dapat membuka cabangnya dan dapat langsung beroperasi Indonesia, tanpa harus bermitra dengan perusahaan jasa pos dalam negeri. Termasuk terkait aturan komposisi kepemilikan saham mayoritas, di mana tidak boleh lebih dari 49 persen.
Namun, di Pasal 12 Ayat 3 UU Cipta Kerja Tahun 2020 menyebutkan bahwa ”ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyelenggara pos asing sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 diatur dalam peraturan pemerintah”. PP Nomor 46/2021 tentang Pos Telekomunikasi dan Penyiaran di Pasal 7 (Huruf a dan b) dijelaskan bahwa perusahaan pos asing yang masuk ke Indonesia harus melalui perusahaan pos dalam negeri melalui usaha patungan, dan hanya dibolehkan beroperasi di ibukota provinsi, serta tidak boleh melakukan pengiriman antarkota. Dengan demikian, dalam persoalan investasi, asing boleh dikatakan tidak mengalami perubahan signifikan.
Data pada Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menyebutkan, beberapa perusahaan pos asing sudah menjalankan praktik penyelenggaraan pos di Indonesia.
Meski, jasa penyelenggara pos-logistik asing secara faktual sebenarnya sudah masuk ke Indonesia dengan memakai surat izin usaha jasa transportasi (SIUJPT) dari Kementerian Perhubungan. Di sinilah terjadi polemik yang tak berujung, kalangan industri pos menuding telah terjadi dualisme sehingga membuka ruang terjadinya pelanggaran.
Data pada Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menyebutkan, beberapa perusahaan pos asing sudah menjalankan praktik penyelenggaraan pos di Indonesia. Bahkan, liberalisasi pos itu sesungguhnya sudah terjadi sehingga posisi UU Cipta Kerja kesannya hanya mempertegas saja.
Ketentuan membolehkan asing memiliki kepemilikan saham sampai 100 persen itu tentu akan menciptakan persaingan yang kompetitif dalam penyelenggaraan pos nasional dan akan menambah besar investasi asing masuk ke bisnis ini. Meski di satu sisi bisa saja justru membunuh penyelenggara pos lokal di Tanah Air yang sedang kembang kempis.
Iklim persaingan usaha yang sehat
Setiap usaha selalu ada kompetisi, di dalam kompetisi yang sehat akan melahirkan pelayanan terbaik bagi konsumen. Mereka yang tidak mampu bertahan dalam ruang kompetisi yang ketat secara alami akan tersingkir. Tentu saja kondisi Ini tidak diharapkan karena salah satu tujuan pembangunan regulasi baru tersebut selain untuk menciptakan konstruksi ruang investasi yang sehat juga untuk melindungi badan usaha lain yang terdampak.
Dalam rangka menghindari persaingan usaha yang tidak sehat, khususnya predatory pricing, UU Pos sudah memagari dengan mengamanatkan formula tarif layanan pos komersial yang harus diterapkan dan dipatuhi penyelenggara pos. Dengan aturan ini, maka tidak ada tarif layanan pos yang diberlakukan semena-mena dan dapat mengubur usaha pos kecil. Dalam istilah pos, ”mereka itu membakar uang dengan menggratiskan ongkos kirim ongkir” sekadar untuk membunuh kompetitor.
Dalam rangka menghindari persaingan usaha yang tidak sehat, khususnya predatory pricing, UU Pos sudah memagari dengan mengamanatkan formula tarif layanan pos komersial yang harus diterapkan dan dipatuhi penyelenggara pos.
Meski demikian, perusahaan lokal tidak perlu takut, apalagi kondisi pos dan logistik di Indonesia yang paling mengerti adalah orang Indonesia sendiri. Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) mengaku siap menghadapi kompetisi tersebut. Tentu saja kehadiran mereka harus prosedural, memenuhi syarat sebagai badan usaha layaknya yang berlaku bagi penyelenggara pos lain di Indonesia.
Hasil pantauan Kemenkominfo, ada perusahaan yang sudah mengantongi surat izin penyelenggaraan pos (SIPP) dari Kemenkominfo dan menjadi anggota Asperindo. Ada perusahaan yang sudah mengantongi SIPP tetapi tidak bergabung dalam Asperindo dan ada perusahaan yang tidak mengantongi SIPP karena sudah memiliki izin perusahaan lain dan tidak bergabung dalam Asperindo. Misalnya, penyedia jasa transportasi angkutan, seperti bus, yang mana juga membuka layanan pengiriman barang. Perusahaan tersebut hanya memiliki izin sebagai penyedia jasa transportasi, tidak mengantongi SIPP, tetapi menjalankan bisnis jasa pengiriman.
Baca juga: ”Banting Setir” Perusahaan Transportasi Darat
Ke depan, diperlukan organisasi yang mampu mengakomodasi semua jenis usaha dalam satu payung hukum yang kuat. Selain mudah mengontrolnya, juga memberi rasa keadilan di antara sesama penyelenggara pengiriman pos apa pun nama dan istilahnya. Jika dalam UU Cipta Kerja ketentuan tersebut belum dimasukkan, sebaiknya di dalam ”peraturan pemerintah” dapat diatur secara lebih rinci agar tidak terjadi tumpang tindih praktik penyelenggaraan pos nasional.
Eko Wahyuanto, Analis Kebijakan Ahli Madya Kemenkominfo