Mama Eta
Mama Eta gemetar. Keringat mengalir dari wajah, leher, dan tangannya. Ia menyetor uang yang lain. Menggabungkan dengan yang dihitung oleh Ibu Udis dan Mama Katarina lalu pulang dan terus ke pasar.
Mengapa kesulitan terus datang sedang hidup sudah susah? Mama Eta menyalakan lilin, berlutut di depan foto Tuan Ma dengan Rosario kayu cendana di tangan. Ia berdoa dengan lutut gemetar dan air mata yang terus menggenangi kedua kantong matanya. Digenggamnya erat rosario warisan ibunya, didekapnya lebih erat ke dada.
”So tiga taon ni Mama Bunda te jalan kelua lia nagi. Lia kita pung susah.(Sudah tiga tahun ini Mama Bunda tak jalan keluar lihat kampung. Lihat saya punya susah).”
Praaaak! Daun pintu dibanting keras. Disusul dengan gedebuk tubuh yang rebah di sofa tua ruang tengah rumah.
Begitulah hari-hari Besa Betu, suami Mama Eta. Pulang tengah malam atau dini hari dalam keadaan mabuk berat, apalagi kalau kalah bermain kartu.
”Mama Bunda, saya pamit sejenak. Besa Betu sudah pulang.”
Mama Eta menunduk lalu mundur dengan lututnya kemudian berdiri mengambil selimut, membuka pintu kamar menuju sofa tua yang sudah sobek di mana-mana.
”Besa Betu e….”
Mama Eta membungkus tubuh suaminya. Kalau saja masih kuat, ia ingin bopong suaminya ke kamar. Dingin. Kilat dan guntur susul-menyusul. Hujan sebentar lagi akan sangat lebat. Dipandangnya lekat wajah suaminya lalu kembali tanpa menutup lagi pintu kamar.
Di depan foto Tuan Ma, Mama Eta kembali berlutut. Spontan ibu jarinya menggerakkan biji-biji kontas. Nyala lilin meliuk-liuk ditiup angin.
”Mama Bunda, ampun salah-dosa Besa Betu”.
Air matanya mengalir lebih deras. Mama Eta tahu suaminya orang baik. Baru tiga bulan Besa Betu minum arak dan main kartu sampai sepayah ini.
***
Tiga tahun berturut-turut tanpa prosesi Jumat Agung seperti Sion dalam ratapan Nabi Yeremia pada setiap lamentasi Rabu Trewa di Katedral Reinha Rosari Larantuka. Jalan-jalan diliputi dukacita, tak ada peziarah, sunyi senyap seluruh pintu gerbang dan imam-imam berkeluh kesah.
Sudah ratusan tahun Patung Tuan Ma diarak keliling kota setiap Jumat Agung dalam tradisi Semana Santa di Larantuka. Ribuan umat khusyuk dengan lilin di tangan, doa-doa dan nyanyian sepanjang malam. Tak peduli hujan, tak peduli badai ataupun situasi genting perang.
Tuan Ma memilih Larantuka kampung tepi pantai sebagai miliknya. Ia datang sendiri jauh sebelum datangnya para misionaris dari Eropa menyebarkan agama Katolik. Mula-mula, seorang nelayan bernama Resi melihat perempuan asing di pagi buta. Bercampur panik dan takut, ia pergi memberi tahu kepala kampung. Ketika mereka ke pantai, ia sudah menjelma patung. Mereka membawanya ke korke menyimpan dan menghormatinya dengan sepenuh kasih.
Ibarat rahim, korke menyimpan segala teduh-damai. Semua yang asing dan berbeda-beda menjadi satu. Walau para misionaris yang datang kemudian menyebutnya sebagai rumah berhala, Tuan Ma memilih tinggal di sana lebih dari satu abad. Mama Eta percaya Bunda yang penuh kasih merangkul semua di dadanya. Tak peduli agama apa yang dianut dan seperti apa cara masyarakat Larantuka tempo dulu beribadah.
****
Tahun ini Mama Eta dan semua warga kota bergembira karena tradisi Semana Santa,terutama prosesi Jumat Agung, boleh berlangsung lagi. Namun Mama Eta sangat sedih karena Besa Betu harus kehilangan pekerjaan. Ia salah satu dari 2.859 tenaga kontrak yang diberhentikan di awal tahun karena terbatasnya kemampuan keuangan daerah. Padahal sejak pulang merantau dari Malaysia, sudah 15 tahun ia bekerja sebagai penata taman. Gaji Besa Betu 800 ribu tiap bulan dijatah buat cicilan utang di bank sejumlah 785 ribu. Masih lagi 3 tahun.
Tujuh tahun lalu Besa Betu dan Mama Eta nekat mengajukan pinjaman dengan rumah dan sertifikat tanahnya sebagai jaminan untuk biaya syukuran pentahbisan dan misa perdana Pater Vincent, anak semata wayang mereka. Kini ia bertugas sebagai misionaris di Mogincual Keuskupan Nacala Mocambique. Tak soal berutang bahkan punah keturunan. Yang penting mereka bisa mempersembahkan yang paling berharga bagi Tuhan dan Gereja.
Susah memang sudah biasa. Namun, beban utang dan ancaman rumah disita bank bikin galau. Semana Santa makin dekat. Hotel-hotel sudah di-booking habis sejak beberapa bulan lalu. Penginapan susteran dinaikkan 3 kali lipat menjadi 800 ribu per kamar. Juga rumah susun bantuan pemerintah untuk keuskupan dinaikkan menjadi 650 ribu per kamar. Harga yang sulit dijangkau untuk peziarah dari pulau atau wilayah sekitar. Sudah biasa setiap tahun Mama Eta menerima peziarah sekitar belasan orang di rumahnya tanpa dipungut sesen pun. Semana Santa, menurut pesan leluhur, adalah hari baik buat serewi nagi tana.
****
”Beras tinggal satu kali masak. Uang cicilan di bank 2 hari lagi jatuh tempo,” kata Mama Eta mengingatkan Besa Betu. Mama Eta merapikan lilin yang dibuatnya sendiri dari bekas lelehan lilin yang dikumpulnya selama beberapa bulan terakhir.
”Besok kita kedatangan 3 orang, 3 hari hari lagi 9 orang tamu. Beras di pasar sudah naik lagi. Lima belas ribu rupiah per kilo.”
Besa Betu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Seperti biasa ia pergi keluar rumah. Mama Eta pun bergegas ke pekuburan untuk pasang lilin dan berdoa. Jiwa-jiwa tersesat menerima terang oleh doa-doa. Dan leluhur suci mendoakan anak-cucunya yang masih berziarah di dunia.
Setelah melipat pakaian dan merapikan peralatan dapur, Mama Eta menunggu Besa Betu yang belum pulang-pulang. Sudah pukul 23.30. Sepi sekali rasanya. Ia membayangkan seandainya anaknya tak jadi Pastor mungkin mereka tak sesusah sekarang. Tinggal mengasuh cucu. Mama Eta segera sadar. Tak boleh ada penyesalan. Harus selalu setia mendukung anaknya menjadi imam Tuhan dengan doa yang tak henti-henti.
”Mama Bunda, ampun salah-dosa kami, ampun salah dosa kami.”
Entah sudah berapa kali kalimat itu keluar dari mulut Mama Eta. Semakin malam, semakin khusyuk ia berdoa. Besok perayaan hari Minggu Ramu di mana Yesus disambut masuk kota Yerusalem. Sambutan mengawali pengkhianatan dan penyangkalan dari muridnya sendiri. Mama Eta harus pergi misa pertama pukul 06.00. Sambil memikirkan besok 3 orang tamu peziarah datang, beras habis, cicilan bulan ini lusa akan jatuh tempo, ia pun tertidur.
Mama Eta kaget pukul 05.00. Spontan ia membuat tanda salib lalu sujud pada foto Mama Bunda. Segera ia keluar mengecek Besa Betu yang tertidur mabuk di Sofa. Ia meraba pipi Besa Betu dengan sedih. Tak tega ia bangunkan suaminya. Bergegas ia ke dapur membuatkan kopi dan pisang goreng. Dengan hati-hati, ia letakkan di meja dan menutupnya dengan tudung saji. Mama Eta meraih handuk dan langsung ke kamar mandi.
Di Gereja Katedral, Mama Eta duduk tepat berhadapan dengan Patung Bunda Maria. Ia berdoa buat anaknya di tanah misi serta para imam, biarawan dan biarawati, suami yang belakangan suka mabuk, tamu peziarah yang akan tiba, kelancaran perayaan Semana Santa serta semua yang sakit dan bersusah.
”Mama Bunda, beras kami habis, cicilan bulan ini besok batas jatuh tempo dan sebentar 3 tamu peziarah sudah tiba di rumah….”
Doa Mama Eta terpotong oleh lagu perarakan ”Hosana Putera Daud” yang dinyanyikan dengan meriah oleh kor dari lingkungan Kristus Salvator. Sepanjang misa Mama Eta coba berkonsentrasi penuh, namun tak selalu berhasil.
Beres misa, sebagaimana biasa Mama Eta membantu menghitung uang kolekte. Waktu makin kasip. Uang belanja belum ada. Ia masih harus ke pasar, pun belum masak buat makan siang. Saat ini ia pegang uang kolekte di tangan. Uang umat, uang paroki, uang gereja. Pinjam rasanya tidak mungkin. Romo Paroki lagi sibuk bersiap mendampingi Yang Mulia Bapak Uskup untuk misa kedua. Ia memejamkan matanya.
”Mama Bunda, saya pinjam pakai uang ini 300 ribu. Begitu dapat uang saya ganti”, katanya dalam hati sambil tangannya menyelipkan uang 300 ribu di saku bajunya.
Mama Eta gemetar. Keringat mengalir dari wajah, leher dan tangannya. Ia menyetor uang yang lain. Menggabungkan dengan yang dihitung oleh Ibu Udis dan Mama Katarina lalu pulang dan terus ke pasar. Pulangnya langsung masak. Sebagian ikan dan sayur dititipkan pada kulkas tetangga. Kulkas Mama Eta rusak dan belum diperbaiki.
Rupanya apa yang dilakukan Mama Eta tadi dilihat oleh Ibu Udis. Hanya dalam hitungan jam tersebar kabar bahwa Mama Eta mencuri uang kolekte.
”Pasti hal itu dilakukannya selama ini. Baru kali ini ketahuan.”
”Anaknya Pastor, Mamanya begitu. Bikin malu saja,” sambung Ketua Lingkungan begitu mendengar cerita dari Mama Katarina.
”Pelayan di Kapela Mama Bunda kalau tabiat macam itu baiknya dipecat saja.”
”Dasar tai terada! Punya Tuhan saja diembat.”
Mendengar istrinya demikian, Besa Betu langsung pergi ke saudarinya di Adonara tanpa memberi tahu Mama Eta. Ketika ke Kapel Tuan Ma semua mencibir Mama Eta. Ia lalu ke Pastoran untuk mengakui dan menjelaskan apa yang diperbuatnya, namun Romo Paroki tak memberi muka. Tetangganya mengembalikan ikan dan sayur yang ia titipkan. Katanya, mereka tak mau simpan barang haram di kulkasnya. Nanti bisa bau rumahnya. Mama Eta hanya menangis. Tangis yang ia sembunyikan dari tamu peziarah yang inap di rumahnya.
Daripada bikin orang tak nyaman, Mama Eta memilih tak bertugas sebagaimana biasanya di kapel. Ia hanya menangis di hadapan foto Tuan Ma di kamarnya.
Mama Eta merasa seorang diri. Tanpa suami dan anak di samping. Bagai pesakit di hadapan tetangga, teman, dan keluarga. Ia mengikuti rangkaian prosesi Jumat Agung dari dalam kamarnya. Doa, ratapan, nyanyian terdengar jelas dari pengeras suara. Mama Eta merasa bagaimana hati Mama Bunda mengikuti jalan salib putranya. Anak semata wayang jadi musuh banyak orang. Musuh agama dan negara. Dihukum mati dengan cara disalib sebagai penjahat. Mama Bunda merasakan setiap hinaan, cercaan, siksa yang dialami sang putra. Setia sampai memeluknya dalam keadaan tak bernyawa setelah diturunkan dari salib. Tak ada tempat buat pemakaman. Hanya seorang Yusuf dari Arimatea yang merelakan makam keluarganya bagi kubur sang putera. Semua disimpan dalam hatinya.
”Mama Bunda…”
Air mata Mama Eta terus mengalir.
Lewotala, Maret 2023
Catatan
Tuan Ma: Bunda Maria Ibu Yesus
Mama Bunda: Sapaan (akrab) orang Larantuka terhadap Tuan Ma
Semana Santa: Pekan Suci dalam rangkaian perayaan Paskah
Korke: Rumah adat kampung suku Lamaholot
Serewi nagi tana: Melayani/mengabdi kampung halaman
Minggu Ramu: Minggu Daun-Daun
Tai terada: Tak punya apa pun (secara materi)
Silvester Petara Hurit. Alumnus Jurusan Teater STSI Bandung (ISBI sekarang). Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan iklim teater dan sastra di Flores Timur NTT.
Trie Aryadi Harijoto, lahir di Bandung, 1984. Pendidikan: 2002 Seni Grafis FSRD ITB. Aktif sebagai seniman di Bandung. Sejak 2005 hingga 2023 terlibat dalam bebebrapa pameran, antara lain pameran bertajuk Preliminaries di Orbital Dago Bandung tahun 2023 dan pameran Human + Space Galeri di Soemardja, Bandung tahun 2005.