Kedua Sosok Wagub Miliki Kelebihan yang Dapat Raih Suara
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei Litbang Kompas terbaru menunjukkan, elektabilitas pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak mengungguli pesaingnya, Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno. Namun, kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur 2018 diyakini masih menyajikan persaingan yang cukup ketat.
Berdasarkan hasil survei dari Litbang Kompas, elektabilitas Khofifah-Emil meningkat sekitar 4,1 persen dibandingkan survei sebelumnya. Khofifah-Emil yang diusung koalisi PPP, Golkar, Hanura, PAN, Nasdem, dan Demokrat mendulang elektabilitas di angka 48,6 persen.
Sementara tingkat keterpilihan pasangan Saifullah-Puti naik tipis 1,6 persen. Pasangan yang diusung koalisi PDI-P, PKB, Gerindra, dan PKS ini meraih suara 45,6 persen.
Manajer Litbang Kompas Toto Suryaningtyas, di Jakarta, Kamis (31/5/2018), menyampaikan, selisih tingkat keterpilihan kedua pasangan calon ini masih di bawah angka sampling error survei (3,46 persen). Dengan kata lain, belum bisa secara kuat dikatakan satu pasangan akan unggul daripada pasangan lain.
”Dari ketiga survei prapilkada yang diselenggarakan di ketiga provinsi, yakni Jawa Barat, Tengah, dan Timur, kami melihat ada karakteristik pemilih yang berbeda di provinsi masing-masing. Di Jawa Timur, kami menjumpai kultur yang lebih tradisional, seperti simbol-simbol keagamaan,” tutur Toto.
Simbol keagamaan tersebut tidak terlepas dari sosok Khofifah dan Saifullah yang sama-sama lahir dan dibesarkan dalam tradisi nahdliyin. Keduanya kader dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), bahkan aktif dalam struktur kelembagaan NU.
Dengan mayoritas pemilih di Jatim adalah warga nahdliyin, sedikit banyak menjadi pasar pemilih yang sama antara Khofifah dan Saifullah. Hal ini terlihat dari tersebarnya pemilih dari kalangan NU pada kedua pasangan calon, bahkan angkanya hampir terbelah, separuh pemilih nahdliyin ke Khofifah dan separuh lagi ke Saifullah.
Kelebihan sosok wakil
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menyatakan, dengan ketatnya persaingan tersebut, sosok wakil gubernur dapat menjadi faktor penentu untuk meraih suara dalam pilkada yang diselenggarakan pada 27 Juni mendatang.
”Meskipun tidak dalam skala besar,dilihat dari pertarungan yang ketat ini, mereka bisa menjadi faktor penentu. Hal ini karena tingkat pengenalan Emil ataupun Puti belum mentok. Mereka masih bisa meningkatkan tingkat popularitasnya di Jatim,” ujar Yunarto.
Ia mengatakan, setiap calon wakil gubernur, baik Emil maupun Puti, memiliki kelebihan masing-masing. ”Emil dengan gaya anak muda dan akademisi, sedangkan Puti sebagai simbolisasi garis politik aliran merah yang dianggap bisa menyolidkan mataraman atau kaum nasionalis,” ungkap Yunarto.
Emil merupakan Bupati Trenggalek dan juga cucu dari KH Mochamad Dardak, ulama yang disegani di Trenggalek. Sementara Puti merupakan anggota DPR dari PDI-P yang juga cucu dari presiden pertama RI Soekarno.
Melihat latar belakang kedua calon wakil gubernur tersebut, Puti jauh lebih memiliki peluang besar untuk mendulang suara. Namun, Emil juga berpotensi meraup suara di kalangan yang lebih umum atau di luar barisan politik aliran, seperti generasi milenial atau masyarakat kota.
Ketua DPC Partai Demokrat Tulungagung Sofyan Heri meyakini, sosok Emil akan berpengaruh pada tingkat keterpilihan pasangan Khofifah-Emil. Kinerja Emil di Trenggalek membuat masyarakat Tulungagung ingin memiliki pemimpin seperti itu.
Adapun Ketua Tim Pemenangan Koalisi Pengusung Saifullah-Puti di Tulungagung, Supriono, menyatakan, kehadiran Puti akan membangkitkan soekarnois dan tali persaudaraan di antara mereka yang sudah sekian lama hilang. Puti diharapkan mampu membangkitkan kembali simpatisan Bung Karno (Kompas, 31 Mei 2018).
Namun, hasil survei juga menunjukkan, kontestasi belum menyentuh pada sosok wakil gubernur yang berpotensi sebagai pembeda di antara kedua pasangan calon. Hal ini terlihat dari pilihan publik yang selama ini masih bertumpu pada sosok calon gubernur. Hanya sedikit responden yang mengaku pilihannya di pilkada nanti berdasarkan sosok wakil gubernur.
Pemilih milenial
Yunarto menilai, setiap generasi milenial dengan usia 17-35 tahun belum tentu sepenuhnya akan merapat ke pasangan Khofifah-Emil meski mereka berpotensi meraup suara di generasi tersebut. Hal ini karena setiap pemilih milenial bukanlah sosok yang berdiri sendiri atau independen.
”Pemilih milenial memiliki variabel lain, seperti milenial perkotaan, perdesaan, milenial berpendapatan tinggi atau rendah, dan ada juga milenial yang terikat dengan afiliasi politik. Setiap milenial ini memiliki cara pendekatan tersendiri sehingga tidak bisa ditentukan dapat merapat ke pasangan mana,” tutur Yunarto.
Dalam era digital saat ini, pemilih milenial memang dianggap sebagai pemilih paling pintar. Pemilih ini memiliki dan mengerti cara mengakses informasi sehingga mereka juga dianggap sebagai pemilih paling kritis.
Dalam era digital saat ini, pemilih milenial memang dianggap sebagai pemilih paling pintar. Pemilih ini memiliki dan mengerti cara mengakses informasi sehingga mereka juga dianggap sebagai pemilih paling kritis.
”Bukan menjadi hal yang baru bahwa pemilih milenial dapat menentukan kemenangan dari tiap pilkada di daerah. Secara umum, untuk pemilih milenial tidak hanya di Jatim, tetapi hampir semua daerah juga menjadi pembahasan karena secara kuantitaif pemilih milenial jumlahnya besar, apalagi menjelang adanya bonus demografi pada tahun 2025,” lanjut Yunarto.
Implikasi ke pilpres
Menurut pemerhati politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, kontestasi Pilkada Jatim tidak akan terlalu mengganggu dukungan atau perolehan suara pada pemilu presiden nanti.
”Pasangan Saifullah-Puti memang sangat identik dengan PDI-P dan kaum nasionalis karena kehadiran Puti sebagai cucu Bung Karno. Namun, seandainya pasangan ini tidak menang pun, mereka akan tetap memberikan dukungan kepada calon presiden yang diusung oleh PDI-P,” ucap Airlangga.
Ia menambahkan, hal tersebut juga berlaku untuk pasangan Khofiah-Emil jika mengalami kekalahan. Hal ini karena kedua pasangan memiliki kecenderungan pro terhadap pemerintah.