Industri Manufaktur Untung di Tengah Perang Dagang
Industri yang bergerak di bidang manufaktur berbasis ekspor menjadi pihak yang diuntungkan dari memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Lewat industri itu, Indonesia dapat mengurangi defisit ekspor yang antara lain disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi global tersebut.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri yang bergerak di bidang manufaktur berbasis ekspor menjadi pihak yang diuntungkan dari memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Lewat industri itu, Indonesia dapat mengurangi defisit ekspor, yang antara lain disebabkan ketidakstabilan ekonomi global tersebut.
Perusahaan elektronik, PT Sat Nusapersada Tbk yang berbasis di Batam, misalnya, baru-baru ini mendapat kepercayaan untuk memproduksi barang bernilai ekspor ke Amerika Serikat (AS). Direktur Utama PT Sat Nusapersada Abidin Fan pun optimistis perang dagang akan meningkatkan kinerja perusahaan mereka hingga beberapa tahun ke depan.
”Kami optimistis tahun depan akan bagus. Tahun ini lumayan, apalagi (efek) perang dagang sudah datang ke kami. Ada tiga pelanggan yang sudah merapat untuk meminta ekspor elektronik, seperti smartphone, laptop, dan tablet, ke AS,” katanya kepada Kompas saat ditemui di Batam, kemarin.
Keuntungan itu, menurut dia, didapat karena dampak dari sanksi perdagangan yang diterapkan AS terhadap China. Maka, tidak heran jika industri manufaktur yang berbasis di negeri Tiongkok membuat diversifikasi manufaktur ke negara lain yang tidak berdampak, termasuk Indonesia.
Dikutip dari artikel di lama Nikkei (5/12/2018), salah satu perakit ponsel iPhone dari Apple asal AS yang berbasis di Taiwan, Pegatron Corp, memindahkan produksi sebagian produk mereka ke Batam tahun 2019 ini. Mereka dilaporkan akan menginvestasikan sekitar 1 miliar dolar AS per tahun untuk memproduksi beberapa gawai elektronik.
Ketika dikonfirmasi, Abidin mengaku belum bisa memaparkan lebih lanjut perkara kontrak kerja dengan perusahaan-perusahaan yang merapatkan diri ke mereka akibat perang dagang.
”Yang pasti kami optimistis. Kami juga akan memiliki gedung produksi baru, yang sedang dikebut untuk selesai Oktober tahun ini kalau-kalau ada permintaan baru yang mendadak,” ujarnya.
Pengamat ekonomi Center of Reform in Economics (CORE), Mohammad Faisal, mengatakan, investasi bagi industri manufaktur berbasis ekspor dalam negeri penting untuk menopang pelemahan ekonomi yang disebabkan kinerja perdagangan dalam negeri dan tekanan eksternal. ”Peran ekspor manufaktur jelas sangat penting,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Indonesia periode Januari-April 2019 sebesar 53,20 miliar dollar AS. Nilai ekspor ini turun 9,39 persen dibandingkan dengan Januari-April 2018 yang senilai 58,72 miliar dollar AS.
Defisit sektor minyak dan gas (migas) sebesar 2,76 miliar dollar pada periode ini, atau turun 29,04 persen dari defisit sebesar 3,89 miliar dollar AS pada 2018. Sementara itu, surplus nonmigas hanya mencapai 204,7 juta dollar AS.
Insentif investasi
Untuk menarik investasi asing ke industri manufaktur dalam negeri, terlebih pada situasi saat ini, pemerintah perlu memberi insentif lebih kepada pelaku industri. Insentif dari pemerintah juga dibutuhkan agar industri manufaktur di Tanah Air dapat bersaing dengan pesaing di luar negeri, seperti Thailand, Vietnam, dan India.
”Untuk bisa bersaing dengan negara-negara tetangga dalam menarik investasi, insentifnya memang harus lebih besar. Bukan hanya fokus pada insentif fiskal saja, tetapi juga harus ada kemudahan pengadaan lahan, kepastian konsistensi regulasi atau kebijakan, ketersediaan infrastruktur, dan lainnya,” kata Faisal.
Ia berpendapat, insentif oleh pemerintah perlu difokuskan untuk industri di luar Jawa. ”Insentifnya perlu lebih besar daripada di Jawa,” pungkasnya.