Sebuah Janji di Bumi Lorosae
Jiwa dan pikiran masih tertinggal di Bumi Lorosae, tertambat pada penantian Natalia yang entah ada di mana.
“Nona, aku lama mencarimu untuk meminta maaf. Tapi tak pernah aku temukan kamu, bahkan jika itu hanya dalam bayangan.”
Semburat warna jingga menghujani langit. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, memeluk pertiwi di ufuk barat sana, tempat peraduannya. Matahari selalu setia untuk terbenam sejenak, sebelum akhirnya ia kembali terbit. Matahari itu begitu setia, tidak seperti janjiku padamu.
”Saya dengar, dia setia, seperti senja yang selalu kembali,” bisik Perwira Andi kala ia datang mengabarkan wanita yang kucari telah ditemukan.
Puluhan tahun lalu, saat rambutku belum beruban sepenuhnya, aku adalah seorang abdi negara. Saat bertugas di daerah konflik Timor Timur, aku berkenalan dengan Natalia, gadis di wilayah pengungsian.
Saban hari aku bertemu Natalia. Kami mengobrol banyak hal di depan tenda yang teduh oleh pohon jambu mete.
”Benar kita akan menikah bukan?” tanyanya polos padaku. Aku mengangguk memastikan. ”Saya akan datang melamar di hadapan tuak*, dengan membawa seikat bunga sepatu segar sebagaimana yang tumbuh di halaman rumah Nona dulu.”
Baca juga : Lelucon Musim Hujan
Natalia tersenyum mendengarnya. Mata gadis itu kemudian menyapu lapangan pengungsian yang kering dan tandus. ”Pertikaian ini, telah merenggut ama* dan ina* saya. Jadi, saya hanya pegang Anda punya janji.” Natalia menggigit bibir bawah, ”Saya harap itu tidak ingkar.”
Aku mengerti, pertikaian ini pasti berat untuknya. Tidak ada yang diuntungkan dalam perang. Korbannya pasti selalu rakyat kecil. Entah mengapa dan bagaimana, bisa-bisanya cinta tumbuh di relung hati kami, yang bahkan jelas-jelas Natalia tahu bahwa kamilah yang menjadi penyebab orang tuanya berpulang.
Pertikaian membuat ada begitu banyak peluru nyasar yang tidak pandang bulu merampas nyawa-nyawa dengan keji. Tak tahu siapa pelakunya dan pelaku pun mungkin tak tau siapa saja korbannya. Tapi apakah cinta bisa memilih?
Langit tampak bergulung-gulung mendung. Sore itu mendadak jadi gelap gulita. Beberapa kali guntur dan petir menyambar bersahut-sahutan, menghadirkan teriakan kecil Natalia yang kaget.
”Masuk saja kita!” ajaknya sembari menarik lenganku ke dalam gubuk. Aku menurut. Tetes-tetes hujan memang telah sampai ke emperan gubuk tempat kami duduk. Membasahi sedikit baju kami yang telanjur terlambat mengantisipasi datangnya rembesan air yang berangin.
Aku adalah laki-laki baik, Natalia juga adalah gadis baik-baik. Namun, benar kata orang, jika sepasang pria dan wanita dewasa berada dalam satu ruangan, orang ketiganya adalah setan.
Setan apa yang merasuki kami sehingga perasaan hangat yang timbul di hati masing-masing bisa membuat laki-laki baik dan gadis baik melakukan hal tak baik?
Natalia memelukku hangat dan kembali mempertanyakan, ”Tuan, apa benar kita menikah nanti?” Aku mengangguk, ”Tidak mungkin saya ingkar. Saya dan Nona sudah melakukan ini. Saya pasti akan bertanggung jawab,” sahutku sembari mengecup keningnya dan kami pun kembali berpelukan saling menghangatkan diri. ”Saya akan setia menunggu lamaran itu datang.”
Namun, rencana memang tinggal rencana. Konflik berakhir sebelum aku sempat memenuhi janji melamar Natalia. Pemerintah dengan cepat menarik kembali pasukannya ke Tanah Air. Tidak menyisakan waktu untuk kami berpamitan.
Mobil-mobil berisi pasukan tentara Indonesia meninggalkan Timor Timur, diiringi sorak-sorai penduduk yang merasa telah memerdekakan diri dari ‘jajahan’ kami.
Tanpa aku tahu, Natalia berlari menerobos kerumuman warga, berdesakan mengejar kepergianku yang bahkan ia tidak tahu aku berada di dalam kendaraan yang mana.
Tidak mungkin saya ingkar. Saya dan Nona sudah melakukan ini. Saya pasti akan bertanggung jawab.
Ragaku terbang kembali pada Ibu Pertiwi, tanah tumpah kelahiranku dan para leluhur. Namun, jiwa dan pikiran masih tertinggal di Bumi Lorosae, tertambat pada penantian Natalia yang entah ada di mana.
”Wilayah itu sedang tidak bersahabat dengan Indonesia. Jika nekat pergi ke sana, bisa-bisa kamu mati terbunuh tanpa sempat menghunuskan senjata.” Bapak mencegahku yang hendak pergi mencari tahu keberadaan Natalia. ”Lagi pula, bagaimana dengan tugasmu di sini? Apakah kau akan mengkhianati sumpah setiamu sebagai seorang abdi negeri? Lupakan gadis itu, Bima!”
Berhari-hari ucapan bapak merongrong pikiran. Sungguh aku tidak bisa memutuskan dengan benar apa yang harus dilakukan. Aku memilih bertahun-tahun hidup sebagai pecundang yang penuh penyesalan. Hingga akhirnya bapak memaksaku untuk menerima pernikahan dengan Ambarwati, anak perempuan satu-satunya Sersan Mayor Aditya.
Kami menikah dan memiliki anak-anak yang lucu. Tapi saban hari masih saja terbesit dalam pikiranku, mempertanyakan kabar Natalia di sana.
Tahun-tahun berlalu, entah sudah berapa kali bunga flamboyan berguguran dan merangas lagi, tak sebait pun kabar aku dapatkan tentang gadis di Bumi Lorosae itu. Natalia lenyap, membawa separuh cinta dan kenanganku tentangnya.
Suatu senja, sebuket bunga terangsur di hadapanku. Bunga segar itu diberikan instansi sebagai bentuk penghormatan bahwa aku telah purnatugas.
Otot-otot yang sudah menyusut serta memutihnya setiap helai rambut, cukup membuktikan bahwa aku sudah tidak berhak lagi mengemban tugas. Tunas-tunas baru akan menggantikan posisiku. Hanya saja, satu hal yang tidak pernah terganti, yakni perasaanku pada Natalia.
Malam itu Perwira Andi yang tengah menjalankan tugas di perbatasan NTT-Timor Leste menghubungi gawaiku. Ia dengan yakin mengatakan bahwa telah mendapatkan informasi tentang Natalia dari penduduk di sekitar wilayah perbatasan.
Perwira Andi berjanji akan mengantarku ke sana, melihat bagaimana gadis itu bertumbuh menjadi tua tanpa aku di sisinya.
Aku berpamitan pada istri yang tak pernah aku cintai. Ia melepasku hanya dengan senyuman ketir.
”Aku akan tetap pulang padamu, ke rumah ini,” ujarku, mengecup keningnya kemudian melambai dengan memanggul tas rensel. Ambarwati, istriku menatap mobil yang aku tumpangi, kemudian masuk kembali ke dalam rumah tanpa mengatakan apa pun.
Baca juga: Sarang Semut
Ambarwati adalah wanita yang tak pernah banyak bicara. Mungkin ia menelan sendiri segala kepahitan dan rasa cemburunya dalam-dalam atau mungkin saja ia tidak pernah mencintaiku.
Namun, meski begitu, ia membesarkan anak-anak kami dengan baik. Ia mengerti bagaimana kesibukanku sebagai abdi negara, yang membuatku jarang menampakkan wajah di rumah.
Mobil yang kutumpangi menerobos perbatasan negeri. Tentu saja aku bukan orang spesial sehingga untuk masuk ke daerah sana, aku membutuhkan paspor.
Tanah-tanah perbatasan masih tandus seperti puluhan tahun saat pertama kali kakiku memijakinya.
Hanya di banding dulu, wilayah ini tampak lebih aman dan kondusif untuk dikunjungi. Tidak ada suara peluru maupun manusia yang meregang nyawa dengan berdarah-darah di jalanan.
Mobil sampai ke sebuah bukit yang menghijau. ”Senior, wanita yang Anda cari, berada tepat di bawah pohon jambu mete.” Perwira Andi menunjuk ke satu arah yang nyaris tak terlihat oleh mata rabunku.
Lambat laun, pandanganku tertuju pada sebuah sosok wanita di bawah pohon jambu mete yang rindang. Di sebelahnya ia menggandeng laki-laki kurus berambut keriting.
Mobil berhenti sejajar dengan pohon itu, berjarak kurang lebih beberapa puluh meter. ”Tunggulah di sini! Aku akan menemui dia seorang diri.” Perwira Andi mengerutkan kening. Belum sempat ia menyahut, aku sudah keburu turun dan membanting pintu mobil dengan tergesa-gesa.
”Anda terlambat, sangat-sangat terlambat.” Sapa wanita itu dengan senyum datar.
”Maafkan saya Nona, ada banyak hal terjadi di luar rencana saya.” Aku menunduk dengan raut penuh penyesalan.
”Saya menjalani hari-hari yang berat sepeninggalan Anda. Hamil tapi tiada calon suami membuat penduduk mengutuk lalu mengusir kami.” Aku benar-benar terkesiap hingga mata membulat.
”Sungguh?! Nona hamil?”
Natalia mengelus punggung lelaki di sebelahnya, ”Nak, inilah ama yang seumur hidup selalu kau pertanyakan.” Anak kecil itu tersenyum, kemudian meraih tanganku lalu menciumnya. Dingin.
”Maukah ama beristirahat di sini? Tempat ini begitu sejuk dan tenang.” Anak itu menunjuk tepat di bawah pohon jambu mete yang teduh. ”Ama terlihat lelah. Mungkin karena perjalanannya panjang,” lanjutnya sembari menggandeng tangan kananku.
”Senior!” Dari kejauhan terdengar suara Perwira Andi yang berlari menyusul dengan napas tersengal-sengal. Anak kecil itu melepas gandengan tangannya, membiarkanku menoleh ke sumber suara.
Nak, inilah ama yang seumur hidup selalu kau pertanyakan.
”Saya membawa Anda ke tempat peristirahatan wanita yang Anda cari. Inilah makamnya.” Perwira Andi menunjuk sebuah gundukan yang nyaris rata dengan tanah. Di ujungnya bertengger batu nisan yang terukir pudar.
Aku berpaling pada dua sosok yang sedari tadi kuajak bicara. Namun, rupa-rupanya sedari tadi aku hanya sendirian.
”Nak, mungkin ama juga butuh beristirahat. Dunia ini benar-benar melelahkan. Apalagi aku sendiri pun sudah tua. Tapi tentu tidak bisa sekarang, karena ama janji pulang pada Ambarwati.”
Bali, 7 Maret 2024
Catatan :
Tuak: Paman
Ama: Ayah
Ina: Ibu
Ni Wayan Wijayanti, lahir dan besar di Kota Seni Gianyar-Bali. Menulis cerpen adalah hobinya sejak masih anak-anak. Cerpen karya-karyanya telah beberapa kali dimuat di berbagai media seperti Kompas, Ceritanet, Indonesiana.Id, Cerano, dan lain-lain. Saat ini aktif sebagai seorang SEO Content Writer untuk beberapa media, dan sales marketing di salah satu penginapan wilayah Ubud.