Sepasang Mata di Ujung Pena Seorang Jurnalis
Dalam berita itu, telah mencemarkan nama baik seorang pejabat, yang akhirnya berbuntut penangkapan Randu.
Tetap saja kurasakan seperti puing-puing kekalahan setelah ketukan palu hakim, yang menyatakan bebas tanpa syarat. Dalam benakku, bebas bukan lagi makna utuh untuk memerdekakan diri. Betapa begitu melekat di ingatanku, seumur-umur dalam hidupku, tatkala mobil polisi datang menjemputku. Langit terasa hitam, sebab rasanya keadilan telah menuju pada sebuah kematian.
Tetangga memang tidak ada yang salah meskipun tatapan mereka semua terasa sinis. Dan mereka tidak mau tahu, kenapa aku harus dijemput paksa oleh mobil polisi. Aku ingin berteriak keras, ”Apa salahku.” Rasanya hanya sia-sia. Tidak ada alibi untuk pembenaran diri, sebab semua menjadi hukum rimba.
”Nanti di kantor kami jelaskan. Kami hanya menjalankan perintah,” jawab seseorang yang berpakaian dinas.
Aku berjalan gontai meninggalkan ruang sidang. Langkahku seakan bukanlah langkah kemenangan. Di luar sana, ketika aku berjalan pulang, apakah tatapan mata orang-orang yang memandangku tak lagi sinis? Tetapi tidak ada pilihan, aku harus pulang ke rumah.
Tidak perlu menyalahkan tetangga, apakah ada yang empati atau malah membenci dengan alasan yang tidak jelas. Ini memang sebuah hukum alam yang kadang berubah menjadi hukum rimba. Dan terkadang kita harus menjadi singa sebelum diterkam mangsa. Seorang berprofesi jurnalis memang punya risiko menghadapi tuntutan hukum.
Baca juga: Bayi dan Bangau
Di benak Randu, bagaimanapun kebenaran pasti terbukti, cepat atau lambat, meski terkadang harus diterima dengan rasa pahit. Seperti sebuah filosofi kopi, sesaat Randu merenungkan. Kopi selalu jujur, tidak pernah berpura-pura menjadi manis. Kecuali gula yang mengubah rasanya.
Kesaksian Arsy, rekan satu tim Randu, ketika meliput berita di lapangan, dengan menyodorkan alat bukti yang asli, telah memperkuat putusan pengadilan untuk membebaskan Randu dari ancaman pidana. Tetapi, bagaimanapun juga, Randu telah merasakan siksaan batin saat ia harus mendekam dalam sel tahanan sebagai tahanan titipan, sebelum ada putusan pengadilan. Berita yang telanjur dimuat sudah direvisi oleh pihak ketiga saat proses angkat cetak.
Dalam berita itu, telah mencemarkan nama baik seorang pejabat, yang akhirnya berbuntut penangkapan Randu. Pastinya pihak manajemen media juga merasa sangat dirugikan oleh pemberitaan tersebut. Dan Randu langsung menerima surat peringatan, yang ancamannya pemutusan kontrak kerja. Hingga akhirnya pemberitaan itu kembali diralat, setelah keputusan pengadilan.
Arsy memapak Randu di pintu keluar, ia langsung berjalan menjejeri di samping Randu.
Nanti di kantor kami jelaskan. Kami hanya menjalankan perintah.
Belum juga mereka mengobrol, terdengar seseorang memanggil Randu. Sepertinya dari dalam ruang sidang. Randu pun menoleh. Seorang petugas yang berpakaian seragam, mungkin pegawai pengadilan, melambaikan tangannya kepada Randu.
”Pak Randu….” Bukankah seharusnya petugas itu yang datang menghampiri Randu?
Begitu konyol, umpat Randu dalam hatinya. Tapi tetap saja, Randu seperti seorang pesakitan yang selalu kalah. Randu hanya menelan ludah yang seakan-akan tersekat di tenggorokannya.
Ketika Randu menghampiri petugas tersebut, masih ada urusan administrasi yang harus diselesaikan. Randu harus menandatangani berkas sidang. Ini memang hal paling konyol, sejak Randu menjadi jurnalis. Kenapa berita yang dibuatnya tiba-tiba redaksinya berubah?
Dengan kesaksian Arsy di ruang sidang, telah membuktikan bahwa Arsy tetap bersikap profesional. Dan selama Randu dan Arsy menjadi satu tim dalam meliput berita di lapangan, baru kali ini hal yang sangat pahit harus dialami Randu. Lantas, siapa yang mengubah naskah berita mereka? Pasti ada motif terselubung yang dilakukan oleh pelaku.
Baca juga: Rahasia Teh Hangat Warung Mang Aman
Randu menatap wajah Arsy, kenapa tiba-tiba saja paras wajahnya kelihatan tegang dan tampak gelisah yang tidak seperti biasanya.
”Ada apa Arsy?” tanya Randu pelan.
Arsy hanya diam, bungkam seribu bahasa. Randu tidak ingin mendesak dengan berbagai pertanyaan. Diamnya Arsy telah menyiratkan masalah yang dihadapinya berat dan agak privasi. Randu sangat memahami hal-hal seperti itu, yang sering terjadi pada kaum wanita. Di sudut mata Arsy, butiran air bening mulai mengalir.
Situasi hening, masing-masing hanyut dalam pikirannya sendiri. Randu sendiri masih mereka-reka tentang kasus yang baru dialaminya. Pikirannya berkecamuk liar, apa motif di balik ini semua? Randu melenguh panjang, napasnya terasa begitu berat. Randu tidak habis pikir, kenapa Dipta sampai mengubah naskah berita tatkala Arsy menyelesaikan kurasi naskah di rumahnya sebelum dikirim?
Dipta yang juga berkecimpung di dunia penulisan adalah suami Arsy. Tanpa sepengetahuan Arsy, ia telah mengubah isi naskah sebelum Arsy kirim untuk diterbitkan.
Namun, Dipta lupa bahwa Arsy juga menyimpan file asli di flashdisk. Konon, sebulan terakhir kondisi rumah tangga Dipta dan Arsy lagi sering konflik. Randu tidak ingin mencampuri urusan pribadi Arsy. Ia bekerja satu tim dengan Arsy secara profesional.
Baca juga: A Kim dan Paman Bong Sin Bu
Sinar matahari terasa begitu menyengat. Orang-orang yang menatapnya seakan berharap sinar itu akan menjadi isyarat baik untuk memperoleh rezeki. Hidup memang adalah sebuah perjalanan, tidak untuk menunda kekalahan. Cuma yang membuat Randu heran, kenapa Dipta tega melakukan hal tersebut, padahal dulunya mereka sama-sama berjuang sebagai penulis lepas, dan akhirnya Randu ganti profesi sebagai jurnalis.
Randu memang tidak begitu terkenal di dunia jurnalistik dan tidak populer seperti Piers Morgan, seorang jurnalis Inggris yang menjadi penyunting berita Amerika Serikat bagi situs Daily Mail. Tapi Randu banyak terinspirasi dari cara kerja Piers Morgan. Hanyalah nasib yang membuat keberuntungannya berbeda. Sementara Arsy menjadi mata pisau dalam penyajian berita dan saling melengkapi.
Mungkin karena tekanan psikologis yang dialami Randu, hingga beberapa hari ini, ia menghindar dan tidak bertemu Arsy. Kebetulan Randu juga kena skors satu minggu dari perusahaan. Ia memutuskan untuk pulang kampung, sekadar menenangkan pikirannya. Bumi dan langit seakan menjepit pikirannya.
Baru tiga hari di kampung, Randu sudah dihubungi Arsy. Bukankah Arsy mengerti, Randu minta cuti seminggu? Berkali-kali ponsel Randu berdering, tetapi Randu sengaja tidak mengangkatnya. Ia tidak ingin bayangan Arsy terus melintas dalam pikirannya. Randu tidak ingin terlibat jauh dalam urusan pribadi Arsy. Bahkan Randu berniat mengajukan pindah kantor cabang setelah cutinya selesai.
Karena Randu tidak mengangkat telepon Arsy, hingga tidak ada cara lain bagi Arsy selain mengirim pesan pribadi lewat Whatsapp.
Baca juga: Agustinus
”Tolong segera balik ke Jakarta. Aku sangat membutuhkan bantuanmu. Aku sedang dalam masalah berat.”
Randu membaca pesan singkat Arsy. Hanya saja, Randu tidak membalasnya. Pikiran Randu berkecamuk. Jika ia berdiam diri, itu sama halnya dengan menunda sebuah kekalahan. Setiap masalah harus dihadapi, bukan untuk dihindari. Tanpa berpikir panjang lagi, Randu segera berkemas dan balik ke Jakarta.
Tatkala Randu berpamitan kepada ibunya, orangtua yang tinggal semata wayang, ada butiran air bening mengalir di sudut mata ibunya.
”Kenapa kamu keburu balik ke Jakarta? Bukankah kamu mau tinggal di sini seminggu?”
Kata-kata ibunya seakan menyayat hatinya. Bertahun-tahun Randu meninggalkan ibunya.
Meski setiap bulan Randu mengirim uang kepada ibunya, tentu itu tidak bisa menggantikan rasa rindu seorang ibu terhadap anaknya.
”Ada masalah penting yang harus segera aku selesaikan di Jakarta, Bu.” Randu mencoba menenangkan hati ibunya.
Randu memacu mobilnya menuju Jakarta. Kecepatan mobil itu seakan berlari mengejar angin. Dadanya bergemuruh, antara perasaan rindu dan dendam. Kerinduan bersama ibunya belum tuntas. Randu tak mampu lagi membedakan, antara dendam, jengkel, dan benci kepada Dipta. Randu begitu yakin, persoalan yang dihadapi Arsy pasti karena ulah Dipta. Bukankah Arsy bukan siapa-siapa, hanya teman satu tim. Entahlah!
Tolong segera balik ke Jakarta. Aku sangat membutuhkan bantuanmu. Aku sedang dalam masalah berat.
”Sedang dalam perjalanan balik ke Jakarta.” Itu ucapan Randu kepada Arsy tatkala dihubungi berkali-kali. Setelah itu terdengar suara benturan keras dari ponsel Arsy yang masih menempel di telinganya.
”Braaakk….” Spontan Arsy berteriak di ponselnya.
”Randu…. Randu….” Tidak ada jawaban sama sekali.
Langit seakan runtuh dan menindih kepala Arsy. Pikirannya berkecamuk, kalut, cemas, bercampur jadi satu. Tatapannya nanar, serasa semuanya menjadi gelap dan hitam. Setengah sadar, Arsy merasakan pasti ada sesuatu yang terjadi pada diri Randu. Arsy pun jatuh pingsan. Semua menjadi hening, bahkan embusan angin pun tidak terdengar.
Hampir satu jam, Arsy baru siuman. Kepalanya terasa berat dan pusing. Diraihnya ponselnya, Arsy heran ada beberapa kali panggilan tidak terjawab dari nomor Randu. Arsy segera menghubungi ulang. Suara di seberang sana bukan Randu, sesaat Arsy gemetar.
Orang yang menghubunginya mengaku dari pihak rumah sakit. Ada apa dengan Randu? Arsy dihubungi rumah sakit, mengingat dari riwayat percakapan terakhir, orang yang berbicara dengan Randu adalah Arsy.
Arsy tidak lagi memikirkan masalah yang menimpa dirinya. Dipta mendesak Arsy untuk berhenti sebagai jurnalis. Jika Arsy tetap bertahan, ia akan diceraikan Dipta. Saat ini Arsy hanya berharap agar Randu bisa tertolong keselamatannya. Ia tidak tahu bagaimana kondisi Randu sebenarnya. Arsy harus secepatnya tiba di rumah sakit.
Randu terbaring di ruang IGD. Menurut keterangan pihak rumah sakit, Randu mengalami koma akibat benturan keras, mungkin gegar otak dan harus dioperasi. Arsy tidak melihat lagi sorot mata tegar dari seorang Randu. Wajah yang berbaring terlihat pucat pasi. Arsy hanya bisa melenguh panjang, dadanya sesak. Hidup terkadang sebuah misteri dan harus dijalani tidak untuk menghitung kekalahan! ***
Baca juga : Dua Hari
Vito Prasetyo, dilahirkan di Makassar, Februari 1964. Bertempat tinggal di Kabupaten Malang. Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, peminat bahasa dan budaya. Naskah opini dan sastra (cerpen, puisi, esai, resensi), Artikel pendidikan dan bahasa telah dimuat puluhan media cetak lokal, nasional, dan Malaysia. Namanya termaktub dalam puluhan buku antologi, antara lain ”Apa dan Siapa Penyair Indonesia” (2017). Beberapa kali masuk nominasi dan juara, antara lain, juara 3 Lomba Cipta Puisi Grup FB HPI Tahun 2022.