Belajarlah dari Jonggol
Dulu Jonggol digadang-gadang menjadi ibu kota baru. Sayangnya, semua hanya simpang siur isu. Jonggol dan warga di sana hingga kini menelan pil pahit, menjadi korban isu tak jelas.
Awalnya jalan beton, sekitar 5 meter lebarnya. Setelah 1 kilometer lebih, ternyata jalan beton itu sudah tidak ada, berganti jalan berbatu. Semen perekat batu sudah rontok di sana-sini. Makin ke dalam lagi, menjadi jalan tanah diberi batu seadanya dan menyempit, hanya pas satu mobil melintas. Mirip lintasan kendaraan off road, dengan tanjakan dan turunannya walau tidak terlalu ekstrem.
Sebuah motor yang nyaris tinggal kerangka beroda, ditumpangi dua pemuda tanggung, mengikuti mobil kami. Sebelumnya, keduanya terlihat tengah duduk dengan beberapa orang di depan sebuah warung. Saat di satu belokan yang pinggirnya agak lebar, motor mereka berhenti di samping mobil.
”Ini jalan buntu,” kata salah seorangnya sambil menyarankan agar putar balik di lokasi itu, sebagaimana mereka bergegas juga putar balik. Itu setelah kami mengatakan akan ke wilayah Jonggol. Dikiranya kami mau mencari lahan untuk dibeli di desanya, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Sebelum sampai di ujung jalan buntu tersebut, kami melintas di depan gerbang masuk lokasi wisata alam tiga air terjun. Kami tidak berhenti di sana karena tidak ada niat untuk berwisata pada akhir pekan lalu itu. Sebab, tujuannya ingin keliling desa-desa di Kecamatan Sukamakmur yang pernah jadi bagian dari Kecamatan Jonggol.
Pada tahun 1990-an, nama kecamatan tersebut mencuat menjadi pembicaraan dan perhatian nasional karena sempat jadi pembicaraan publik bahwa ibu kota pemerintahan Indonesia akan pindah ke wilayah tersebut. Pemisahan 10 desa dari 23 desa Kecamatan Jonggol itu untuk menjadi Kecamatan Sukamakmur, dengan ibu kota kecamatan-nya Desa Sukamakmur, dilakukan tahun 2000.
Saat masih berada di jalan di Desa Cibadak, kami sempat melihat papan petunjuk yang menginformasikan adanya obyek wisata alam tersebut dan jalan ke arah desa itu sudah dibeton. Dengan asumsi jalan sampai ke obyek wisata itu juga sudah dibeton, dan bisa menembus Desa Sukamakmur atau desa lainnya di Kecamatan Sukamakmur, kami telusurilah jalan utama dua desa itu.
Baca juga: Cerita Jonggol Jangan Terulang di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara
”Jalan ke sini belum dibangun. Pengunjung yang sering kemari kebanyakan bermotor, biker. Kalau ada yang bawa mobil, parkirnya di sini. Kalau mau sampai dekat curug, takut selip. Dari gerbang ini masih 1,5 kilometer lagi sampai curug (air terjun),” kata Kumis yang bersama warga desa setempat mengelola lokasi wisata tiga air terjun di Desa Sukamulya ini.
Kelompok warga ini sudah sekitar dua tahun mengelola tempat wisata itu dengan semampunya. Pengunjung yang ingin menikmati keindahan dan dinginnya air terjun dikenai tiket masuk Rp 30.000 per orang. Mereka berencana dan berharap pemerintah daerah menaruh perhatian dengan setidaknya membangun jalan ke sana dan memberikan pelatihan yang cukup agar mereka dapat meningkatkan ekonomi di desanya melalui kepariwisataan.
”Curug-curug ini ada di tanah warga, tapi kami ingin juga bekerja sama dengan Perhutani agar lingkungan lebih baik dan aman,” katanya.
Maskur, tokoh masyarakat yang kembali mengikuti pemilihan kepala desa di Desa Sukamakmur, mengatakan, sepuluh desa di Kecamatan Sukamakmur, yang dulunya masuk wilayah Kecamatan Jonggol, menjadi incaran karena direncanakan menjadi pusat Kota Mandiri Bukit Jonggol Asri (KMBJA). Tahun 1990-an itu, harga tanah yang semula Rp 300-Rp 500 per meter persegi segera melonjak menjadi Rp 80.000 per meter persegi.
”Sekarang, mau jual Rp 5.000 per meter saja enggak laku. Kehidupan petani di sini susah karena infrastruktur jalan tidak dibangun. Ada perbaikan atau pelebaran jalan, begitu-begitu saja. Padahal, potensi pariwisata di sini banyak dan jalan Sukamakmur ini sudah ramai dilalui kendaraan karena satu-satunya jalan yang menghubungkan Citeureup-Sukamakmur-Jonggol. Apalagi, kalau akhir pekan, buntut macet bisa sampai 1 kilometer lebih,” katanya.
Baca juga: Warga Jonggol Tidak Terkejut Ibu Kota Pindah
Maskur masih ingat bagaimana ramainya desa-desa di Jonggol kedatangan orang-orang dari mana saja untuk membeli tanah. Ia yang waktu itu menjadi kepala desa mengatakan, ada dua perusahaan yang resmi melakukan pembebasan lahan, yakni PT Fajar Loka Permata dan PT Kartika Pola Reksa, pada tahun 1993-1994. Saat itu juga, kata Maskur, masyarakat sudah tahu, KMBJA akan dibangun di areal seluas 30.000 hektar.
”Namun, dua perusahaan yang melakukan pembebasan lahan hanya mengantongi izin membebaskan 6.000 hektar,” katanya.
”Seingat saya tidak ada pernyataan resmi dari pemerintah pusat, atau ada keputusan presiden, yang menyatakan ibu kota pemerintahan akan pindah ke Jonggol. Yang ada aturan tentang persetujuan perencanaan dan pengembangan kota mandiri, salah satunya KMBJA. Tetapi, pembicaraan dan pemahaman yang berkembang di masyarakat, KMBJA akan menjadi ibu kota pemerintahan. Apalagi, Bambang Tri dan Swie Teng, pengusaha besar saat itu, datang ke sini terkait rencana pembangunan KMBJA itu,” ujar Maskur lagi.
Maskur mengatakan, saat ini masih ada masyarakat yang berharap KMBJA diteruskan, lalu ibu kota pemerintahan pindah ke sini, tidak ke Kalimantan Tengah. Jonggol-Sukamakmur ini dekat dari Jakarta dan jalan-jalan utamanya sudah ada, tinggal menyodet untuk menyambung masuk ke dua wilayah tersebut. Warga yang sempat mengalami kemakmuran saat proses pembebasan lahan dulu beranggapan, batalnya pembangunan KMBJA buntut dari lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998 sehingga membuat kemiskinan masyarakat terus berlanjut hingga saat ini.
”Harapannya kalau ada KMBJA dibangun, walau sudah tidak punya lahan, masih bisa kerja di proyeknya. Buat saya, yang penting dibangun infrastruktur jalan di kecamatan ini agar masyarakat di desa-desa yang masih kategori tertinggal dapat akses mudah untuk menjual hasil pertanian dan mengembangkan potensi pariwisata di desanya. Selain itu, juga keamanan masyarakat terjamin. Di sini kejahatan pencurian masih tinggi, terutama pencurian ternak,” tuturnya.
Baca juga: Pemindahan Ibu Kota Kali ini Lebih Serius Dibandingkan Sebelumnya
Sekretaris Desa Sukamakmur Ahmad Sukirman mengatakan, memang masih banyak warganya yang berharap ibu kota pemerintahan pindah ke wilayahnya. Jika ini terjadi, indeks pembangunan manusia (IPM) Kecamatan Sukamakmur akan meningkat. Tahun 2018, IPM kecamatan ini 64,23 atau urutan ke-40 dan IPM tertinggi adalah Kecamatan Gunung Putri (80,49). Jadi, IPM Sukamakmur yang paling buncit karena se-Bogor ada 40 kecamatan.
Ia memang berharap ada keajaiban, ibu kota pemerintahan pindah ke wilayahnya sehingga persoalan pertanahan di desanya bisa selesai.
”Persoalan kepemilikan lahan di sini rumit, banyak yang tumpang tindih dan lahan ditelantarkan. Kita jangan menyalah-nyalahkan lagi atau mengorek kesalahan masa lalulah, apalagi warga juga ikut bersalah. Kita benahi saja. Kalau diputuskan jadi ibu kota pemerintahan, persoalan lahan pasti bisa diputihkan. Alam yang sudah rusak karena pohon-pohon dulu ditebangi, kita hijaukan lagi,” kata Sukirman.
Pemerhati sejarah dan budaya Bogor Taufik Hussanna juga ingat ketika terjadi booming jual-beli lahan di Jonggol terkait pembangunan KMBJA yang dibicarakan masyarakat umum bakal menjadi ibu kota pemerintah. Kesibukan transaksi jual-beli lahan itu sampai di Kota Bogor juga.
”Setiap hari saya lihat ada saja yang sedang bertransaksi lahan Jonggol. Dokumen tanah atau sertifikat prona tanah bertumpuk-tumpuk tinggi di meja-meja kantor tim-tim pembeli tanah. Saya bisa tahu karena saya datangi sebab ingin tahu kondisinya. Kebetulan ada saudara yang memiliki tanah di Jonggol, yang jadi jual-beli tanah juga,” kata Taufik.
Baca juga: Bogor Kota Pusaka Sains Indonesia
Di Jonggol, lanjut Taufik, ia lihat ramai sekali orang datang dari mana-mana. Mereka bertransaksi asal ada kata sepakat di lapangan. Semua mencoba ambil kesempatan, jadi perantara, berburu rente.
Dokumen tanah atau sertifikat prona tanah bertumpuk-tumpuk tinggi di meja-meja kantor tim-tim pembeli tanah. Di Jonggol, lanjut Taufik, ia lihat ramai sekali orang datang dari mana-mana. Mereka bertransaksi asal ada kata sepakat di lapangan. Semua mencoba ambil kesempatan, jadi perantara, berburu rente.
”Istilah biong, orang yang jadi perantaraan jual-beli tanah, muncul pada masa itu,” kata Taufik yang pada 1990-an itu menjadi konsultan dan surveyor masalah sosial budaya kemasyarakatan perdesaan, di jalur distribusi dan seputar kawasan sebuah perusahaan tambang di Bogor.
Menurut Taufik, alam Jonggol saat itu sangat indah dengan tanah dataran cukup luas berupa sawah atau kebun serta gunung-gunung atau bukit dan sungainya yang menambah kaya panorama wilayah tersebut. Ditambah lagi, Jonggol yang berjarak tidak terlalu jauh ke arah tenggara dari Jakarta wajar dilirik untuk menjadi calon ibu kota pemerintahan Indonesia.
”Kecuali alamnya yang indah, kawasan Jonggol tidak banyak ditemukan situs purbakala atau sejarah kerajaan masa lalu yang berada di sana. Seingat saya hanya satu kali pernah ditemukan semacam arca yang diduga peninggalan Tarumanagara di Jonggol, tetapi dekat Bekasi. Wilayah Bekasi, kan, memang wilayah kekuasaan kerajaan tersebut. Saya tidak tahu di mana arca itu kini,” katanya.
Kalau mengenai pemindahan ibu kota pemerintahan dari Jakarta, sejak zaman penjajahan Belanda, itu menjadi bahasan keinginan pemerintah. ”Bahkan, pada 1808 ditetapkan Bogor (Buitenzorg) menjadi pusat kedudukan Pemerintahan Hindia Belanda. Jakarta (Batavia) jadi pusat perniagaan. Ini karena daya dukung Batavia sudah tidak memadai lagi. Selain banjir, wabah penyakit yang mematikan penduduk terjadi beberapa kali. Jadi, tidak aneh kalau sekarang ada keinginan memindahkan ibu kota pemerintahan dari Jakarta. Dari dulu, daya dukung alam Jakarta mengkhawatirkan,” tuturnya.
Baca juga: Raden Saleh dan Jejaknya di Bogor
Lalu, apa sebaiknya ibu kota pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Sukamakmur-Jonggol saja, tidak perlu ke Kalimantan Timur?
Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Bogor, Beben Suhendar, yang pernah menjadi Camat Sukamakmur dan Camat Jonggol, menyatakan, hapus saja impian ibu kota pemerintahan pindah ke Sukamakmur-Jonggol. Akan sangat besar biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan lahannya, apalagi kepemilikan lahan sangat sengkarut, dan lahan-lahan perkebunan atau milik negara sudah banyak yang alih kepemilikan dan digarap masyarakat.
”Jadi, lupakanlah. Kecuali kalau ada keajaiban. Yang penting, rencana pemerintah pusat sekarang akan memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Tengah harus dikaji matang-matang. Jadikanlah kasus Jonggol, yang memakan banyak korban, baik masyarakat maupun pengusaha, pelajaran sangat penting. Sudah bagus Presiden mengumumkan resmi lokasi calon ibu kota pemerintah mendatang. Namun, itu tidak cukup, harus dikaji matang dan pengamanan lahannya harus ketat serta masyarakat lokal harus dipersiapkan dengan benar dan baik,” tutur Beben.
Yang penting, rencana pemerintah pusat sekarang akan memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Tengah harus dikaji matang-matang. Jadikanlah kasus Jonggol, yang memakan banyak korban, baik masyarakat maupun pengusaha, pelajaran sangat penting.
Rencana pemindahan ibu kota ke Jonggol, menurut Beben, sekadar berdasarkan wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat, hasil analisis spekulasi karena Presiden Soeharto dikabarkan menyetujui pengembangan KMBJA. Aturan yang ada memang tentang rencana pengembangan kota mandiri, bukan rencana pemindahan ibu kota negara. Dan, setelah Soeharto tumbang, terlihat rencana pembangunan di kawasan Bogor bagian timur ini, yang saat ini direncanakan menjadi kabupaten tersendiri sudah ada di Kementerian Dalam Negeri, semata-mata seperti bagi-bagi lahan untuk kepentingan bisnis anak-anak Soeharto, katanya.
Ketika rencana pembangunan KMBJA merebak dan mulai terjadi pembelian lahan oleh pihak swasta, terjadi perubahan kultur sangat drastis dalam masyarakat desa.
”Yang semula bawa cangkul ke sawah atau ladang, menjadi wira-wiri pakai mobil Daihatsu Feroza. Kebun karet, yang semula milik PTPN XI seluas 2.100 hektar, dibabat habis menjadi lahan terbuka. Penebangan pohon ini juga sampai ke pohon-pohon produksi milik Perhutani dan hutan lindung. Tanah telantar banyak. Kerusakan alam telah terjadi di sana,” katanya.
Melihat panorama Sukamakmur, ciri khasnya masih ada, seperti sawah dan gunung atau bukit. Namun, tidak lagi sejauh mata memandang hijau gelap, apalagi saat ini musim kemarau. Hijau gunung dan bukit menjadi lebih muda atau sama sekali coklat kehitaman. Itu tanda yang tumbuh di sana kalau tidak tanaman kebun semusim adalah semak belukar yang terbakar atau terpanggang matahari. Sedikit yang terlihat masih hijau gelap, tanda pohon yang ada di sana adalah pohon tegakan atau hutan. Di atas sawah atau tegalan, juga sudah mulai banyak berdiri bangunan hunian.
Baca juga: Menyibak Identitas Serpong lewat Foto
Di jalan, banyak yang menyodorkan ember atau jala untuk menampung uang sumbangan dari pengguna jalan. Rata-rata mereka berdiri di atau menjelang kendaraan pengguna jalan melintasi jalan rusak. Bahkan, untuk minta uang itu, ada yang sampai membangun semacam gardu, lengkap dengan bendera, poster, atau atribut kelompoknya.
”Selain diperlukan program penghijauan besar-besaran, pembangunan infrastruktur jalan juga sangat mendesak. Kalau memang jalan alternatif Puncak II, yang kalau dibangun bisa membuka desa-desa terpencil Sukamakmur menjadi punya akses ke luar, sulit diwujudkan karena butuh biaya APBN besar, tolonglah pemda membangun jalan di Desa Sukawangi yang akan menghubungkan desa IDT itu dengan desa di Cianjur,” kata Beben.
Bupati Bogor, kata Beben, didorong menyambangi Bupati Cianjur untuk duduk bareng membahas berapa kemampuan biaya yang menjadi tanggung jawab masing-masing. ”Kalau kurang, ajukan, minta ke gubernur. Masak tidak bisa,” katanya lagi.
Ia juga berharap rencana pembangunan waduk atau bendungan untuk kepentingan irigasi sawah segera dibangun. Khususnya rencana membangun Bendungan Cijurai, yang amdalnya sudah ada sejak 2008 dan menghabiskan biaya sekitar Rp 2 miliar, yang akan mencukupi kebutuhan irigasi sawah di tiga kecamatan (Sukamakmur, Tanjungsari, dan Cariu).
Bukan malah, tiba-tiba, dua tahun lalu, muncul rencana pemerintah akan membangun Bendungan Leuwi Anjing, yang diduga masyarakat untuk kepentingan air bagi Meikarta Bekasi. Sebab, calon lokasi bendungan itu berada lebih ke bawah dan tidak mungkin air bendungan dinaikkan untuk mengairi areal sawah di atas lokasi bendungan tersebut.
Jadi, silakan pusat akan memindahkan ibu kota pemerintah, tapi belajarlah dari kasus KMBJA. Dan, jangan lupakan masyarakat Sukamakmur yang menjadi korbannya.