Rekapitulasi Suara Harus Jadi Fokus KPU, Bukan Perubahan Desain Pemilu
Jatuhnya korban petugas lapangan akibat kelelahan selama proses pungut-hitung suara tidak hanya terjadi pada Pemilu 2019. Pada pemilu sebelumnya, tahun 2014, sebanyak 157 petugas meninggal akibat kelelahan.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jatuhnya korban petugas lapangan akibat kelelahan selama proses pungut-hitung suara tidak hanya terjadi pada Pemilu 2019. Pada pemilu sebelumnya, tahun 2014, sebanyak 157 petugas meninggal akibat kelelahan.
Fakta tersebut mengisyaratkan, desain pemilu sudah mendesak untuk diubah atau direvisi. Namun, untuk saat ini, seluruh pemangku kepentingan sebaiknya tidak larut dalam diskursus perubahan desain pemilu, tetapi tetap berfokus pada proses rekapitulasi suara yang sedang berlangsung.
Hingga kini, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal seusai Pemilu 2019 mencapai 244 orang. Saat ini, proses rekapitulasi suara pun masih berlangsung di tingkat kabupaten dan kota.
”KPU harus tetap fokus menuntaskan kerja-kerja yang saat ini masih berlangsung, seperti penghitungan suara. Bagaimana memastikan bahwa jajaran KPU bekerja profesional. Namun, diskursus evaluasi itu harus menjadi hal yang terus didiskusikan oleh akademisi, kelompok masyarakat, dan juga para pembuat undang-undang,” tutur Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Sabtu (27/4/2019) di Jakarta.
Berdasarkan data KPU terakhir pada Jumat (26/4/2019) sore, belum ada provinsi yang seluruh kabupaten/kota di wilayahnya telah selesai merekapitulasi suara.
Contohnya, masih satu dari 35 kabupaten dan kota di Jawa Barat yang telah selesai melakukan rekapitulasi suara. Seluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat bahkan belum ada yang selesai. Secara nasional, hanya ada 46 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang sudah menuntaskan rekapitulasi.
Titi mengatakan, gugurnya petugas lapangan saat Pemilu 2019 bukan kejadian pertama. Berdasarkan catatannya, 157 petugas menjadi korban pada Pemilu 2014. Jatuhnya korban pada Pemilu 2014 seharusnya menjadi peringatan dalam merencanakan Pemilu 2019.
Fakta tersebut menunjukkan, desain pemilu memang sudah mendesak untuk diubah. Pemilu yang baik, menurut Titi, juga harus sesuai dengan prinsip mudah digunakan dan hasilnya cepat.
”Predikat the most complex election in the world itu bukan sebuah predikat yang membanggakan. Siapa pun (anggota KPU-nya), kompleksitas itu pasti akan terjadi,” lanjutnya.
Titi mengatakan, pada saat uji materi atas UU Pemilu 2014 di Mahkamah Konstitusi, Ketua Perludem Didik Supriyanto sebagai saksi telah menyampaikan opsi pemilu nasional dan pemilu daerah; pilpres digelar bersama dengan DPR dan DPD. Sementara pilkada digabungkan dengan pemilu legislatif daerah serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Politisi PDI-P, Effendi Simbolon, mengatakan, anggota DPR sebagai perancang undang-undang juga memiliki tanggung jawab dalam membuat sebuah peraturan yang memberikan beban pelaksanaan yang begitu berat untuk KPU dan jajarannya.
Bimbingan teknis
Politisi Partai Gerindra, Andre Rosiade, menilai, sebagian permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dicegah apabila bimbingan teknis kepada petugas KPPS diberikan secara memadai.
Contohnya, ada 52 tempat pemungutan suara (TPS) di daerah pemilihannya, Sumatera Barat I, yang harus menggelar pemungutan suara ulang. Andre mengatakan, banyak TPS yang harus menggelar pemungutan suara ulang karena ada pemilih yang menggunakan hak suara di luar domisili yuridisnya. ”Ini hanya terjadi karena petugas KPPS tidak terlalu menguasai aturan pemilu,” katanya.
Andre juga sepakat, desain pemilu harus dievaluasi, tetapi jangan sampai permasalahan ini membuat penyelenggara pemilu abai terhadap upaya-upaya kecurangan yang dapat terjadi pada tahapan penghitungan suara.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan telah memberikan pesan kepada petugas KPPS untuk mengatur ritme kerja masing-masing guna menghindari kelelahan. Namun, ia mengungkapkan, kondisi di lapangan tidak selamanya ideal. Partisipasi publik yang tinggi mungkin membuat petugas KPPS merasa harus segera menyelesaikan tugas dengan cepat.
”Karena TPS begitu ramai, bersemangat, hal ini mendorong petugas untuk segera menyelesaikan tugas. Akibat tekanan ini, bisa membuat tidak normal dan melampaui kapasitas manusia,” kata Arief.
Menurut dia, KPU, Bawaslu, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, dan Kementerian Keuangan dalam proses akhir merancang skema dan regulasi yang diperlukan untuk mendistribusikan santunan bagi ahli waris petugas KPPS yang gugur dalam mengerjakan tugas.
”Seharusnya Jumat lalu sudah selesai sehingga minggu depan dapat langsung eksekusi. Nanti kami juga akan cek satu per satu ahli waris yang berhak,” ujar Arief.