Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural dengan agama, suku, dan bahasa yang beragam. Keberagaman tersebut menjadi kekayaan dan kebanggaan bangsa.
Sayangnya, kekayaan tersebut semakin tidak disyukuri bahkan tidak dianggap sebagai esensi bangsa. Muncul rasa malu terhadap bahasa ibu atau bahasa daerah.
Saya merasa tersentuh dengan yang ditulis Deni Iska Dian Nita dalam opini di Kompas.id yang bertajuk ”Membunuh Rasa Malu Berbahasa Ibu” (22/3/2022). Ia menaruh rasa prihatin pada masyarakat, khususnya kaum milenial, yang malu menggunakan bahasa daerah.
Akibatnya, cukup banyak bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah. Jika tidak ditangani dengan serius, kekayaan tersebut akan lenyap dari Indonesia.
Di zaman modern, dengan arus linguistik yang semakin mengarah ke Barat, rasa cinta berbahasa daerah semakin berkurang. Ada beberapa faktor penyebab.
Pertama, arus persaingan mengarahkan pada bahasa-bahasa asing agar mampu berkompetisi, terutama dalam hal perekonomian. Kedua, orangtua, guru, dan lingkungan masyarakat tidak membiasakan lagi penggunaan bahasa daerah.
Upaya pelestarian bahasa daerah perlu digiatkan agar kekayaan bangsa tetap terjaga meski menghadapi tantangan zaman. Upaya bisa dimulai dari rumah, memberi porsi penting muatan lokal di sekolah, hingga mendorong penggunaannya di lingkungan masyarakat.
Terakhir, pemerintah bekerja sama dengan budayawan daerah membentuk sanggar budaya. Sic fiat!
Agustian Ganda Putra Sihombing, OFMCap Paroki Santa Lusia Parlilitan, Jl Dolok Sion,Parlilitan, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara
RUU Sisdiknas
Suasana di SD Senasaba, Kota Jayapura, Papua, pada Rabu (3/11/2021). Sekolah itu milik Yayasan Pendidikan Kristen di Tanah Papua.
Menarik berita Kompas (Jumat, 25/3/2022) yang berjudul ”Pemerintah Didesak Bentuk Panitia Kerja Nasional”. Berita tersebut terkait dengan perubahan sistem pendidikan nasional.
Menurut saya, RUU Sisdiknas memang tidak perlu buru-buru. Perlu kualitas karena pendidikan tidak boleh dimain-mainkan. Soal peraturan pun harus sesuai dengan perkembangan masa mendatang. Dengan kata lain, harus ada prediksi yang cukup akurat untuk menentukan arah pendidikan, sesuai arah kebijakan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, memasukkan konten kebudayaan sangat perlu. Artinya, pendidikan disesuaikan dengan adat istiadat dan kearifan lokal di setiap daerah. Sebagai orang di daerah, saya tidak akan bisa mengikuti pola pendidikan kota besar, apalagi Jakarta.
Tingkat capaian memang ada yang sama secara nasional. Namun, harus ada kebebasan di setiap daerah sesuai dengan ciri khas masing-masing. Lebih jauh lagi mungkin bisa meminta pandangan dari tokoh-tokoh daerah yang paham pendidikan.
Perlu keleluasaan agar perkembangan peserta didik sesuai bakat dan minatnya. Tak kalah penting juga membedah konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara. Membahas RUU Sisdiknas itu perlu waktu.
Hawin AlainaPegiat CSO, Karangawen, Demak
Bulan Ramadhan
Suasana Ramadhan di Desa Krakitan, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, Minggu (2/6/2011).
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan, saat umat Islam menjalankan ibadah puasa. Semua perlu persiapan sebaik-baiknya, terutama untuk sahur dan berbuka.
Namun, harga kebutuhan pokok sudah merangkak naik, terutama minyak goreng yang masih tinggi harganya. Ini tentu berat bagi penduduk yang berpendapatan pas-pasan.
Kiranya pemerintah perlu memperhatikan dan turun tangan agar harga-harga bahan pangan, terutama minyak goreng segera pulih kembali. Dengan demikian, masyarakat bisa tersenyum lebar menyambut Ramadhan.
Semoga ketersediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, memulihkan daya beli masyarakat, dan selanjutnya membantu mereka segera bangkit dari pandemi.
Ani Sri WahyuniJl Tampomas Utara RT 001 RW 004 Kecamatan Gajah Mungkur, Semarang 50237