Kado dari Guru Honor
Guru Petrus menyalakan sebatang lilin pada patung Bunda Maria, ia berlutut dan mendaraskan doa.
”Zaman sekarang ternyata seorang dokter juga bisa menjadi guru, bukan hanya seorang guru,” ujar Pater Ola pada perayaan pancawindu sekolah yang terletak di ujung timur sebuah kabupaten. Emak-emak dan juga anak-anak meledakkan tawa di bawah sebuah tenda dengan bara panas matahari yang memanggang ubun-ubun.
Istri kepala sekolah gerah, kenapa juga pastor paroki dengan entengnya membanding-bandingkan peran guru. Padahal, jerih lelah guru takkan mampu terbayar oleh apa pun dan oleh siapa pun. Ia teringat beberapa teman guru honor di sekolah yang gajinya belum dibayar berbulan-bulan lamanya, hari-hari mereka hanyalah memanen peluh dan mendulang air mata.
Adalah seorang guru bernama guru Petrus, ia menempati ruang kosong dari sisa-sisa pembangunan aula sekolah. Ruangan itu tampak reyot, tak layak huni. Jika musim penghujan tiba, guru Petrus akan menggeser sedikit tempat tidurnya ke sudut ruangan agar terhindar dari titik-titik air hujan yang terus jatuh. Dan, bila musim panas, binar matahari menyelinap melalui lubang-lubang atap ruangan yang menganga lebar. Siang harinya, ia hanya merebahkan tubuh di atas bale-bale di bawah pohon kersen.
Di sana, sedianya ia tinggal seorang diri. Beberapa tahun belakangan, beberapa anak murid menemaninya. Tapi tak betah dengan kondisi mes. Guru Petrus sungguh tak ingin pindah. Setidaknya hari itu. Ia ingat pesan ketua komite sekolah untuk mendirikan mes guru sederhana-tempat ia benamkan lelah saat malam hari. Seolah-olah dengan cara itu, guru Petrus merasa dimuliakan.
Ia teringat beberapa teman guru honor di sekolah yang gajinya belum dibayar berbulan-bulan lamanya, hari-hari mereka hanyalah memanen peluh dan mendulang air mata.
Sejak menyelesaikan pendidikan akhir di Universitas Terbuka, guru Petrus melamar menjadi seorang guru Bimbingan Konseling meski masih menyandang status guru honor. Ia teringat ketika masih di bangku kuliah, ibunya mencekal pergelangan tangannya saat mereka bepergian ke pasar. Di atas kepala ibunya tergeletak keleka di dalamnya beberapa ikat sayur kacang panjang, terung, kemangi, kecipir, dan juga tomat.
”Beli…beli, Ma beli tomat. Ayo Bapa-bapa, silakan pinang kecipirnya,” gema suara ibunya menggaet beberapa pembeli untuk datang membeli. Uang hasil penjualan diberikan kepada guru Petrus untuk membayar registrasi kuliah.
Di benak ibunya, Petrus harus menjadi seorang guru. Sayangnya setelah ayah tak ada, ibu kehilangan juru cari uang. Jika jualan tak laku, ayah memberi ibu uang, katanya berikan kepada guru Petrus untuk membayar SKS tahap terakhir. Tentu saja, peristiwa itu mengental di ingatannya. Titik-titik air matanya tumpah lantas memenuhi permukaan wajahnya.
Baca juga: Guru
Menjalani profesi guru di sekolah kecil seperti ini memang tidak ringan. Rata-rata guru honor mengandalkan gaji dari komite sekolah. Orang tua kehilangan kepekaan untuk membayar iuran sekolah, bahkan berkali-kali pihak sekolah mengirim nota ketunggakan pembayaran.
”Harga beras naik sekilo tujuh belas ribu rupiah,” kata guru Kobus kepada guru Petrus sambil menyodorkan tembako koli. ”Sekarang apa yang bisa kita lakukan, guru Petrus?” tanyanya.
Meski umur guru petrus lima tahun di bawahnya, guru Kobus selalu menghormatinya. Untuk urusan nasib, guru Kobus tak lalai meminta pendapat dari guru Petrus.
”Adakah lebih baik kita bikin arisan. Uangnya kita gunakan untuk membeli anak babi. Kita pelihara bersama-sama,” guru Petrus kembali buka suara.
”Anak babi? Wah, ide bagus itu,” guru Kobus menimpali.
“Tetapi modalnya dari mana? Apakah kita harus membuka pinjaman?” guru Kobus lanjut bertanya.
”Kebetulan aku mempunyai nomor telepon seorang pegawai koperasi harian,” guru Petrus menekan tombol memanggil pada handphone nokia miliknya.
Guru Kobus kaget sesaat setelah guru Petrus mengutak-atikan handphone, seorang pegawai koperasi harian memarkir motor bututnya di halaman mes guru milik guru Petrus. Keduanya langsung menemui petugas koperasi harian. Guru stanis yang sejak semula hanya mengamati gelagat guru Kobus dan guru Petrus semakin penasaran, akhirnya mendatangi mes. Melihat kehadiran guru Stanis yang tiba-tiba, guru Kobus mempersilakannya bergabung.
Menjalani profesi guru di sekolah kecil seperti ini memang tidak ringan. Rata-rata guru honor mengandalkan gaji dari komite sekolah.
Demikianlah kesepakatan arisan itu bermula. Sebetulnya, guru Petrus dan guru-guru honor lainnya sama sekali tidak miskin karena uang, karena tunggakan pembayaran iuran komite. Mereka memiliki uang dan uang itu diperoleh dari hasil jual kayu api ke kota, uang hasil tangkapan ikan sembe lalu dijual kepada Emak-emak-digarami lalu dijemur, uang hasil belah kopra, uang hasil pilih kemiri bulat, dan uang hasil timbang biji mente.
Setahun lalu, saat dunia benar-benar dilanda virus korona. Denyut nadi pendidikan seketika terhenti. Anak -anak sekolah tidak diperbolehkan untuk melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Guru Petrus kelabakan. Ia mencari akal untuk membuka ladang seluas-luasnya hanya untuk menanam padi, jagung, ubi kayu, dan juga segala jenis sayur. Usahanya berhasil berkat keuletan dan restu Ama lera wulan. Hasil panennya dihantar ke gereja setiap hari Minggu sebagai persembahan di altar Tuhan, sisanya ia menelepon pemilik warung makan yang ada di kota untuk membeli.
Kerja sama itu intens dilakukan. Biasanya memasuki masa adven, guru Petrus memberikan kolekte terbesar dan tidak ingin namanya dibacakan di mimbar umat. ”Tidak enak, jika ada umat memprotes. Apalagi, sekarang statusku bukan lagi umat biasa. Seorang ketua dewan paroki,” bisiknya pada pastor Paroki.
Pastor paroki menganggukkan kepala, sebuah isyarat yang tidak sia-sia. Tak banyak umat yang memberi diri-berbakti kepada gereja dan Tuhan Allah. Gereja seturut pikiran mereka tak memberikan apa-apa, menyoal akhirat itu urusan belakangan. Mati baru tahu, masuk surga atau diseret ke neraka. Untuk mengembalikan iman umat yang serupa ini, malam harinya guru Petrus tak tuntas memejamkan mata. Ia merasa gagal mengajak umat mengenal Tuhan Allah.
Belum lagi, tuntutan kurikulum merdeka belajar dan aplikasi profil belajar Pancasila. Pemerintah oh pemerintah, ganti menteri ganti kurikulum, nasib guru honor tak ada yang peduli, bicara guru Petrus pada dirinya sendiri.
Baca juga: Persekongkolan Guru dan Murid
Jauh di langit timur, bintang-bintang tak menampakkan wajahnya. Kilat sambar menyambar. Guru Petrus menyalakan sebatang lilin pada patung Bunda Maria, ia berlutut dan mendaraskan doa. ”Bunda Maria, tolong bantu saya. Sudah sekian tahun mengabdi menjadi guru honor. Ta…pi,” guru Petrus tak kuasa menyambung kalimatnya.
Keheningan seketika menjalar. Lama. Rinai hujan perlahan menggelitik perasaanya. Ia masih sempat merasakan, sebelum akhirnya jatuh tertidur di kaki Bunda Maria. Keesokan harinya guru Petrus dipanggil oleh Ibu Kepala sekolah untuk menghadap di ruangannya.
”Pak, tolong buka akun SIM PKB, ada formasi guru Bimbingan Konseling tahun ini,” Ibu Kepala sekolah mengarahkan.
”Tapi, jaringan internet tidak memungkinkan, Bu,” guru Petrus berbicara apa adanya.
Mereka berpandangan. Sebenarnya, guru Petrus tak berani menatap wajah ibu Kepala Sekolah, tetapi terpaksa melakukannya. Tanpa diucapkan, kepedihan itu justru lebih terekspresi. Di mata guru Petrus, sosok ibu kepala sekolah adalah sosok pemipin yang tidak beradab. Ibu kepala sekolah yang sering menjadikan guru sebagai sasaran amarahnya saat dana Bos telah mengering di kantongnya.
Yang diakrabinya hanyalah bendahara Bos dan keluarga rapatnya. Terutama juga, saat sertifikasi mengendap di rekening bendahara kabupaten, ia tak tanggung-tanggung mendatangi dinas pendidikan dan langsung menyergah bendahara, ”Itu bukan nenek moyang kalian punya uang. Tolong pahami.”
Nasib guru honorer tak dihiraukan, berulang-kali. Dan, jika ada itikad baik, itu semata-mata hanyalah modus agar ia bisa meminjam uang. Mari, Pak. Ayo, Ibu. Butuh konsultasi? Dan, kebiasaan lainnya, ia akan mengakrabi dirinya dengan guru-guru honor, bercerita, bersenda gurau, tentang keburukan orang lain-tentang hal-hal aneh yang menyata. Toh, ujung-ujungnya kalimat semisal, ”bolehkah kupinjam uangmu?” Kalimat murahan itu memburai dari bibirnya yang tebal.
Berbagai umpatan berdesak-desakkan keluar dari mulut guru honor. Guru Petrus melangkahkan kaki menuju sebuah pohon yang terletak di ketinggian. Karenanya, mudah untuk mendapatkan sinyal dari pulau seberang.
”Astaga, ada panggilan mengikuti ujian seleksi guru dengan perjanjian kerja. Minimal mengajar tiga tahun,” guru Petrus menghela nafas panjang. Ia sudah dua puluh tahun mengabdi dengan status guru honorer, dan sebanyak lima kali mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil, tapi sayang nasib tak berpihak.
”Soalnya sulit-sulit, begitu juga waktunya sangat mepet,” batinnya.
”Ini yang terakhir,” tekadnya.
Jadwal ujian juga tertera sehingga sehari sebelumnya guru Petrus telah terlebih dahulu berjalan kaki menuju lokasi ujian-jauh di kota. Mengenakan sandal jepit dan celana tisu berwarna biru ketuaan, guru Petrus melewati jalan potong menuruni lembah dan mendaki tanjakan.
Nasib guru honorer tak dihiraukan, berulang-kali. Dan, jika ada itikad baik, itu semata-mata hanyalah modus agar ia bisa meminjam uang.
Guru Petrus membayangkan, suatu saat kelak anak-anak muridnya tak ingin memilih profesi menjadi guru. Entah karena gaji kecil, entah karena tidak ingin jalan kaki sperti dirinya saat ini, mau jadi apa mereka ya?
Meliuk-liuk bola matanya ke kiri dan ke kanan, kemudian terhenti pada sebuah pohon nan rindang. Ia benamkan tengkuknya sambil meneguk air dalam botol.
”Semoga masa depan mereka lebih baik dariku,” guru Petrus menggeleng kecil.
Tibalah ia di kota, meminta tumpangan pada keluarga agar bisa mengikuti ujian.
”Guru Petrus ya?” Thomson-seorang siswa angkatan pertama yang dididiknya kini telah menjadi asisten bupati.
”Bapa guru masih ingat aku kan?”
”Ingatkah kelotong,” guru Petrus cengar cengir.
Di ruang ujian, Thomson membantu me-relogin komputer dan memfasilitasi ujian bagi guru Petrus. Usai itu, guru Petrus kembali ke kampung-tempat ia mengajar.
Cepat-cepat ia menanggalkan pakaian dan langsung ke gereja. Hari itu persiapan menjelang perayaan tahun baru. Dentang lonceng gereja di bunyikan, gema nyanyian terus dikumandangkan. Sebentar lagi pergantian tahun lama ke tahun baru. Guru Petrus menyediakan kado dan sebuah amplop tebal, bertuliskan ”Kado seorang guru Honor untuk Tuhan Allah”.
Dengan tangan agak gemetar ia merapikan bungkusan itu. Lalu, ia terkulai sebentar di sebuah kursi kayu di samping meja persembahan. Perlu untuk menenangkan jantungnya dulu. Andaikata, beres perayaan tahun baru, ia menerima amplop balasan. ”Terima kasih untuk kadonya. Indah sekali.” Andaikan itu!
Keterangan:
Bale-bale: Tempat tidur kecil yang terbuat dari bambu (dalam dialek Lamaholot Flores Timur–NTT)
Keleka: Tempat menyimpan sayur, buah dan lainnya.Terbuat dari anyaman daun lontar
Tembako Koli: Rokok yang terbuat dari lontar
Kelotong: Periuk memasak nasi. Biasanya panggilan itu biar lebih akrab.
Ama lera wulan: Tuhan Allah
Ikan sembe: Ikan yang banyak diperoleh di perairan wilayah Banjung Bunga Flores
Beatrix Polen Aran, Guru di SMP Negeri 3 Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, NTT. Menulis cerpen dan puisi di media cetak lokal dan nasional. Bergiat di Nara Teater Kabupaten Flores Timur.