JAKARTA, KOMPAS -- Komisi Pemilihan Umum menggelar simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2019 di Halaman Kantor KPU, Jakarta, Selasa (12/3/2019). Simulasi tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal teknis seperti rata-rata waktu pemilih di bilik suara dan total waktu saat penghitungan surat suara.
KPU merancang simulasi sesuai dengan kondisi riil saat hari pemungutan dan penghitungan suara. Segala peralatan dan teknis dihadirkan dalam simulasi tersebut, seperti tempat pemungutan suara (TPS) yang dilengkapi surat, bilik, dan kotak suara, serta papan informasi peserta pemilu.
Kendati demikian, simulasi tidak menggunakan surat suara asli, melainkan surat suara buatan dengan menjadikan nama buah-buahan sebagai nama partai politik. Namun, pemilih dalam simulasi itu tetap diberi lima surat suara buatan untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, anggota DPD, DPR RI, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota.
Para pegawai di lingkungan kantor KPU juga ikut dilibatkan dalam simulasi. Sebagian berperan sebagai petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara. Terdapat juga pengawas TPS, saksi partai, dan sebagian lainnya berperan sebagai pemilih.
Sebelum pemungutan suara mulai dibuka pada pukul 07.00, petugas KPPS terlebih dahulu memeriksa kondisi kotak dan bilik suara. Pemeriksaan bertujuan untuk memastikan kondisi tersebut masih tersegel dan tidak adanya sabotase.
Setelah itu, seluruh petugas KPPS, pengawas TPS, dan saksi partai diminta sumpahnya agar bekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seusai disumpah, petugas KPPS yang diawasi langsung oleh pengawas TPS dan saksi membuka segel kotak suara yang berisi surat suara untuk dihitung dan diberikan kepada pemilih.
KPPS kemudian melayani setiap pemilih yang akan memberikan hak pilihnya hingga pukul 13.00 sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam melayani pemilih, petugas KPPS memprioritaskan pemilih berusia lanjut, ibu hamil, dan penyandang disabilitas.
Simulasi tersebut juga melakukan proses penghitungan suara yang dipimpin KPPS dan diawasi langsung oleh Pengawas TPS serta saksi partai. Penghitungan membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Setelah proses penghitungan suara selesai dan dituangkan dalam formulir C1, petugas pun menyegel kotak suara dan dibawa ke tingkat desa/kelurahan untuk dilakukan rekapitulasi suara oleh Panitia Pemungtuan Suara (PPS).
Standar waktu
Ketua KPU Arief Budiman yang turut berperan sebagai pemilih dalam simulasi mengatakan, simulasi bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal teknis seperti rata-rata waktu pemilih di bilik suara dan total waktu saat penghitungan surat suara. Hasil identifikasi dari simulasi akan digunakan sebagai acuan KPU dalam menentukan standar waktu pemungutan dan penghitungan suara.
"KPU sebenarnya sudah melakukan simulasi semacam ini di beberapa tempat dan terakhir di Yogyakarta dengan melibatkan masyarakat langsung. Beberapa kali simulasi pemungutan hingga penghitungan suara sampai hari ini tidak ada masalah," ujarnya.
Namun, kata Arief, berkaca dari simulasi di beberapa tempat, proses penghitungan suara membutuhkan waktu yang bervariasi. "Ada yang selesai jam 11 dan 12 malam bahkan jam 2 pagi. Waktu melampaui tengah malam tetap dibolehkan yang penting penghitungan tetap berjalan dan tidak terhenti," ungkapnya.
Anggota KPU Pramono Ubaid Tantowi memprediksi bahwa pemilih akan membutuhkan waktu yang cukup lama di bilik suara. Hal ini karena kompleksitasnya surat suara dan banyaknya peserta untuk pemilihan legislatif DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pada simulasi, saat berada di bilik suara rata-rata pemilih membutuhkan waktu lebih dari lima menit untuk mencoblos hingga melipat lima surat suara. Untuk mempersingkat waktu, Pramono pun mendorong agar para pemilih telah menentukan pilihannya sebelum berada di bilik suara.
"Jadi dengan pilihan yang sudah ada, di bilik suara pemilih hanya tinggal mencari dan mencoblos partai dan nama calegnya. Oleh karena itu, informasi mengenai caleg menjadi sangat penting karena dari dulu pemilih tidak tahu siapa yang mau dicoblos dan baru menentukan saat di bilik suara," katanya.
Pramono menambahkan, mengingat informasi mengenai caleg sangat penting, peserta pemilu baik parpol maupun kandidat perlu mengintesifkan sisa masa kampanye. Dengan begitu, pemilih dapat mengetahui siapa saja calonnya sehingga mempercepat waktu pemilih saat mencoblos di bilik suara.