Malam Kembang
Semua ’bekal’ itu akan mengiringi Papa menuju rumah Papa yang baru.
Malam itu telah mengubah segalanya. Malam yang tak pernah terlintas sekalipun di pikiran Pramudita Yasawirya. Dia tahu suatu saat itu akan terjadi, tetapi tidak dengan cara seperti ini. Hidupnya yang semula tenang dan hanya mengikuti arus berubah dalam satu malam. Dirinya yang begitu naif dan merasa dunia baik-baik saja dalam sekejap menjadi tersentak bahwa dunia tidak selamanya baik-baik saja.
Malam itu tak ada bedanya dengan malam sebelumnya. Tak ada firasat bahwa malam itu akan menjadi titik perubahan alur hidupnya. Rasanya baru sekejap dia terlelap, tiba-tiba dia mendengar ketukan pada pintu kamarnya. Sekali. Tidak dihiraukannya. Dua kali dengan bunyi makin emosional. Jantungnya berdegup tak nyaman.
”Papa! Papa!” seru ibunya dengan panik.
Pramudita langsung berlari mengikuti ibunya. Pemandangan berikutnya adalah Papa telah membiru dengan napas yang berat. Keringat dingin mengucur. Mata itu terpejam, tetapi masih sadarkan diri. Pramudita panik setengah mati. Dia langsung menelepon UGD rumah sakit terdekat. Petugas UGD masih dapat menangkap tiap kata-katanya yang terbata-bata.
”Papa akan baik-baik saja,” gumamnya dengan air mata yang telah jatuh.
”Jangan panik, Dita. Jangan menangis,” Papa masih bisa berkata seperti itu di saat Pramudita mencemaskannya.
Pramudita menggenggam tangan Papa dengan erat. Tangan itu sedingin es. Dirinya terus berbicara agar Papa tetap sadarkan diri. Dengan tergesa-gesa, Papa dibawa dengan menggunakan ambulans. Setibanya di UGD, oksigen dipasang segera. Suasana dini hari yang masih pekat menambah dingin suasana.
”Dita doakan Papa semoga Papa cepat sembuh,” ujarnya bergetar.
”Semoga Papa dilapangkan jalannya,” sambung Papa yang membuat Pramudita bergidik.
Entah mengapa, setelah mendengar kalimat itu, Pramudita merasakan sensasi yang tidak menyenangkan. Tak berapa lama setelah berkata seperti itu, Papa tak lagi bangun meskipun masih bernapas.
”Papa, bangun. Nanti setelah Papa bangun, kita jalan-jalan.”
Mau tak mau, Papa dilarikan ke ICU. Pramudita menunggui Papa di depan ICU. Dia menangis dalam diam, mengenang segala jasa dan kebajikan Papa di dalam hidupnya.
”Maafkan aku, Pa,” desis hati kecilnya.
Hanya kepada Tuhan dia pasrahkan. Tidak ada kabar dari ruangan ICU berarti kabar baik. Pramudita baru hendak menarik napas ketika perawat memanggilnya. Cukup intens. Pramudita berlari tergesa-gesa.
”Keluarga Pak Yasawirya... Keluarga Pak Yasawirya…”
Lutut Pramudita lemas seketika saat menyaksikan dokter sedang memompa jantung Papa.
”Tolong bantu doa, ya, Dik,” bisik perawat tepat di telinga Pramudita.
Pramudita bercucuran air mata sambil memanggil Papa agar kembali. Namun, takdir Tuhan telah menentukan. Pada pagi buta itu, Papa meninggalkan Pramudita untuk selamanya.
Pramudita menatap Papa yang telah membiru. Papa tersenyum dalam tidurnya yang abadi. Serangkaian proses yang dijalani Pramudita berikutnya laksana mimpi. Sebagai anak pertama, Pramudita yang mengemban tugas untuk mendampingi jenazah Papa menuju rumah duka dengan menggunakan mobil jenazah. Air mata Pramudita meluncur bagaikan sungai yang mengalir.
Baca juga: Tak Ada Apa-apa di Ujung Hari Ini
Pagi itu, Pramudita membeku menatap langit-langit kamarnya. Rasanya seperti delusi. Separuh dirinya masih belum percaya kalau Papa telah meninggalkannya untuk selamanya. Dia berusaha untuk tidur, berharap saat dia terbangun segalanya kembali normal. Tak tahu kapan dia jatuh terlelap hingga sebuah suara lembut berbisik di telinganya.
”Dita… Bangun.”
”Iya, Pa…,” jawabnya sambil membuka matanya.
Tak ada seorang pun. Buru-buru dia mengecek kamar orang tuanya. Hanya ibunya. Tak ada ayahnya yang biasanya sedang bersiap-siap memulai hari. Jadi, ini bukan mimpi?
Dengan pikiran kosong, Pramudita kembali menuju rumah duka. Pramudita telah menyiapkan perlengkapan dan benda-benda favorit Papa, seperti pakaian, alas kaki, hingga perlengkapan menulis Papa. Papa sangat gemar mencatat dan menulis to do list sehari-hari.
Tak lupa dia juga menyiapkan rumah kertas, uang kertas, serta perlengkapan lainnya, seperti perlengkapan mandi dan aksesoris yang semuanya terbuat dari kertas. Semua ‘bekal (1) ’ itu akan mengiringi Papa menuju rumah Papa yang baru.
Papa masih berada di dalam ruangan jenazah. Sebelum prosesi memandikan jenazah Papa dimulai, Pramudita memilih peti untuk Papa. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia mengurus langsung proses persemayaman seseorang, yaitu ayahnya sendiri.
Dia tak tahu cara memilih peti. Dia tak tahu apa yang mesti dilakukan. Biasanya ada Papa di sampingnya. Di tengah kebimbangannya, dia tahu bahwa dia mesti segera memutuskan. Dia memilih peti berwarna cokelat yang sederhana, sesuai dengan kepribadian Papa yang bersahaja.
Air mata bergelimang saat menyaksikan jenazah Papa dimandikan. Tubuh yang dahulu mengasihinya kini telah terbujur kaku. Petugas mengenakan satu setel jas ke tubuh papa serta sepasang sepatu berwarna hitam yang akan mengantarkan Papa ke langkah berikutnya.
”Pa, yuk, kita pindah ke rumah baru Papa,” ucap Pramudita bergetar.
Lagi, sebagai anak pertama, Pramudita menjemput jenazah Papa yang telah rapi menuju ke salah satu ruangan di rumah duka. Tubuh Pramudita bergetar saat dia melangkah di paling depan untuk mengiringi jenazah Papa.
Semua memori selama dua puluh enam tahun ini, sejak dia dilahirkan ke dunia hingga kini, berputar. Kenangan yang tak selalu manis. Terkadang, pahit. Semuanya membuat hidup menjadi lebih hidup. Terngiang di kepalanya segala kasih sayang Papa. Papa bukan hanya berperan sebagai ayah, melainkan juga sebagai sahabat… dan juga sebagai ibu.
Pramudita benar-benar tersadarkan untuk pertama kalinya. Hakikat hidup manusia. Lahir. Tua. Sakit. Mati (2). Anicca (3) . Segala kondisi tidak kekal. Dan kini Pramudita harus belajar untuk melepaskan… melepaskan Papa.
Pramudita memandang jenazah Papa yang sudah berada di dalam peti dengan hampa. Papa tampak seperti tertidur pulas. Sampai detik ini pun, masih Pramudita bertanya kepada dirinya sendiri. Mimpikah aku? Benarkah Papa telah pergi untuk selamanya?
Di tengah dirinya yang berkubang duka, para pelayat mulai berdatangan. Mama akan menyambut para pelayat dengan raut sedih. Wanita paruh baya itu secara ajaib akan menumpahkan air matanya di depan pelayat yang hadir. Saat pelayat telah minggat, air mata itu mendadak berhenti seketika.
Pa, yuk, kita pindah ke rumah baru Papa.
Malam kembang (4) digelar pada hari ketiga. Detik-detik terakhir Pramudita melihat jenazah ayahnya sebelum peti ditutup. Malam itu doa terasa lebih panjang. Permintaan maaf dan rasa terima kasih Pramudita lantunkan. Untuk terakhir kalinya, dia melihat fisik Papa, yang entah berkesempatan akan dilihatnya kembali atau tidak.
Pada malam kembang itu, hujan turun dengan deras. Namun, pelayat masih berdatangan sambil berucap, ”Turut ber-samvegacitta (5) …”
Pramudita bercengkerama dengan mereka yang bahkan tak diketahuinya siapa. Mereka bercerita mengenai kebajikan ayah Pramudita semasa beliau hidup. Mengenang Papa. Papa yang selama ini menjadi sosok ganda di dalam keluarga. Pramudita tumbuh dewasa tanpa sosok ibu yang mengasihinya meskipun secara fisik ibunya ada di sana.
”Ma, kalau mama terus begini, bagaimana Mama bisa dekat dengan anak?” teringat perkataan Papa jauh sebelum Papa berpulang yang ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Mama.
Waktu itu, Pramudita hanya menghela napas sama seperti yang dia lakukan sekarang. Satu malam yang telah mengubah dunianya. Pramudita tahu setelah malam kembang, dunia tempat dia berdiam tak akan sama lagi. Saat itu, dia belum mengerti bahwa bukan itu bagian yang paling berat yang perlu dia hadapi.
Hari kremasi Papa tiba. Lagi-lagi, sebagai anak tertua, tugas Pramudita adalah mengantarkan jenazah Papa ke krematorium. Dia duduk di dalam mobil jenazah sambil memeluk foto ayahnya. Tak terpikirkan olehnya suatu saat dia yang akan menjadi seseorang yang duduk di sana.
”Selamat jalan, Papa. Semoga Papa terlahir di alam bahagia (6).”
Doa dan bunga mengiringi saat jenazah dimasukkan ke dalam tempat perabuan itu.
Kemudian, mereka membakar uang kertas beserta segala perlengkapan yang akan menjadi bekal bagi Papa di sana. Pramudita termenung sambil menantikan proses kremasi yang memakan waktu sekitar tiga jam itu.
Ma, kalau mama terus begini, bagaimana Mama bisa dekat dengan anak?
Papa tak lagi bersama dirinya. Segala tanggung jawab yang dahulu dipangku Papa kini menjadi tanggung jawabnya. Tak pernah dibayangkannya seperti apa rasanya berada di posisi Papa. Posisi yang mengambil peran rangkap. Kini, Pramudita yang akan memerankan posisi itu. Posisi yang semestinya dimainkan juga oleh seorang ibu.
Proses kremasi selesai. Anggota keluarga dipanggil ke dalam ruangan krematorium. Fisik Papa telah menjadi debu. Pramudita mengambil sumpit panjang untuk memisahkan tulang belulang di antara abu. Pramudita menatap nanar. Jadi, beginilah akhir hidup seorang manusia.
Aku bertekad akan mengumpulkan kebajikan sebanyak mungkin seperti Papa. Pramudita menjalankan tugas terakhirnya. Dia memapah foto beserta abu Papa untuk terakhir kalinya. Mereka menaiki perahu menuju tengah laut. Pramudita memandang dengan syahdu abu Papa yang telah dilarung seutuhnya. Pinta terakhir Papa telah selesai dilaksanakan.
”Jadi, Mama sudah boleh pakai baju merah (7)?” tanya Mama sembari mereka bertolak dari laut.
Pramudita terkesiap. Dunia tidak selamanya baik-baik saja. Namun, dia yakin. Annica. Dunianya akan kembali baik-baik saja, suatu saat.
19 Juli 2024
Baca juga: Yai
Keterangan:
1. Tradisi masyarakat Tionghoa. Konon katanya, membakar uang kertas serta perlengkapan lainnya yang terbuat dari kertas untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang telah meninggal.
2. Menurut ajaran Buddha, lahir, tua, sakit, dan mati merupakan suatu penderitaan. Fenomena ini bersifat universal.
3. Anicca (Bahasa Pali) adalah ketidakkekalan.
4. Malam kembang merupakan upacara penghormatan kepada anggota keluarga yang telah meninggal biasanya ditandai dengan penutupan peti sehari sebelum jenazah dikremasi atau dikuburkan.
5. Samvegacitta (Bahasa Pali) biasanya diucapkan oleh umat Buddhis saat memberikan empati kepada seseorang yang sedang mengalami kehilangan.
6. Ucapan belasungkawa yang biasa diucapkan oleh umat Buddhis.
7. Menurut tradisi Tionghoa, baju berwarna merah atau baju berwarna cerah menggambarkan kebahagiaan. Biasanya selama waktu tertentu, tidak boleh mengenakan baju merah atau berwarna cerah setelah kematian anggota keluarga.
Sylvia Sari, seorang software engineer yang memiliki ketertarikan dalam bidang menulis. Perempuan yang lahir di Palembang, 13 September 1992, ini menyelesaikan studi S-1 di Fakultas Teknik Informatika Binus University. Sejak masih duduk di bangku sekolah, dia gemar menulis fiksi, khususnya cerpen. Melalui media seperti Wattpad dan Medium, dia membagikan tulisan-tulisannya berupa fiksi dan blog mengenai teknologi. Media sosialnya di Instagram, yakni dengan akun @sylviasari_.