Toleransi dari Ujung Timur Madura
Bila kenca palotan, bila kanca taretan. Jika berteman, bisa seperti saudara. Ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari warga ujung timur Pulau Madura: tidak sering mengucap kata toleransi, tetapi menghidupinya dalam relasi sosial nyata sehari-hari.
Seusai shalat Dzuhur, Syaiful Bahri (62) dan Sawawi (78) duduk di teras Masjid Baitul Arham di Desa Pabian, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Rumah mereka tak terlalu jauh dari masjid itu sehingga keduanya acap shalat di sana. Tak jauh dari tempat mereka duduk, terlihat bagian sudut atap Gereja Santa Maria dari Gunung Karmel yang berada di seberang jalan, hanya belasan meter dari masjid itu. Gereja Katolik tersebut bersebelahan dengan Kelenteng Pao Sian Lin Kong.
Dengan bangga Syaiful bercerita bahwa tempat tinggal mereka beberapa kali didatangi orang-orang yang tertarik dengan kerukunan antaragama. Di tengah perubahan sosial yang menerpa Indonesia, keberadaan tiga tempat ibadah beda agama di dalam satu lokasi yang sangat berdekatan itu seolah menjadi sesuatu yang istimewa. Padahal, bagi penduduk setempat, hal itu sesuatu yang biasa saja, bagian dari keseharian masyarakat.
”Dari dahulu seperti itu. Tidak ada gesekan. Kalau ada kegiatan di masjid atau gereja atau kelenteng, kami saling menjaga supaya acara lancar,” kata Syaiful.
Dia mencontohkan, saat ada kerja bakti membersihkan gereja, warga di sekitar gereja yang bukan beragama Katolik ikut membantu. Bagi dia, warga tidak membeda-bedakan agama. Siapa pun yang baik sikapnya, terlepas dari apa latar belakangnya, akan dianggap sebagai teman, bahkan seperti saudara. Dalam bahasa Madura, ada pepatah yang lebih kurang berbunyi: bila kenca palotan, bila kanca taretan. ”Maksudnya, kalau berteman bisa seperti saudara,” ungkap Syaiful sambil tertawa lepas.
Kisah soal kedekatan hubungan antarwarga ini juga terungkap dari Seno Jaya Manggala, Ketua Tempat Ibadah Tri Dharma Pao Sian Lin Kong, dan Romo Nolaskus Harsantyoko, Kepala Paroki Santa Maria dari Gunung Karmel.
Pada saat sedang ada ibadah di gereja, pengurus Kelenteng Pao Sian Lin Kong membuka pintu gerbang kelenteng lebar-lebar, menyediakan halaman tempat ibadah mereka untuk dijadikan tempat parkir kendaraan umat Katolik.
Romo Harsantyoko mengaku tak perlu terlalu banyak usaha untuk membangun komunikasi lintas agama di Pabian karena memang penduduk daerah itu dikenal sangat terbuka. Untuk memastikan kondisi yang harmonis ini terus terjaga, para tokoh agama dan tokoh masyarakat kerap berkomunikasi rutin sehingga setiap ada potensi kesalahpahaman bisa cepat diselesaikan sebelum menjadi persoalan yang besar.
Di Kampung Candi, Desa Polagan, Kabupaten Pamekasan, daerah yang berbatasan dengan Sumenep, harmoni sosial serupa terwujud dalam bentuk berbeda. Di kampung itu ada Wihara Avalokitesvara yang dibangun akhir abad ke-19. Wihara yang dikelola Yayasan Candi Bodhi Dharma itu dibangun di atas lokasi penemuan arca dari abad ke-14.
Selain tempat ibadah umat Buddha, Khonghucu, dan Taoisme, di lingkungan kompleks wihara itu juga ada mushala yang dibangun pada 1980-an dan pura untuk penganut agama Hindu yang dibangun beberapa tahun setelahnya.
”Pura itu dulu diusulkan dibangun agar orang Hindu di sekitar sini bisa beribadah, sedangkan mushala sudah terlebih dahulu dibangun supaya tamu yang datang untuk sekadar melihat-lihat wihara bisa tetap menjalankan ibadahnya,” kata Ketua Yayasan Candi Bodhi Dharma Kosala Mahinda.
Wihara itu tidak sekadar untuk tempat beribadah, tetapi juga menjadi tempat merawat kebudayaan. Di seberang wihara, ada semacam pendapa kecil untuk pergelaran wayang kulit yang ditampilkan dalam bahasa Madura. Jika sedang ada pentas, warga-warga di kampung sekitar wihara bakal memadati tempat itu. Kosala Mahinda kebetulan juga penyuka sekaligus kolektor wayang kulit tua.
Masyarakat terbuka
Budayawan Madura, Edi Setiawan, menuturkan, sikap terbuka orang-orang Madura, terutama di Sumenep, merupakan warisan dari zaman dahulu kala. Orang Madura dikenal sebagai pelaut yang membuat mereka sering bertemu dengan orang dari berbagai budaya.
Hal ini membuat mereka tidak asing lagi dengan perbedaan dan keberagaman. Pintu gerbang Keraton Sumenep, Labang Mesem (pintu tersenyum), disebut Edi sebagai simbol keterbukaan bahwa semua orang yang datang disambut dengan senyuman sepanjang beritikad baik.
Sejak abad ke-5, konon sudah ada pedagang Tionghoa yang berlabuh di Pulau Madura. Mereka lalu menetap dan berbaur dengan penduduk setempat. Tidak ada pembedaan bagi mereka hidup sehari-hari. Sebagian besar bahkan sudah tak lagi mengasosiasi diri sebagai orang Tionghoa, melainkan mengaku orang Madura.
Menurut Edi, ada banyak peninggalan budaya Tionghoa yang masih bisa ditemukan dalam bangunan-bangunan kuno di Sumenep. Salah satunya Masjid Jamik Sumenep yang dibangun antara 1779 dan 1787. Masjid yang dipengaruhi unsur budaya China, Eropa, Jawa, dan Madura tersebut didesain oleh arsitek Tionghoa, yang pada masa itu sudah turun-temurun menetap di Madura, yakni Lauw Piango.
”Kalau di masa itu sultan saja sudah begitu terbuka, apalagi rakyatnya. Selain itu, bukti peninggalan lain, berupa batik, ukiran, juga menunjukkan adanya pengaruh kuat corak China,” kata Edi.
Keterbukaan terhadap perbedaan etnis dan agama, ujar Edi, juga bisa dilihat dalam relasi sosial warga yang sudah menjadi tradisi. Misalnya, setiap hari raya Idul Fitri, ia menerima kiriman makanan dari kenalan dan tetangganya.
Saat Tahun Baru Imlek, Edi yang bergantian mengirimkan kue-kue kepada tetangganya. Belakangan, tradisi ini mulai meluntur karena dianggap sebagai pemborosan.
Kendati masih berlangsung hingga kini, kebiasaan mengantar makanan tersebut hanya berlangsung di antara orang-orang yang sudah saling mengenal dan sangat dekat relasinya sehari-hari.
Peran pondok pesantren
Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Abd A’la mengatakan, toleransi yang muncul secara alami dari masyarakat itu tidak terlepas dari kondisi masyarakat di bagian timur Madura yang sudah sejak lama terbuka.
Relasi antara warga Madura dan orang Tionghoa di sana juga berlangsung dengan baik. Bahkan, ada pula orang-orang Tionghoa yang gandrung budaya Madura sehingga menjadi budayawan Madura.
Selain faktor sejarah yang menyebabkan Sumenep begitu terbuka, dia juga menilai, ada peranan pondok pesantren yang kuat sehingga toleransi itu bisa tetap bertahan hingga saat ini. Dia mencontohkan Pondok Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep, yang menanamkan pemahaman bagi santri-santrinya untuk hidup damai dengan siapa pun. Kiai dan tokoh masyarakat setempat kemudian juga mau memberikan contoh bagaimana menjaga kerukunan.
”Warga menerapkan toleransi, bahkan mungkin ada beberapa orang yang tidak tahu kata itu, tetapi sudah hidup seperti itu dan apa adanya. Apakah bisa diterapkan di daerah lain? Bisa, sepanjang tokoh-tokoh mengedepankan keteladanan daripada sekadar diskursus atau wacana,” kata Abd A’la yang berasal dari Sumenep itu.
Pertanyaannya, kini, seberapa banyak tokoh yang masih bisa dijadikan contoh teladan? Semoga kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung setelah Lebaran mampu lebih banyak menghasilkan tokoh-tokoh yang bisa dijadikan teladan dan bukan sebaliknya.