Cawapres Jokowi Sebaiknya Bisa Perkuat Demokrasi Juga Penegakan Hukum dan HAM
JAKARTA, KOMPAS — Calon wakil presiden pendamping Joko Widodo diharapkan menguasai isu penegakan hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Sejumlah pihak yang menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada sektor-sektor tersebut.
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris menilai, Jokowi lemah dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, pendamping yang dipilih harus mampu menutupi kelemahan itu.
Temuan Litbang Kompas menunjukkan, kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang hukum cenderung fluktuatif. Januari 2015, sebesar 59,90 persen menyatakan puas. Jumlah itu menurun menjadi 46,4 persen pada Oktober 2015. Lalu, meningkat menjadi 50,7 persen pada Oktober 2016. Terakhir, kepuasan masyarakat pada bidang hukum mencapai 61 persen pada Oktober 2017.
”Jokowi harus mencari calon yang menutupi kekurangan Jokowi. Khususnya, pada penguatan demokrasi, penegakan hukum, dan HAM. Ini penting supaya pemilihan calon wakil presiden mendatang tidak melihat kepentingan jangka pendek saja,” kata Syamsuddin, dalam sebuah diskusi publik di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta Selatan, pada Selasa (6/3).
Kepentingan jangka pendek yang dimaksud adalah bahasan tentang Pemilu 2019 yang hanya berkutat pada tataran elektabilitas dan koalisi partai. Syamsuddin mengingatkan agar Jokowi tidak membahas hal itu saja dan mementingkan perbaikan kinerja jika ia terpilih lagi sebagai presiden.
”Elektabilitas dan koalisi partai itu hanya kepentingan jangka pendek. Kalau terjebak kepentingan jangka pendek, bangsa kita tidak dapat apa pun dari kontestasi presiden mendatang,” kata Haris.
Elektabilitas dan koalisi partai itu hanya kepentingan jangka pendek. Kalau terjebak kepentingan jangka pendek, bangsa kita tidak dapat apa pun dari kontestasi presiden mendatang.
Donal Fariz, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, mengatakan, kelemahan dari sektor penegakan hukum itu dapat dilihat dari stagnasi dalam indeks persepsi korupsi. Pada Kompas (4/3), diberitakan, Indeks Korupsi Indonesia tidak berubah dari tahun 2016 dan 2017. Indonesia masih bertahan di peringkat ke-37. Semakin mendekati angka 0 menunjukkan tingkat korupsi semakin tinggi. Melihat tidak adanya perubahan itu dapat diartikan penindakan terhadap kasus korupsi masih lemah.
Selain itu, Donal mengatakan, belum terungkapnya kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan juga menjadi catatan bagi pemerintah bahwa penegakan hukum belum maksimal. ”Beliau pasti diserang dengan isu tidak tuntasnya penegakan hukum. Kasus Novel (Baswedan) belum selesai, aktivis antikorupsi akan melihat itu. Ada juga pelemahan KPK yang terjadi terus- menerus,” kata Donal.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritisi, ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden. Hal itu dinilai menghambat proses demokrasi dan mencegah munculnya poros ketiga dalam Pilpres 2019.
”Alasan awalnya untuk menguatkan sistem presidensial. Tetapi, dalam praktiknya terkesan untuk melancarkan jalan agar Jokowi dapat terpilih kembali pada Pilpres 2019,” kata Titi. ”Sebenarnya, tanpa sistem tersebut, Jokowi sudah cukup kuat.”
Pada 2017, pada Saiful Mujani Research Center tercatat, elektabilitas Jokowi mencapai 38,9 persen dan menjadi yang tertinggi. Prabowo Subianto menyusul setelahnya dengan persentase sebesar 10,5 persen. Nama-nama lainnya, seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono, bahkan hanya memperoleh persentase di bawah 1 persen.
Sosok cawapres
Donal mengatakan, ada tiga kriteria yang setidaknya bisa menjadi pendamping tepat bagi Jokowi dalam Pilpres 2019. Ketiga kriteria itu adalah sosok yang bersih dan negarawan, memiliki visi penegakan hukum dan demokrasi yang konsisten serta berani melawan mafia hukum dan mafia bisnis.
”Sosok bersih dan negarawan ini penting. Harus ada orang yang bisa melakukan pembersihan dalam penegakan hukum. Selain itu, sebagai negarawan juga harus tidak mempunyai catatan hukum. Ini jadi alat sandera baru jika punya beban hukum masa lalu,” kata Donal.
Sementara itu, Syamsuddin memprediksi, ada empat kelompok yang bisa masuk ke dalam bursa cawapres Jokowi dalam Pilpres 2019. Keempat kelompok itu adalah para ketua umum partai politik koalisi pendukung Jokowi, anggota kabinet Jokowi, tokoh masyarakat, dan tokoh yang terekam dalam survei.
”Ketua umum parpol koalisi pendukung itu adalah Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, dan lain-lain. Lalu, anggota kabinet Jokowi itu ada Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Basuki Hadimuljono, dan lain-lain,” kata Syamsuddin.
”Cawapres bisa juga datang dari tokoh masyarakat, termasuk tokoh perempuan dan pimpinan organisasi masyarakat. Nama-nama yang bisa saja muncul adalah Mahfud MD, Yenny Wahid, dan Jimly Asshiddiqie,” kata Syamsudin. ”Bisa juga tokoh-tokoh yang terekam dalam survei seperti Anies Baswedan ataupun AHY.”
Donal menanggapi disebutnya nama Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2011, oleh Syamsuddin. Menurut dia, Mahfud memenuhi kriteria yang disebutkan oleh Donal sebelumnya.
”Beliau (Mahfud) adalah seorang ahli di bidang hukum. Sebagai negarawan, beliau juga pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi,” kata Donal. ”Mahfud bisa menjadi cawapres yang mengatasi kelemahan itu. Beliau bisa menjadi pelapis untuk kelemahan Jokowi itu.”