Magnolia
Tapi, ingatlah, sepanjang apa pun mimpi itu, sewaktu-waktu kau akan terjaga dan kau akan menyesal.
Tak pernah dalam hidup relung hatiku berkata bahwa dialah orangnya, kecuali saat aku bertemu dengan Magnolia di perempatan jalan yang lengang pada pukul satu pagi. Malam yang gelap menjadi terang lewat matanya yang berkilauan oleh butir-butir gliter berwarna-warni yang dipantulkan lampu jalan. Lipstiknya menawan. Tidak mencolok, hanya sedikit pucat yang memberikan kesan pada wajah yang berpasrah.
Dia senyum padaku, dan matanya sedikit menyipit. Dia sentuh tanganku, lalu diremas kencang. Aku tidak tahu namanya, aku memanggilnya Magnolia karena parfum yang dia pakai persis seperti bunga magnolia yang manis. Tercium pekat tepat memikat, tapi tidak membikin pusing. Harumnya lekas menyeruak ke hidung sesaat dia mendekatkan wajahnya, dan dia mengecup pipiku.
Aku menghabiskan waktu dua jam bersamanya malam itu. Satu jam kami pakai untuk berjalan-jalan mengelilingi kota yang sepi. Menyusuri gedung-gedung tinggi yang di puncaknya lampu merah kecil berkedap-kedip. Tepat di bundaran tengah kota, aku memutar-mutarkan mobilku seperti sedang menari di atas pentas. Magnolia menurunkan kaca, mengeluarkan kepalanya dan bersorak sambil memain-mainkan tangannya yang berlalu-lalu ditiup angin.
Tak pernah dalam hidup relung hatiku berkata bahwa dialah perempuan yang paling istimewa. Tanyakan pada bulan di malam itu, adakah dia melihat sepasang kekasih yang teramat bahagia?
”Seperti dalam mimpi!” teriak Magnolia riang gembira.
”Ya, sayang, seperti dalam mimpi,” jawabku.
Aku mengendarai mobilku keluar dari kota. Aku ingin mengajaknya ke suatu dermaga di jalanan pedesaan. Di sana ada sebuah restoran 24 jam yang menyediakan makanan yang layak bagi para pencinta. Aku memintanya untuk duduk di luar, tepat di pinggir laut. Seorang pelayan datang memasang taplak meja putih, lalu menyalakan lilinnya.
Aku menunggu gadis itu. Begitu menenangkan untuk menatap matanya yang teduh. Wajahnya kadang kala berkerut menyusut tatkala membalik-balikkan kertas menu. Alisnya terangkat. Sesaat dia tersadar aku memandangnya terlalu lama, dia tersenyum. Pipinya memerah kemalu-maluan. Dan tiba-tiba, puluhan ubur-ubur kristal muncul ke permukaan. Menyala-nyalakan cahaya biru, dan airnya yang tenang, memantulkan seribuan bintang di langit malam. Kami berdua tersenyum menyaksikan pendaran itu. Aku meraih tangannya, lalu mencium dengan pelan, dan dia tersipu malu. Menempatkan kedua tangannya di depan dada hingga matanya berkaca-kaca.
Baca juga: Annyeong Haseyo, Kim
Di dalam ruangan, sepasang kekasih bersorak menyaksikan kawanan ubur-ubur itu. Mengeluarkan kameranya, dan memotret ratusan foto sebagai kenang-kenangan. Kami pun ikut tersenyum melihat mereka bergairah. Aku mengeluarkan telepon genggam ketika dia masih menengok ke belakang dan aku diam-diam memotret sisi samping pada wajahnya. Dan tepat saat dia kembali memutar kepalanya, ada keterkejutan yang menawan yang berhasil aku tangkap dengan kamera.
Gambar sebarisan gigi cemerlang, kedua ujung bibirnya terangkat membentuk kurva, hidung yang mancung, mata yang terang dengan alis tebal, sehelai rambut panjang yang sedikit pirang menjuntai sebuah garis dari kening hingga dagu terpotret sedikit buram akibat gerakan, macam satu foto sejarah yang tak pernah terulang.
Seraya tertawa-tawa malu, Magnolia menyuruhku untuk menghapusnya. Aku tak mau, buru-buru aku menyelipkan kembali telepon ke saku celana. Lalu kami menyantap makan tengah malam dan secangkir kopi sambil memandang cakrawala yang asing dengan biasan cahaya biru dari bulan yang sempurna bersama ubur-ubur kristal yang menggenjat-genjot di dalam air.
Selepas itu kami berjalan balik ke kota. Tetapi, Magnolia sudah telanjur lelah. Ia terlalu banyak tertawa. Maka kami menginap di sebuah motel tak jauh dari restoran itu.
Aku memapahnya sepanjang jalan menuju tangga karena dia sudah linglung. Sesampainya di dalam kamar, dia langsung merebahkan badannya di atas kasur tanpa mengganti pakaian.
Meskipun dia telah memejamkan matanya, wajahnya masih tampak segar dan terang seperti matahari pagi. Aku membaringkan badan di sampingnya. Sembari menunggu kantuk datang, aku memperbaiki bagian atas gaun pendek ungu pucatnya.
Lalu aku tersenyum, betapa selama ini aku tidak memperhatikan dengan jelas bahwa motif yang ada di gaunnya adalah bunga-bunga magnolia, yang aku pikir sebelumnya hanyalah corak lingkaran-lingkaran tak simetris.
Ketika aku mengelus-ngelusnya pelipisnya, tiba-tiba Magnolia melenguh lalu berujar macam orang teler, ”seperti mimpi”, dia tersenyum tipis. ”Mimpi orang sinting,” bisiknya, dan aku terkekeh-kekeh.
Ketika pagi tiba, aku terjaga oleh sinaran matahari terik yang menerobos masuk lewat tirai jendela semi transparan. Namun, tak kutemukan Magnolia di mana-mana.
Kasur telah kosong, entah sejak kapan. Tapi aku terkaget, gadis itu meninggalkan gaunnya di kamar mandi bersama sobekan kertas kecil bertuliskan: terima kasih, aku sangat menyukai waktu kita bersama, sampai jumpa nanti malam.
Aku sumringah. Sampai jumpa nanti malam, sayang, bisikku.
Kenyataannya, malam selanjutnya aku ngamuk kepada Magnolia. Aku mencium asap rokok ketika dia masuk ke dalam mobil. Tapi, dia membantahku dengan berkata bahwa dia menghisap sebatang rokok sebelumnya. Gadis bodoh, mana mungkin seseorang merokok lewat lehernya. Jelas-jelas lehernya pekat betul oleh tembakau.
Pasti ada lelaki lain, barang kali seorang pemabuk berat yang menggerayangi tubuhnya satu jam yang lalu.
Aku marah besar. Aku menyuruhnya untuk keluar dari mobil. Dan dia meludah ke trotoar lalu mengumpat kepadaku, ”Laki-laki bodoh!” dan dia berjalan menjauh.
Sementara telingaku terus panas dan tak bisa lepas dari perkataannya, yang tampaknya aku adalah orang yang tak mau merasa bersalah, maka pelan-pelan kuinjak pedal gas menyusul langkahnya.
”Magnolia,” panggilku dari dalam mobil yang melaju pelan. ”Aku cinta padamu. Bukankah semalam aku telah mengatakan bahwa aku akan menghidupimu. Kau hanya cukup menjadi kekasihku saja dan berhenti menjadi__”
Aku tersentak. Kata-kataku putus, segalanya tiba-tiba tersangkut di tenggorokan.
”Apa?” kata Magnolia dengan melotot. ”Pelacur?”
”Bukan, Magnolia,” kataku seraya berusaha keras meraih tangannya di kaca seberang kursi kemudi. Ketika aku berhasil menangkap tangannya, dia berhenti berjalan. Wajahku memelas. Kuremas-remas jari-jemarinya. Namun Magnolia mendadak tertawa. Lalu mencampakkan tanganku dan dia berkata, ”Kau salah, bayi manisku.” Magnolia menungging, menahan dagunya dengan kedua tangan di kosen kaca kursi penumpang. ”Aku bukan pelacur. Aku seorang jalang. Perbedaannya jauh. Jauh sekali. Aku menikmati pekerjaanku saban malam. Hanya ini yang membikinku bahagia.”
Aku bukan pelacur. Aku seorang jalang. Perbedaannya jauh. Jauh sekali. Aku menikmati pekerjaanku saban malam. Hanya ini yang membikinku bahagia.
”Kau tahu,” gadis itu mengelus pipiku, ”Aku lelah menjadi diriku sendiri. Aku lelah berada di tengah-tengah segala huru-hara ini. Aku hanya ingin bebas. Mencintai seseorang tanpa harus menggunakan hati. Mencintai dengan hati membutuhkan tanggung jawab yang besar, sayang. Kau tak tahu betapa bencinya aku dengan tanggung jawab itu!”
”Lagi pula, apa yang kau tahu tentang perempuan? Kau hanyalah bayi kecil yang kesepian… seperti anjing-anjing kota lain yang setiap malam menggonggong meraung-raung minta kelaminnya dijepit-jepit dan dikulum. Kesepian membuatmu tidak mengerti apa itu cinta dan kau berkata mencintaiku? Simpan saja omong kosong itu.”
Kakiku di ruang sempit telah bergetar-getar sedari tadi. Semakin aku menolak ucapannya tentang bayi, semakin aku ingin menangis. Dengan sedikit ragu aku kembali mencoba menangkap tangannya. Mataku berair perih, dan aku berkata, ”Aku benar-benar mencintaimu, Magnolia.”
”Oh, bayi kecil, ini kota. Orang-orang kota tidak saling mencintai. Itulah kenapa mereka membelinya.”
Dadaku sesak mendengarnya. Hidungku terisak-isak. Ada mukus yang menumpuk di saluran napas. Aku tak tahu arah pandangku lagi. Seketika pikiranku mengawang-awang dan aku hanya menjawab, ”Tolong katakan bahwa kau telah berdusta, sayang.”
”Tidak,” sahutnya tegas, ”Aku tak bercanda. Kenyataannya aku sangat serius,” lalu dia tertawa.
”Tidak, tidak, kau tak serius. Aku serius. Aku serius mencintaimu dengan segenap hatiku. Aku lelaki dewasa. Aku tahu kapan aku jatuh cinta. Tolong, Magnolia, jadilah kekasihku… tentu hidupku akan bahagia bersamamu.”
Magnolia sontak terbahak-bahak hingga terbatuk. Dia mengelus-elus dada dan mengucek matanya. Betapa cantiknya perempuan itu. Setelah dia menepuk lemak di pahanya, dia membusungkan dada dan meletakkan sebelah tangannya di atas kepala.
Baca juga: Kenapa Si Gondrong Berambut Cepak?
”Oh, demi tuhan,” ujarnya. ”Kenapa kau terlalu serius, sayang? Pagi tadi kau hanya sedikit beruntung dapat terjaga, sewaktu-waktu kau dapat mati. Lalu apa artinya segala keseriusan ini? Tidakkah menjadi penting hanya untuk menghargai setiap waktu yang ada dan keseriusan bukanlah salah satunya.”
”Tapi,” gadis itu melihat ke arah bulan, lalu kembali menoleh padaku, ”Kau tampaknya telah terkunci, sayang. Terikat oleh pikiran bahwa hidup itu terkekang. Hidup tak pernah mengekang siapa-siapa. Kau seoranglah yang mengikatkan dirimu padanya. Jika kau tak bahagia, matilah saja. Seseorang tak dilarang mati, lalu kenapa kau cemas pada hidup? Justru karena kita bakal mati, kita harus hidup.”
”Jadi, hiduplah sebanyak-banyaknya!”
Magnolia kembali meletakkan dagu di atas kedua tangan pada kosen jendela.
”Bangunlah, sayang. Kau telah tenggelam terlalu dalam. Kapan terakhir kali kau ingat main ke taman atau ke tepian pantai? Sekadar merebahkan badan di atas pasir hangat dan tak memikirkan apa-apa.”
Kemudian dia menyentuh kedua pipiku, lalu menatap ke dalam mataku. Seperti sedang mencari sesuatu yang hilang, dia bilang, ”Apakah kau masih menyimpan kewarasan itu? Atau jangan-jangan, kau sudah sedari lama menjadi gila. Terlarut dalam khayalan palsu kepalamu sendiri. Kau tidak hidup, sayangku, tak lain hanya menjalani mimpi-mimpi belaka. Sebuah mimpi panjang di mana kau dapat bergerak dan tertawa.”
”Tapi, ingatlah, sepanjang apa pun mimpi itu, sewaktu-waktu kau akan terjaga dan kau akan menyesal sambil berkata, oh, betapa aku telah menyia-nyiakan segala cara untuk bahagia.”
”Selamat tinggal, sayangku.”
Aku hanya terdiam di dalam mobil. Badanku sedikit syok. Aku tercenung cukup lama hingga aku tersadar betapa hampa setiap kelok jalanan pinggiran kota di tengah malam. Kulihat perlahan punggung Magnolia melangkah menjauh dariku. Lalu dia menghilang, tubuhnya membelok di ujung jalan.
”Apa yang terjadi?” batinku bertanya. Dia benar, ini hanya mimpi, aku menjawab.
Ini hanya mimpi. Sungguh mimpi yang begitu indah untuk dilewatkan. Aku mengeluarkan bungkusan rokok dari laci mobil. Sudah lama aku menyimpannya di dalam sana untuk waktu-waktu tertentu. Barang kali patah hati ini adalah momen yang tepat. Aku terkekeh sesaat mengeluarkan asapnya dari mulutku. Ini hanya mimpi, kataku.
Jadi, hiduplah sebanyak-banyaknya!
”Benar, sebab itu, mari kita tidur lagi, sayang,” ujar Magnolia yang duduk di kursi penumpang. Dia menyandarkan kepalanya di pundakku. Harum kembangnya tercium pekat. Memikat tepat sampai ke jantung. Yang kali ini, bebauan rokok datang daripadaku sendiri. Dan aku tersenyum. Bulan mengangkang cerah di langit malam. Di sekitarannya, ada keunguan pucat yang melingkar.
”Oh, bulan, adakah kau melihat lagi sepasang kekasih yang teramat bahagia malam ini?”
Bulan tak menjawab. Sekonyong-konyong, seekor anjing melolong jauh di salah satu lorong sektor kota yang gelap terhujam oleh seribuan sepi tak berbadan. Dan aku melajukan mobilku ke luar dari kota ini, menuju jalan pedesaan, mengajak Magnolia ke restoran pinggiran dermaga, di mana lautnya ada ratusan ubur-ubur yang dengan riang gembira mempermainkan kenyataan dengan cahayanya.
2024
Nuzul Ilmiawan, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireuen, 19 Oktober 2001.