Sophia
Teh dan gelas ini selalu membantuku menemukan diriku sendiri, Bas. Aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri.
Rasanya aku mulai bisa merasakan awan gelap yang menjalar pelan di kepala Santiago, nelayan tua yang dihidupkan Ernest Hemingway dalam novel The Old Man and The Sea. Laki-laki itu menggantungkan hidupnya dari samudra seperti juga aku yang menggantungkan kebahagiaanku sepenuh-penuhnya pada Sophia.
Seperti juga Santiago yang bahkan hingga hari ke-84 tak berhasil menangkap seekor ikan pun di lautan, aku juga dengan sia-sia telah membuang ratusan hariku mencari bibir merah dan pelukan Sophia, namun selalu berakhir dengan repetisi malam penuh igauan dan hidup yang terus berjalan. Hidup yang tentu saja tanpa Sophia.
---
Sinar matahari yang tumpah di jendela kamar berdebu mengguyur wajahku tanpa ampun seperti air kamar mandi yang dingin. Bedanya, sinar itu terasa panas atau mungkin juga sebenarnya hangat saja, namun ah siapa yang peduli.
Aku tidak suka dingin dan aku juga tidak suka panas. Aku tidak suka mandi pagi dan aku juga tidak suka sinar matahari. Baiklah, yang sebenarnya terjadi adalah aku tidak peduli pada keduanya atau lebih tepat lagi aku sudah tidak peduli pada apa saja. Bahkan pada hidupku dan keberlangsungan dunia ini.
Sialan!
Aku mengumpat keras-keras entah pada siapa dan baru kusadari umpatanku itu menyebabkan seorang laki-laki di hadapanku mengerutkan alisnya.
Demi Tuhan, kehadiran laki-laki berwajah kusut itu membuatku merasa ketakutan sesaat. Kenapa dia tiba-tiba ada di depanku?
Laki-laki dengan pipinya yang bagai ceruk tersebut memandangku tajam, membuatku seperti tersengat saat menatapnya. Entah kenapa wajah laki-laki itu seakan mampu memanggil segala kenangan buruk dari masa lalu. Mereka semua datang berhamburan seperti juga sinar matahari yang begitu kurang ajar pagi ini.
Sial! Sial! Sial!
Kali ini umpatan-umpatan itu hanya kupendam dalam hati. Aku tidak ingin berurusan dengan laki-laki itu dan aku yakin tak ada seorang pun ingin berurusan dengannya.
Apakah aku sudah gila?
Apakah aku berada di rumah sakit jiwa?
Tidak.
Kutarik napas dalam-dalam sekaligus menyadari bahwa aku masih berada di kamarku yang hangat. Bukan, kamar ini sebenarnya adakah kamar tempat aku dan Sophia biasa bercinta.
Laki-laki itu bergeming. Rupanya dia tak terpengaruh pada sikapku. Namun, entah kenapa matanya yang merah itu terus saja memandangku lekat, sementara bibirnya yang menghitam dengan rambut-rambut halus yang telah berubah menjadi semak di wajahnya itu membuatku risi sekali. Bagaimana caraku mengusir laki-laki itu?
Aku melontarkan tatapan jijik padanya dan sungguh sial karena dia justru melontarkan tatapan yang jauh lebih menghina padaku.
Pandangan meremehkannya tersebut kuakui sungguh-sungguh mengintimidasi. Tatapannya itu dengan berani mempertanyakan segala keputusan bodohku.
Bodoh?
Aku melotot padanya karena berani-beraninya laki-laki menjijikkan itu menilaiku bodoh. Tidak pernah ada seorang manusia pun di dunia ini yang berani menyebutku bodoh kecuali perempuan pujaanku itu.
Aku mengerang panjang karena wajah Sophia tiba-tiba muncul dalam ingatanku. Perempuan yang bentuk hidungnya sempurna; yang mata lebar indahnya hanya mengenal musim semi dan musim gugur; yang suara dan tawa lepasnya selalu membuatku hanyut; yang lekukan tubuhnya selalu membuatku menggigil di musim panas; yang pelukan dan ciumannya selalu membuatku merasa sangat spiritual tiap kali kami bercinta dalam gairah yang meluap-luap; yang bibirnya selalu membuatku candu dan hilang nalar, dan oh sialan.… Aku bisa gila setiap kali mengingat segala hal tentang dirinya.
Namun, aku tahu, semakin besar keinginanku memiliki Sophia, maka semakin mirip diriku ini dengan Santiago tua yang kelaparan di tengah lautan atau orang buta yang sedang berjalan di pagi hari yang cerah. Mimpiku saja tak pernah mampu menjangkau perempuan itu, satu kali pun tak pernah, kecuali mimpi semalam.
Tadi malam, entah bagaimana, aku tak tahu, namun yang jelas Tuhan sedang sangat baik hati sehingga mengirim Sophia yang cantik itu dalam simulasi kematianku.
Tadi malam, entah bagaimana, aku tak tahu, namun yang jelas Tuhan sedang sangat baik hati sehingga mengirim Sophia yang cantik itu dalam simulasi kematianku. Sophia benar-benar datang (entah dia rela atau tidak) menemani tidur nyenyakku sejak langit gelap hingga berubah perlahan menjadi terang-benderang seperti sekarang.
Kurasa, aku bahkan masih bisa merasakan hangat bibir merah Sophia yang kukulum itu sebelum kemudian melihat dengan penuh kesakitan sorot matanya yang membuatku kelu. Sorot mata sama saat dia meninggalkanku di sebuah pagi dengan sinar matahari yang sedang tumpah seperti pagi ini. Sorot mata sendu yang sungguh kontras dengan sinar matahari yang membuat wajahnya berkilauan saat itu.
Sophia duduk diam, menungguku yang tidur sambil melamun. Sudah berapa lama dia duduk di dekat jendela itu? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Pagi itu, seharusnya kami berdua akan menghabiskan waktu bersama, namun entah kenapa Sophia justru duduk di dekat jendela kamar bersama koper abu-abu di depannya. Perempuan itu bersiap pergi tanpa diriku.
Hari itu, kami berencana menghabiskan waktu di pasar seni Tamansari, pasar kerajinan seniman lokal dan aksesori handmade kesukaan Sophia.
Pasar seni yang hanya ada di hari Jumat itu lokasinya berdekatan dengan kafe buku favoritnya di Jogja. Kali terakhir kami ke sana, Sophia terlihat sangat gembira. Momen paling gembira yang akan selalu kuingat di sepanjang sisa hidupku.
Di kafe kopi-buku itu Sophia tak henti-hentinya berbicara, menunjukkanku beberapa buku favoritnya, menceritakannya sekilas, dan kemudian memilih beberapa buku lain yang hendak dia beli. Pandangannya lalu tertambat agak lama di buku bersampul wajah Simone de Beauvouir.
”Kuharap aku memiliki sedikit keberanian dari wanita ini, Baskara. Relasi cinta yang terbuka, kesetiaan, Sartre yang Don Juan (ah ya, yang ini aku sudah punya. Ya! Kamu itu Baskara), cinta yang bebas, dan udara Paris,” Sophia meringis.
”Ah, ingin rasanya aku membaca semua buku di sini,” tambah gadis itu lagi dengan mata musim seminya yang berbinar padaku.
Yang membuatku geli, gadis ekspresif itu tiba-tiba tertawa kegirangan sambil melompat-lompat seperti anak kecil sewaktu aku mengambil beberapa buku lain, membawa semua buku itu ke meja kasir, membayar semuanya, dan lalu menyerahkan plastik penuh buku kepada dirinya.
Baca juga: Ada dalam Ketiadaan
Setelah mencuri bibirku dengan wajah jahilnya hingga menyisakan warna merah di ujung bibirku, gadis itu kemudian cepat-cepat mencari tempat duduk sambil merobek plastik sampul bukunya satu per satu dengan wajah tak sabar.
Aku tahu dia sangat gembira sampai tak berminat mengajakku bercakap-cakap lagi. Pikirannya tersedot pada buku-buku barunya — seperti biasanya.
Ah Sophia. Dia begitu cantik pada pagi menjelang siang itu dengan sepasang anting panjang berhias bulu hijau kecil dan bandana cokelat yang menghias rambut merahnya. Terkadang gadis itu mampu menyihirku hingga tak ada yang bisa kulakukan selain mematung seperti juga yang kulakukan di pagi bangsat itu — pagi saat dia meninggalkanku.
”Ini takdir Baskara,” begitu kata Sophia tiba-tiba dengan wajah yang berkilauan terkena sinar matahari. ”Semua hal di dunia memang bisa kita rencanakan, namun seperti yang kaum Stoik percayai, ada satu hal yang memang berada di luar kendali kita, namanya takdir Bas, indifferent, pengecualian, netral, tak terpengaruh apa pun. Dan kita berdua tahu persis bahwa kita tidak pernah menjadi takdir.”
”Masa bodoh dengan takdir, Soph. Aku hanya ingin denganmu.”
Kugebrak meja untuk pertama kali di depannya hingga membuat gadis itu pada akhirnya menutup mulutnya. Mata musim gugurnya memandangku dengan tatapan kecewa, sementara wajahnya berubah menjadi mendung tebal.
Sophia tiba-tiba menjadi begitu gelap dan sunyi, tak mau berkata-kata lagi. Kali ini dia membisu bukan karena buku, namun karena diriku yang marah karena dia tak memenuhi keinginanku.
”Apakah kau ingin menjadi orang suci, Soph? Hah, padahal kau tahu sendiri kalau bukan orang suci, menyentuh sedikit pun tidak!” ejekku pada gadis itu. Kata-kata kesakitanku telah tumpah dan aku yakin telah mengoyaknya.
Tak ada satu pun kata yang terucap dari bibir Sophia sampai kemudian dia menyeka air matanya dan kemudian menyeret kopernya keluar kamar, meninggalkanku yang penuh kemarahan di kamar sendirian.
”Sial!” aku mengumpat kesal tanpa bisa kutahan ketika punggung Sophia benar-benar menghilang dari pandangan seperti juga mimpiku semalam. Umpatan kerasku itu membuat laki-laki di depanku menjadi tak sabar hingga akhirnya dia membalasku dengan umpatan susulan yang jauh lebih keras, membuatku terlonjak saking kerasnya.
Laki-laki di depanku itu tersenyum mengejek, persis seperti ejekanku pada Sophia pagi itu. Aku memandangnya tajam dan baru menyadari bahwa di tangannya ada gelas abu-abu milik Sophia.
Baca juga: Sepasang Mata di Ujung Pena Seorang Jurnalis
Bangsat! Berani-beraninya laki-laki itu menggunakan gelas teh Sophia, diisi dengan kopi pula. Benar-benar laki-laki gila! Bagaimana caraku mengusir orang gila ini dari kamarku tanpa membahayakan diriku?
Aku menatap gelas Sophia di tangan laki-laki itu dengan pandangan tak percaya sebelum kemudian hatiku berdesir perlahan saat sebuah kesadaran muncul tiba-tiba.
Bagaimana Sophia bisa melewatkan paginya tanpa gelas itu?
Dia tak sadar telah meninggalkan gelas kesayangannya. Padahal, sepanjang ingatanku, Sophia dengan gelas abu-abu berisi teh hangat di pagi hari bukanlah entitas berbeda. Mereka tak bisa dipisahkan seperti juga aku dengan kopi yang kata Sophia adalah makhluk yang sama: sama-sama tak sabaran, sama-sama instan, dan sama-sama selalu terburu-buru.
”Teh dan gelas ini selalu membantuku menemukan diriku sendiri, Bas. Aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri. Hanya dia yang aku punya di dunia ini, satu-satunya yang setia,” begitu kata Sophia selalu padaku sambil menghirup dalam-dalam uap teh panas yang menguar di depannya.
”Apakah itu termasuk ketika kau memutuskan mencintaiku?” balasku menggoda gadis itu.
”Tentu saja Baskara Mahendra. Itu termasuk saat aku memutuskan mencintai bapak beranak tiga seperti dirimu,” balasnya tergelak sambil mengusap ponselnya yang dipenuhi pesan dariku lalu menunjukkan entah berapa ratus pesanku yang masuk tanpa balasan memadai darinya.
”Untung saja ponselku ini tak meledak gara-gara banjir pesan dan rintihanmu,” tambah Sophia lagi. Tawa lepasnya membuatku terpaku seperti biasanya.
”Jadi kenapa akhirnya kau menanggapiku?” tanyaku mulai serius setelah tawanya mereda.
”Konyol sekali pertanyaanmu. Itu jelas karena aku menyukaimu Baskara. Aku hanya ingin jujur pada diriku dan juga pada dirimu. Baskara sayang, dalam hidup ini aku selalu ingin berbuat baik dan juga sesekali berbuat tidak baik. Aku hanya ingin melakukan keduanya dengan sungguh-sungguh, dengan sangat serius. Aku ini manusia kan Bas: kepalaku dan tubuhku adalah rumah, bukan kuil suci,” kata gadis itu sambil meneguk teh hangatnya pelan-pelan, sementara aku meneguk dengan cepat kopi di depanku hingga tandas sebelum kemudian memeluk Sophiaku dengan sangat erat.
”Jika kau mencintaiku Soph, sudah seharusnya kau gugurkan kandunganmu ini. Oh, ayolah Sophia. Jangan bertindak bodoh. Kau tak bisa membahayakan kita berdua hanya demi janin yang belum kita kenal ini,” tukasku entah untuk yang keberapa kalinya di antara perut Sophia yang semakin hari semakin kelihatan menyembul di balik bajunya.
Sophia memandangku tajam, bukan dengan mata musim semi dan juga bukan dengan mata musim gugurnya. Sungguh dia tak pernah memandangku dengan musim entah apa itu: pandangan yang sangat jauh, sangat sunyi, sangat dalam, dan sangat gelap sebelum kemudian gadis itu menutup pintu kamar kami rapat-rapat tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Gadis itu akhirnya benar-benar pergi meninggalkanku sendirian.
”Oh sial…,” aku berteriak ngilu di antara bayangan perempuan cantik yang makin lama makin menjauh dari diriku itu.
”Demi Tuhan, pulanglah Sophia! Dan, oh brengsek.” Tanpa bisa kukendalikan pada akhirnya kulayangkan sebuah pukulan pada laki-laki di depanku yang wajahnya terasa semakin menyebalkan itu.
Entah kenapa wajah laki-laki itu makin mirip dengan diriku, laki-laki tua yang bukan hanya bodoh, namun juga tolol. Sebuah pukulan paling keras yang pernah kuberikan pada seseorang mendarat tepat di kepalanya hingga membuat wajah laki-laki itu pecah sempurna di antara tanganku yang penuh luka karena tertusuk kepingan cermin Sophia.
Jurnalis Solopos Media Group dan pengajar Bahasa Indonesia di UIN RM Mas Said. Cerpennya telah dipublikasikan di berbagai media massa. Penulis bisa diajak ngobrol di Instagram @ayuprawitasari.