Aku Ingin Menjadi Seekor Anjing
Pagi itu kepalaku dihantam pentungan, lalu tubuhku, lalu kakiku, aku merasakan ngilu di sekujur tubuhku.
Semenjak hari itu, aku selalu ingin menjadi seekor anjing. Aku selalu berangan-angan bagaimana bahagianya jika aku tak lagi menjadi manusia sial dan papa. Aku membayangkan betapa bahagianya bila aku dapat menjadi seekor anjing berbulu coklat keemasan, anjing-anjing yang dicintai walaupun tak bertuan.
***
Hari itu langit seperti sedang pilu. Warnanya abu-abu. Aku terduduk di undakan batu di sebuah taman. Sore itu taman tak seramai hari-hari yang lalu. Hari itu hanya sedikit saja orang yang berkunjung dan menghabiskan waktu sore mereka. Mungkin karena mendung taman jadi sedikit sepi. Aku terbiasa memperhatikan orang-orang yang berjalan-jalan menghabiskan waktu di taman itu, ia selalu berangan-angan atau membayangkan hidup seperti mereka. Aku terus mengedarkan pandangannya mengamati suasana taman yang telah cukup lama jadi tempat tinggalku.
Pada satu titik Aku melihat ada seekor anjing buduk berbulu coklat keemasan, bulunya tak indah, tipis saja dan botak di sana-sini, ia meringkuk di pojokan taman tak jauh dari tempatku duduk melipat kedua kaki yang ku rapatkan ke dada. Keberadaan anjing itu membuatku bergidik, mengingatkanku pada nasibku sendiri. Aku dan anjing itu rasa-rasanya tak jauh beda, hidup dalam papa, sial dan lapar tentu saja. Keberadaan anjing buduk itu membuat perhatianku beralih dari orang-orang ke anjing-anjing, dan memang di taman itu banyak sekali orang yang mengajak anjing-anjing peliharaannya berjalan-jalan sore.
Sore itu memang ada beberapa ekor anjing di taman, ada seekor anjing kecil berlarian bersama bocah laki-laki. Aku mengedarkan pandangan dan mendapati seekor anjing lain dengan muka pesek digendong ibu-ibu yang nampak necis. Tak puas ku putar lagi kepalaku ini dan aku menemukan seekor anjing dengan tubuh penuh otot digeret-geret pemiliknya. Lalu aku kembali memalingkan pandangan kepada anjing buduk berbulu coklat itu.
Baca juga: Sebuah Janji di Bumi Lorosae
”Memang di dunia ini tak semuanya indah, selalu ada yang buruk rupa seperti kita,” gumamku kepada anjing itu. Anjing buduk itu tak menghiraukanku. Anjing itu tampak begitu lemah tak berdaya, hingga yang terdengar hanyalah hembusan napasnya yang patah-patah.
Tiba-tiba saja pandanganku berhenti pada sesosok gadis yang cantiknya tak ketulungan menghampiri anjing buduk yang meringkuk tak jauh dariku itu. Gadis itu berjalan bersama anjingnya yang memiliki bulu lebat. Tampak kulit gadis itu putih seperti cat tembok mushola, kehadiran gadis itu diiringi oleh wangi yang aduhai, belum pernahlah aku menyium aroma wangi seperti itu. Gadis itu menoleh sedikit kepadaku, tubuhku terasa tegang membeku, jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya, keringatku keluar sebesar butiran jagung. Gadis itu membuang pandangan kembali kepada anjing buduk itu, dan berjongkok menyodorkan butiran-butiran makanan dan tanpa ragu gadis itu mengelus kepala anjing buduk itu.
”Anjing!” gumamku pelan, tetapi tetap saja dengan jarak sedekat itu, gumamanku terdengar oleh gadis itu, gadis itu menolah sebentar, kami beradu tatap, sebelum pandangannya ia kembalikan kepada anjing buduk itu, ”Kau harus makan cantik,” seru gadis itu kepada si anjing buduk.
Setelahnya gadis itu berdiri dan meninggalkanku bersama dengan anjing yang kini membuatku iri, sebelum pergi gadis itu kembali melirikku dengan tajam, tatapannya menandakan perasaan jijik dan permusuhan.
***
Malam harinya perutku yang lapar berteriak-teriak minta diisi. Seharian ini aku tidak memasukkan apa-apa ke dalam perutku kecuali angin dan makian. Sebagian besar waktuku kuhabiskan untuk melamun dan memaki nasib yang tak lebih baik daripada seekor anjing. Kini aku hanya bisa terus mengutuki nasib dan tentu saja mengutuki anjing buduk sialan itu. Aku terus berjalan dengan langkah yang patah-patah, langkah yang gontai, lemas. Dan tiba-tiba saja hatiku terasa sakit, ia marah dan sedih sekaligus mengingat nasibku yang tak lebih baik dari anjing buduk di taman tadi.
Memang di dunia ini tak semuanya indah, selalu ada yang buruk rupa seperti kita.
Malam itu aku nyaris dua kali nyemplung dalam selokan dan itu membuat makian dan sumpah serapahku semakin panjang. Derita memang tak bisa dipilih, seperti hadiah lotre, datangnya selalu mengejutkan. Di tengah semua kesialan dan rasa sakit itu, gerimis mulai turun. Tak beberapa lama gerimis pun berubah menjadi hujan yang lebat.
”Ah, Anjing!” teriakku memaki sambil mendongakkan kepala ke atas melihat langit.
Tanpa memedulikan hujan yang turun, Aku terus melanjutkan jalanku. Mulanya aku hanya mencari tong-tong sampah yang menyisakan makanan, tetapi kini tugasku bertambah, aku harus mencari tempat untuk berteduh, aku menyusuri punggung jalan yang becek tak karuan. Akhirnya aku terhenti di sebuah halte bus yang dibangun pemerintah kota. Halte bus yang tak pernah berfungsi sejak selesai dibangun. Aku mulanya enggan untuk berteduh di halte tersebut.
”Jika aku ketiduran bisa mampus, anjing memang. Sekeras ini nasib sial menghajarku,” gumamku lagi mengutuki nasib sial. Pikiran itu tak sembarangan datang, karena memang jika aku sampai ketiduran, bisa-bisa aku dibangunkan oleh pentungan petugas Pol PP. Orang-orang seperti Aku dianggap mengganggu.
Dingin dan hujan memaksa aku untuk menyelonjorkan tubuh di halte sialan itu. Malam ini mau tak mau aku harus berjudi dengan nasib, dan tak peduli lagi dengan nasib buruk. Lagi pula perut yang lapar minta diisi membuat badan ini menjadi begitu lemah, lanjut berjalan bukanlah pilihan yang memungkinkan bagiku. Keputusan pun telah bulat, Aku berteduh di halte itu.
***
Ketika Aku meringkukkan tubuh di bawah atap halte bus bobrok itu, di seberang terlihat anjing buduk yang sore tadi berada di taman. Anjing itu meringkuk di bawah kardus, di depan sebuah toko kelontong, berteduh dari hujan.
Jika aku ketiduran bisa mampus, anjing memang. Sekeras ini nasib sial menghajarku.
”Hah Anjing, nasibmu tak bagus-bagus amat ternyata. Tapi tetap saja kau anjing bangsat!” maki aku lemah, nyaris berbisik seperti mengigau. Aku terus memperhatikan anjing itu, di sebrang, anjing terlihat terus berusaha melipat tubuhnya karena ujung atap toko kelontong itu tak mampu melindunginya dari hujan lebat yang digerakkan angin. Aku cukup puas melihat kesialan yang dialami anjing itu halte bus ini tak begitu buruk, paling tidak lebih baik dari tempat anjing itu berteduh. Aku tersenyum merasa nasibku sedikit lebih baik malam itu dibandingkan si anjing buduk. Aku masih tersenyum saat mataku mengatup dan mulai terlelap.
***
Nasib buruk memang tak dapat dipilih, seperti hadiah lotre. Pagi itu kepalaku dihantam pentungan, lalu tubuhku, lalu kakiku, aku merasakan ngilu di sekujur tubuhku.
Pukulan itu membangunkanku dari tidur yang tak seberapa nyenyak. Aku tak berteriak, aku mencoba mencerna apa yang terjadi sambil terus berusaha melindungi kepalaku yang terus coba di hantam oleh pentungan, aku melipat badanku melindungi perut. Aku kalah berjudi, nasib buruk masih setia padaku. Aku teringat kepada si anjing buduk disebrang, sambil sedikit menoleh ke seberang, aku tersenyum, yakin si anjing buduk menerima nasib yang sama, diusir oleh pemilik toko, ditendang dan dipukul oleh sapu.
Baca juga: Lelucon Musim Hujan
Nasib buruk memang tak dapat dipilih. Pemandangan di sebrang membuat hatiku kecut. Anjing itu tak bernasib buruk. Di sebrang anjing itu sedang digendong oleh seorang gadis. Yang lebih menyakitkan bagiku, anjing itu digendong oleh gadis gadis cantik yang sore kemarin sesaat mencuri hariku. Nyeri di hatiku membuat hantaman yang ku terima tidak terasa.
”Bangsat, aku ingin menjadi anjing itu,” gumam Aku.
”Ngomong apa kamu, heh! Kamu bilang anjing!” seru petugas yang berusaha mengusirku. Aku tak menjawab, aku diam. Aku sakit hati.
Jagad Wijaksono, Aktif di Komunitas Ngamparboekoe Cimahi. Menulis cerpen dan puisi, beberapa puisi terbit di media lokal dan termuat dalam antologi berjudul 3 Dermaga dan Bintang di Pulau Garam (Sastra Bunga Tunjung Biru, 2017)