Surat dari Ibu
Bapak akan selalu ke kantor pos mengambil surat dan berakhir di rumah di mana kita membaca surat dari ibu bersama-sama.
Langit sore ini lebih gelap daripada biasanya. Angin kecil yang terasa dingin menerpa rambutku pelan. Kulihat setitik air mulai jatuh dari langit, awalnya hanya beberapa, tapi lama-kelamaan semakin banyak dan deras. Aku yang semula duduk di teras bawah langsung beranjak, tapi niat itu kuurungkan setelah mendengar suara bel sepeda yang tak asing di telinga. Dengan cepat, aku membalikkan badanku, menangkap sosok lelaki yang menaiki sepedanya masuk ke halaman rumah.
Akhirnya! Orang yang kutunggu sejak pukul 6 tadi sudah pulang. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari kegirangan menghampirinya dan memeluk kemeja birunya yang lusuh dan basah akibat hujan itu.
”Bapak, Raya nungguin bapak dari tadi,” seruku bersemangat. Bapak langsung mencium dan menggendongku sebelum kita masuk ke rumah.
Di dalam rumah aku terus memperhatikan tas yang bapak bawa, berharap ada sesuatu di dalamnya. ”Raya nyari ini, kan?” tebak bapak sambil terkekeh pelan. Tangan bapak memperlihatkan sebuah kantong plastik berisi amplop berwarna coklat di dalamnya.
Saat itu senyumku langsung merekah dan mencoba meraih kantong plastik itu dari tangan bapakku meskipun tinggiku saat itu hanya selutut bapak. Dengan semangat aku langsung merobek bungkusan kantong plastik basah itu dan membuka amplopnya. Terlihat di sana secarik kertas berisi tulisan yang ditulis dengan pulpen hitam. Kubaca tulisan itu dengan bersuara agar bapak yang ada di samping juga bisa tahu isinya.
Baca juga: Rumah Air
Taiwan, 19 April 1987
Hai, bapak dan Raya, dua kesayangannya ibu. Gimana keadaan rumah? Sekarang di sana pasti musim hujan, jaga kesehatan ya. Kalian di sana sudah makan? Ibu nulis ini sambil nungguin masakan ibu matang. Ibu kepikiran kalian, jadi kangen. Bapak sama Raya jangan lupa makan. Habis makan dan sebelum tidur inget gosok giginya, biar ga ompong. Raya masih suka jajan permen? Kurangin ya.
Kurangin juga kebiasaan begadang nonton TVnya. Mending dipakai buat belajar waktunya biar tambah pinter, biar nanti dapet pekerjaan yang bagus. Biar engga kayak ibu di sini kerja buat ngelayanin orang di restoran, biar engga disuruh-suruh. Tapi apa pun yang ibu sama bapak lakuin sekarang semuanya demi Raya. Tunggu ibu pulang ya, Raya sama Bapak.
Setelah membaca surat dari ibu, bapak langsung mengganti bajunya, lalu ke dapur untuk memasak telur goreng untuk lauk malam ini. Sementara itu, aku hanya duduk diam di meja makan sambil terus mengamati surat dari ibu. Aku selalu senang setiap kali membacanya meskipun surat itu hanya datang seminggu sekali, tepatnya di hari Jumat. Bapak akan selalu ke kantor pos mengambil surat itu dan berakhir di rumah di mana kita membaca surat dari ibu bersama-sama. Selalu begitu.
Sebelum aku berangkat ke sekolah, bapak akan memasakkanku nasi dan lauk sehari-hari. Bapak juga orang yang mengantarku ke sekolah dengan sepedanya. Selama perjalanan ke sekolah, di tengah percakapan dengan bapak, aku selalu sempat bertanya, ”Pak, Ibuk kira-kira lagi ngapain, ya? Kapan pulangnya?”
Bapak kemudian akan berkata bahwa ibu sedang bekerja untuk orang-orang luar itu dan akan segera pulang untuk membawakan aku oleh-oleh.
Mendengar hal itu, rasa rinduku terhadap ibu tertutupi oleh kebahagiaan karena akan mendapatkan oleh-oleh yang sepertinya enak. Rutinitas ini terus berulang dan berlanjut sampai aku ada di bangku SMA. Pertanyaan yang kutanyakan pada bapak sampai sekarang masih sama, begitu pula dengan jawaban bapak.
Surat dari ibu masih kuterima meskipun sekarang kedatangannya semakin jarang. Yang dulunya seminggu sekali, sekarang hanya tiga bulan sekali. Pernah waktu itu setengah tahun aku tak menerima kabar apa pun dari ibu. Yang aku tahu hanyalah ibu masih bekerja di sana, di Taiwan, sebagai seorang pekerja di restoran makanan lokal. Surat terakhir yang kuterima dari ibu seingatku hampir tujuh tahun yang lalu.
Taiwan, 23 Februari 1990
Bapak dan Raya, kalian apa kabar? Ibu di sini baik, restoran tempat ibu bekerja ramai pengunjung. Ibu jadi makin sibuk. Doain ibu ya, biar dapat banyak rezeki, biar ibu bisa pulang dan ketemu kalian.
Ibu sayang kalian.
Setelah surat itu, tak pernah kuterima lagi surat dari ibu. Kupikir sepertinya restoran ibu benar-benar ramai pengunjung sampai ibu tak sempat mengirimkan surat untuk kami. Jika ditanya apa aku merindukan ibu, tentu saja aku sangat merindukannya. Aku telah ditinggalkan bersama bapak sejak aku masih di taman kanak-kanak. Jika diibaratkan, aku merindukan pelukan ibu sama seperti pohon yang merindukan hujan di musim kemarau. Suara lembut ibu kini hanya seperti melodi jauh yang memeluk hatiku dengan kerinduan yang tak terucap.
Kerinduan yang selalu mengikuti langkahku seperti bayangan, ia berusaha mencari jawaban di setiap sudut hati yang merindu. Tiap hari selalu kupanjatkan doa dan menjelaskan kepada Tuhan bagaimana kerinduanku akan hadirnya ibu. Layaknya daun yang ditiup angin, pikiranku melayang-layang memikirkan apakah ibu juga merasakan sepi di tengah jarak yang memisahkan kita. Sering kali aku membayangkan betapa indahnya pertemuan kita nanti, mungkin di ruang keluarga di mana riuhnya tawa kita akan terdengar sejauh mata memandang.
Baca juga: A Kim dan Paman Bong Sin Bu
Sewaktu kecil aku selalu merasa rumah sederhana yang mungil itu terlalu besar bagi dua orang. Satu-satunya yang menjadi secercah pelitaku adalah bapak yang pulang dari bekerja dengan surat ibu di tangannya. Namun, seiring berjalannya waktu, bapak semakin sibuk bekerja yang pada akhirnya membuat kami semakin jarang berinteraksi. Makan malam menjadi satu-satunya pertemuan kami setelah seharian sibuk berkutat dengan aktivitas masing-masing. Ini membuat rasa kesepian di lubuk hatiku semakin lama semakin dalam. Ruang hampa yang sebelumnya terisi sebagian oleh bapak kini mulai ditinggalkan.
Sesekali terlintas di benakku untuk pergi ke negara seberang dan menjemput ibu pulang. Namun, kendala uang memang tak bisa dipisahkan. Terlintas di kepalaku niat berjualan untuk menambah uang jajan. Namun, setiap kali aku menyodorkan calon barang atau masakan buatanku untuk dijual, bapak selalu menggelengkan kepalanya dan berkata, ”Raya fokus sekolah saja. Masalah uang bapak yang cari.”
Aku takut bapak marah, jadi aku tak berani membantah. Yang aku lakukan hanya berserah kepada Tuhan, berharap semoga ibu segera berada di rumah.
Hari ini jam istirahat di sekolah diramaikan dengan teman-teman yang sibuk membicarakan rencana kegiatan mereka sore nanti. Mendengar hal itu, aku hanya bisa menidurkan kepalaku di atas meja. Jendela yang berada di samping mejaku menampilkan betapa cerahnya cuaca siang ini. Sedikit silau, namun menghangatkan. Angin menerpa wajahku, sensasi nyaman itu membuatku menguap pelan. Sepersekian detik mataku terpejam, tiba-tiba saja aku merasakan punggungku di tepuk mendadak yang disertai teriakan di telingaku. ”Woi!”
”Astaga!” Aku yang terkejut langsung bangun dari tidurku. Aku melihat ke kanan dan kiri untuk mencari siapa pelakunya.
Perempuan berkerudung yang merupakan teman akrabku itu hanya bisa menyengir, menampilkan deretan giginya yang gingsul di bagian kanan. Aku memutar bola mataku malas. Gadis manis itu memang sering menjahiliku ketika dia bosan. Aku yang hendak melanjutkan tidurku menjadi terjeda karena dia melontarkan pertanyaan, ”Raya, nanti kamu ikut, kan?”
Dapat aku lihat dari matanya yang berbinar bagaimana antusiasnya dia yang seolah mengharapkanku hadir di acara itu.
Aku menggelengkan kepalaku lalu berkata, ”Maaf, Din. Aku enggak bisa ikut nanti.”
Temanku yang bernama Dinda itu mendesah pasrah. ”Yah…, kenapa? Apa karena bapak kamu lagi?” tanyanya menebak.
Dinda mengatakan itu tentunya bukan tanpa alasan, mungkin karena aku sudah sering tidak ikut acara kelas dengan alasan yang sama berulang kali. Bapak tidak mengizinkanku bermain di luar. Apa pun acaranya, sedekat apa pun lokasinya dengan rumah, seakrab apa pun aku dengan temanku, bapak tidak akan pernah mengizinkanku keluar. Bapak akan selalu berkata, ”Kamu mending di rumah saja. Belajar. Di luar banyak bahaya. Nanti kamu kenapa-kenapa.” Dan aku tidak akan pernah membantah bapak.
Raya fokus sekolah saja, masalah uang bapak yang cari.
”Enggak apa-apa, Din. Kalian main saja tanpa aku. Aku ada kerjaan di rumah soalnya,” ucapku kepada Dinda. Menenangkannya dengan menunjukkan raut wajah pura-pura bahagiaku meskipun di dalam benakku tidak merasakan yang sama.
Dinda yang tampaknya berusaha dan terbiasa mengerti akan keadaanku tersenyum simpul, menepuk bahuku pelan seraya berkata, ”Aku tunggu kamu di acara kita selanjutnya, ya.”
Kemudian percakapan kami berakhir dengan aku yang mengangguk dan Dinda yang mengunjungi bangku lain untuk membicarakan kegiatan mereka nanti, selalu begitu. Saat di rumah, aku memiliki banyak waktu senggang yang sebenarnya cukup untuk bermain, tapi aku memilih untuk belajar karena itu yang dititahkan. Belajar untuk membunuh waktuku sendiri, sebelum akhirnya bapak pulang dan kami makan malam seperti biasanya.
Makan malam hari ini berjalan seperti biasa, dengan bapak pasti akan menonton TV setelahnya. Namun, malam ini aku akan menyampaikan hal yang telah kupersiapkan sudah lama kepada bapak. Kupikir sekarang adalah waktu yang tepat untuk menanyakan terkait hal yang mengganggu pikiranku belakangan ini. Masalah masa depan, terkait cita-citaku.
Segera setelah mencuci piring, aku ke kamar untuk mengambil brosur yang ada di dalam tas. Aku menghampiri bapak dan duduk di sampingnya. ”Pak,” panggilku yang dibalas dengan deheman pelan dari Bapak yang matanya awalnya menatap ke arah TV kini beralih melihatku. Aku tersenyum kecil, kemudian memperlihatkan brosur tersebut kepada bapak.
”Pak, Raya, kan, sebentar lagi mau lulus. Nanti Raya mau sekolah di sini, boleh?” ucapku penuh harap.
Bapak mengambil brosur tersebut, lalu bertanya, ”Ini brosur apa?”
Bapak mengamati brosur itu dengan teliti diriingi dengan aku yang memberikan penjelasan kepadanya. ”Raya dapat pas sosialisasi di sekolah. Itu brosur sekolah penerbangan di Surabaya, Pak. Dari dulu Raya pengin banget jadi pramugari,” jelasku.
Di dalam brosur sudah dimuat penjelasan terkait jenis jurusan, keunggulan sekolah, proses pendaftaran, hingga biaya pendaftaran kampus.
”Pramugari?” tanya bapak dengan nada sedikit terkejut. Ada keraguan yang tersorot di mata bapak.
Aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan semangat, lalu mengiyakannya. ”Iya, Raya pengin banget jadi pramugari. Raya juga sudah jaga kesehatan, mempersiapkan tes masuknya,” ucapku.
Memang seleksi masuknya tidak mudah, tapi demi mimpiku, aku sudah menyiapkan rencana ini sejak awal aku masuk SMA. Jadi pramugari adalah harapanku sejak kecil, termasuk cara agar aku bisa terbang ke banyak tempat sambil bekerja, dan mungkin aku bisa menemui ibuku.
Beberapa menit aku merasakan hening yang tak mengenakkan di antara aku dan bapak. Namun, bapak tiba-tiba berkata, ”Kamu bisa jadi apa pun asal engga bekerja di penerbangan,” kata bapak yang mengembalikan brosur itu diiringi dengan elusan di kepalaku.
Setelah itu, bapak langsung beranjak ke kamarnya dan menutup pintunya. Tak seperti biasanya, bapak yang biasanya tidur sekitar pukul 9 itu sekarang lampu kamarnya sudah mati bahkan ketika jarum jam belum menunjukkan angka 8.
Tubuhku masih terpaku di kursi dapur, menatap kembali brosur sekolah penerbangan itu. Mimpiku sejak kecil rasanya melayang ketika restu bapak tak berhasil aku kantongi. Bapak selalu seperti itu. Ketika bapak mengatakan tidak, itu artinya akan selalu tidak, tanpa penjelasan, hanya penolakan.
Pikiranku mencoba untuk mencari jalan keluarnya. Berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa mimpi itu masih bisa kuwujudkan di saat yang bersamaan bapak yang pendiriannya teguh itu bisa dikatakan ”menghalangiku”.
Baca juga: Agustinus
Biasanya bapak akan bersikap demikian ketika membahas sesuatu yang sensitif, salah satunya adalah uang. Kupikir bapak tak mengizinkanku disebabkan kondisi ekonomi kami belum cukup baik untuk menunjang pendidikanku di sekolah penerbangan. Padahal, aku bisa mendaftar beasiswa nantinya untuk meringankan bapak, sayangnya hal itu terlewat ketika aku menjelaskan kepada bapak tadi.
Jika memang masalah ekonomi, apa itu berarti aku harus terjun langsung untuk mengusahakan mimpiku sendiri? Apa aku harus mencari uang untuk membuktikan kepada bapak bahwa aku bisa membiayai diriku sendiri untuk kuliah ini? Ya!
Itu yang harus dan akan aku lakukan. Meskipun selama ini aku terkurung dalam batasan bapak untuk tidak bekerja dan selalu di rumah saja, tapi kali ini akan aku terobos batas itu untuk pertama kalinya.
Keesokan harinya aku mencari teman-temanku, bertanya apakah mereka mengetahui tempat yang sekiranya aku bisa bekerja. Sebagian besar dari mereka menjawab tidak tahu, sisanya mencoba membantu, tapi sayangnya aku yang tidak cocok dengan pekerjaan yang ditawarkan itu.
Sebut saja contohnya sebagai cleaning service di sebuah tempat minum milik keluarga temanku. Tentunya tempat dengan kegiatan malam itu akan ada banyak pemuda yang berdatangan lalu pulang dalam keadaan mabuk. Langsung saja aku beralih ke koran untuk mencari informasi pekerjaan lainnya. Susah sekali menemukan pekerjaan yang tepat, dekat, dan tawaran gaji yang cukup untuk sekolahku.
Berlembar-lembar koran telah aku cermati, sampai akhirnya ada satu lowongan pekerjaan yang menarik perhatianku. Di sana tertera bahwa sebuah butik yang ada di dekat daerahku tengah membuka lowongan penjaga toko perempuan. Syaratnya bisa aku penuhi, yaitu berusia 18-27 tahun, tekun, pandai berkomunikasi, dan baik dalam bekerja dengan rentang jam kerja dari pukul 3 siang sampai 9 malam.
Segeralah aku mencatat lokasi butik tersebut dan sepulang sekolah aku langsung pergi ke sana, menemui pemiliknya, dan mengutarakan keinginanku untuk bekerja. Ternyata saat itu juga aku langsung diterima menjadi pekerja di butik tersebut dan bisa bekerja mulai besok setelah pulang sekolah.
Aku sangat senang dan bersemangat, akhirnya aku bisa mencari uang sendiri, aku bisa mendiri dan bisa membuktikan kepada bapak bahwa keadaan ekonomi bukanlah penghalang bagiku untuk bermimpi.
Seminggu pertama bekerja di sana, aku selalu sampai di rumah pukul 10 malam. Bapak selalu bertanya aku dari mana, kemudian aku menjawab sehabis dari rumah teman untuk mempersiapkan materi ujian sekolah. Memang, tidak menenangkan rasanya membohongi bapak seperti ini.
Namun, akhirnya malam ini aku mendapatkan gaji mingguan pertamaku. Jumlahnya tidak terlalu besar memang, tapi sebagai orang yang baru pertama kali menghasilkan uang sendiri, aku merasa sangat bangga. Aku akan memberi tahu bapak mengenai pekerjaanku sembari menunjukkan hasilnya. Aku pulang dari bekerja dengan perasaan girang dan aku menyisihkan beberapa uang untuk bisa membelikan bapak martabak telur dengan penghasilan pertamaku.
Baca juga: Jalan Buntu
Saat aku pulang, aku melihat bapak sedang berpangku tangan di bangku depan rumah. Tak seperti biasanya di mana bapak akan menunggu sambil menonton TV di dalam. Aku tersenyum lalu bertanya basa-basi, ”Pak, kenapa di luar?”
Bapak diam sebentar, seolah mengamati setiap gerak-gerikku. ”Bapak tadi ketemu sama Dinda,” ucapnya menggantung.
”Terus kenapa, Pak?” tanyaku seraya melepaskan sepatu yang telah kupakai sejak tadi pagi itu.
”Dia bilang kalian enggak ada ngebahas materi ujian selama ini dan katanya kamu sehabis jam sekolah langsung pergi keluar. Itu kamu ke mana sebenarnya?” tanya bapak.
Aku terdiam sejenak, lalu melihat bapak yang wajahnya campur aduk antara marah dan kebingungan. Aku menundukkan kepala, menatap tanganku yang saling berpautan. ”Maaf, Pak, Raya bohong. Sebenarnya selama ini Raya pulang malam itu habis dari kerja.”
”Jadi benar kata Dinda, kamu kerja di tempat pemabuk itu?” Bapak tiba-tiba berdiri, menghadap aku yang ada di depannya.
”Raya, bapak enggak pernah ngebesarin kamu buat kerja di tempat bahaya kayak gitu!” bapak tiba-tiba saja menyela ucapanku.
Suara bapak meninggi tanda bahwa emosinya sedang meningkat saat ini. Dinda pasti mengira aku benar-benar akan bekerja di tempat seperti itu.
Aku mengangkat kepalaku, memberanikan diri menatap bapak, memberanikan diri untuk membela diriku sendiri. ”Engga Pak, Raya kerja di butik seberang. Jadi penjaga toko,” ucapku.
Kemudian aku mengeluarkan beberapa uang dari dompet dan menunjukannya kepada bapak sekaligus dengan bingkisan plastik yang isinya martabak telur yang aromanya tercium hangat itu.
”Ini gaji pertama Raya, Pak. Sudah seminggu Raya kerja di sana, seminggu juga Raya bohong sama bapak kalau Raya belajar materi di rumah teman. Tapi Raya pengin ngasih kejutan sama bapak. Raya pengin nunjukin bahwa Raya bisa cari uang sendiri, uang buat masuk sekolah penerbangan Raya. Jadi, nanti bapak enggak perlu khawatir tentang uang masuknya,” ucapku memberikan penjelasan kepada bapak.
Namun, yang terjadi justru di luar dugaanku. Bapak tiba-tiba mengambil bingkisan martabak itu, lalu melemparkannya kasar sampai isinya berhamburan ke tanah. ”Bapak!” teriakku, menatap bapak yang tega membuang hasil kerja kerasku.
Bapak beralih menatapku sembari mengacungkan jari telunjuknya ke wajahku. ”Raya, kamu sudah melakukan kesalahan fatal. Pertama, kamu berani bohong sama bapak buat kerja, pulang malam. Padahal, di luar itu bahaya, Raya! Gimana nanti kalau ada perampok yang mau malak kamu? Apalagi malam, banyak orang jahat dan bakalan susah nyari bantuan!”
”Lalu bapak, kan, sudah bilang jangan masuk ke sekolah penerbangan, tapi masih saja ngotot mau masuk sana! Kebiasaan kamu sekarang ngelawan bapak?” tanya bapak.
”Sudah bapak bilang, kamu bisa ambil kuliah apa pun, tapi bukan penerbangan!” seru bapak menegaskan.
Tanganku mengepal, mataku memanas, tak terasa setitik air jatuh dari pelupuk mataku.
”Tapi kenapa, Pak? Kenapa Raya enggak boleh ngejar mimpi Raya?” Aku menatap bapak nanar.
Tapi kenapa, Pak? Kenapa Raya enggak boleh ngejar mimpi Raya?
”Kenapa Raya enggak boleh sebebas teman-teman yang lain? Bapak tahu enggak selama ini Raya ngerasa selalu ada kungkungan bapak?” Aku melontarkan pertanyaan yang rasanya selama ini tak pernah kutemukan jawabannya.
Alisku tertekuk, air mata masih juga mengalir dari pelupuk. ”Raya pengin bebas, Pak. Raya juga pengin punya kehidupan Raya sendiri!”
Saat itu juga emosiku memuncak, tak menyadari bahwa suara yang aku keluarkan terlalu tinggi. Aku telah membentak bapak.
”Raya!” bentak bapakku saat itu juga.
Aku yang tak terbiasa membentak dan dibentak langsung terdiam. Aku mengusap wajahku dengan tangan, mencoba menutupi air mata yang mengalir deras di baliknya. Aku menangis sesenggukan, sesekali berkata, ”Padahal Raya sudah nyoba, Raya berusaha. Tapi kenapa?” Aku menggelengkan kepalaku, tak mengerti dengan situasi yang aku alami saat ini.
Selama beberapa menit terjadi keheningan di antara aku dan bapak, sebelum akhirnya aku merasakan punggungku dielus pelan oleh bapak dan akhirnya aku jatuh dalam dekapannya yang terasa hangat di tengah dinginnya suasana malam.
”Bapak cuma enggak mau kehilangan orang kesayangan untuk yang kedua kalinya, Raya,” ucap bapak tiba-tiba. Tangannya mengelus puncak kepalaku, lembut sekali rasanya.
Bapak kemudian melanjutkan kalimatnya, ”Dulu sampai sekarang, kamu selalu senang ngebaca surat dari ibu, selalu begitu. Itu ngebuat bapak senang. Meskipun kamu ternyata enggak merasakan kesenangan dan keamanan yang berusaha bapak kasih. Tapi, setidaknya yang merasakan kesedihan ini cuma bapak. Kesedihan karena pesawat ibu waktu mau pulang dari Taiwan jatuh dan mayatnya sampai sekarang belum ditemukan.”
Baca juga: Ngaben Sederhana
Ni Luh Pradnya Wulandari