Dilema Anies Baswedan dan PDI-P, Mungkinkah Skema Peta Politik Baru?
Belum diumumkannya calon gubernur Jakarta oleh PDI-P menyisakan pertanyaan: ada apa di balik hal itu?
PDI Perjuangan belum mengumumkan calon gubernur Jakarta pada Senin (26/8/2024). Padahal, perbincangan di media sosial sudah santer terdengar nama Anies Baswedan yang menjadi kandidat terkuat Pilkada Jakarta dan PDI-P sebagai satu-satunya kemungkinan partai pengusung.
Di media sosial hari itu beredar foto Anies Baswedan dan Rano Karno mengenakan baju berwarna merah di sebuah ruangan. Netizen berkomentar bahwa pasangan tersebut cocok sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Bagi simpatisan Anies, terpantau di berbagai kanal media sosial sangat menginginkan Anies bisa maju di pilkada dengan diusung PDI-P. Pertimbangan mereka cukup pragmatis karena bagi Anies hanya melalui partai ini yang bisa menghantarkan menjadi gubernur setelah sebelumnya gagal di ajang Pilpres 2024.
Adapun bagi pemilih PDI-P, Anies adalah sosok yang dianggap relatif ”menjamin” kemenangan PDI-P setelah sebelumnya sempat ”dikucilkan” oleh lawan politik (KIM plus) karena terantuk ambang batas 20 persen.
Keinginan itu juga tecermin di tingkat pengurus DPD Jakarta ketika hari Minggu (25/8/2024) Anies mengunjungi kantor DPD PDI-P Jakarta dan diterima jajaran pengurus dengan suasana optimisme. Dilaporkan bahwa kedatangan Anies adalah untuk ”membicarakan program-program untuk wong cilik, politik tata ruang dan kelestarian lingkungan”.
Harapan bagi bersatunya Anies Baswedan dengan PDI-P sempat membuncah seakan menepikan catatan kontestasi yang pernah ingar-bingar terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Alih-alih mengingat kisah sikap politik kedua kubu politik yang diametral berhadapan karena isu primordialitas maupun penodaan agama (saat itu), sebagian simpatisan dan pengurus PDI-P justru tampak menginginkan PDI-P mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta.
Namun, siapa sangka, di saat keinginan di sebagian kalangan seakan sudah menguat mencalonkan Anies Baswedan, suara-suara berbeda justru datang dari tokoh-tokoh kunci PDI-P. Di antaranya Ketua DPP PDI-P Ganjar Pranowo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), serta Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Dalam pidato di acara pengumuman nama calon kepala daerah, Jumat (23/8/2024), di Jakarta, Megawati mempertanyakan kesungguhan Anies bergabung dengan PDI-P. ”Eh.., enak aja yah..ngapain aku suruh dukung Pak Anies, dia bener nih kalo mau sama PDI? Kalau mau sama PDI-P jangan gitu dong yah, tinggal mau enggak nurut ya,” kata Megawati. Megawati mengomentari keinginan dari Satgas PDI-P yang menyuarakan dukungan ke Anies dengan spanduk di depan kantor DPP PDI-P di Jakarta.
Tak hanya sekali Megawati menyuarakan keengganan untuk menerima dengan tangan terbuka kedatangan Anies Baswedan. Ganjar Pranowo juga lebih memilih PDI-P mengusung kader internal di pilkada Jakarta. ”Kalau Jakarta siapa, Ahok. Pendeng gepeng tetap banteng,” kata Ganjar dalam wawancara eksklusif dengan Kompas.com yang tayang pada Minggu (25/8/2024).
Sikap jajaran pimpinan PDI-P yang berbeda dengan harapan sebagian publik, baik Jakarta maupun luar Jakarta, itu tak ayal menimbulkan tanda tanya karena seakan tak mengakomodasi keinginan publik. Terlebih dalam kasus Pilkada Banten, di mana Airin Rachmi Diany juga bukan merupakan kader partai, tak banyak terdengar resistensi pencalonan dan sudah resmi mendapatkan rekomendasi partai.
Seperti diketahui, Anies dan Airin sama-sama ditinggalkan parpol pengusung utamanya. Anies Baswedan ditinggalkan PKS setelah partai itu menyatakan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus, karena menganggap Anies gagal mencari tambahan kursi parpol pengusung untuk menggenapi ambang suara 20 persen.
Adapun Airin Rachmi Diany ditinggalkan Golkar setelah sebelumnya sempat dideklarasikan sebagai calon gubernur dari Golkar. Belakangan, Golkar justru memilih bergabung dengan KIM plus dan mencalonkan Andra Soni-Dimyati Natakusumah sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Banten di Pilkada 2024.
Hingga tulisan ini dibuat, Airin telah resmi diusung PDI-P dengan pasangan calon wakil gubenur Ade Sumardi, tetapi Anies Baswedan bernasib berbeda. Pencalonannya masih tertahan berbagai rumor termasuk rumor batalnya PDI-P mengusungnya sebagai gubernur dan malahan berbalik mencalonkan kader internal, yakni Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang berpasangan dengan mantan gubernur Banten Rano Karno.
Subyektivitas-sentimen emosional kepartaian
Mencuatnya harapan sebagian kader PDI-P ataupun simpatisan Anies Baswedan untuk diusung dalam Pilkada 2024 tak lepas dari tingginya elektabilitas dalam berbagai survei. Dalam survei Kompas dengan metode tatap muka pada Juni 2024 terhadap 400 responden warga Jakarta dengan marginoferror ±4,9 persen, Anies Baswedan meraih elektabilitas 29,8 persen pada model pertanyaan top of mind, dengan tingkatstrong voters atau pasti akan memilih sebesar 39,0 persen.
Pada peringkat berikutnya, Basuki Thahaja Purnama (Ahok) dengan elektabilitas 20,0 persen dan tingkat strongvoters mencapai 34,5 persen. Baik Ahok maupun Anies sama-sama memiliki tingkat resistensi (pasti tidak akan memilih) sekitar 17 persen. Di tempat ketiga diraih Ridwan Kamil dengan elektabilitas 8,5 persen, tingkat strongvoters 24 persen dan resistensi 12 persen.
Hasil survei Juni 2024 memperlihatkan Anies ataupun Ahok tampaknya memiliki ceruk pemilih di DKI Jakarta yang captive (pasti) dan loyal, tetapi secara sikap politik berhadap-hadapan. Pemilih kedua kandidat memiliki unsur-unsur pilihan ”sosiologis-psikologis” yang besar dengan antara satu dan lainnya cenderung menisbikan. Jika dirunut, latar belakang pemilih ini juga memiliki corak identitas sosial yang mencerminkan pemilih nasionalis-religius dan pemilih nasionalis-sekuler.
Dalam bentuk analisis, jika terjadi head to head Anies melawan Ahok, terlihat posisi diametral di mana jika Ahok mencalonkan diri maka ada 68 persen pemilih Anies yang tak akan memilihnya dan jika Anies yang mencalonkan diri maka ada 76,1 persen pemilih Ahok yang tak akan memilihnya.
Paparan tersebut membuktikan bahwa Pilkada Gubernur Jakarta tak terlepas dari aspek ”sentimen” politik yang cukup kental, khususnya antara kubu pemilih Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama. Kondisi ini tak terlepas dari kontestasi di Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 ketika kedua nama tersebut berhadap-hadapan diiringi ketatnya suasana politisasi identitas sosial (Kompas.id, 1/7/2024).
Survei terbaru yang memotret Pilkada DKI Jakarta adalah survei SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) yang dilakukan pada 8-12 Agustus 2024 dengan 500 responden dan metode double sampling dengan hasil survei dibobot agar sepadan dengan proporsi populasi. Margin of error diperkirakan 4,5 persen.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Celah Peluang dalam Bayang Sosok Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta
Dalam survei tersebut elektabilitas Anies Baswedan unggul, baik terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Kaesang Pangarep, maupun Ridwan Kamil. Dalam format head to head dua nama, elektabilitas Anies mencapai 42,8 persen, sedangkan Ridwan Kamil 34,9 persen. Adapun elektabilitas Anies melawan Ahok cenderung lebih kompetitif dimana Anies meraih 37,8 persen, sedangkan Ahok 34,3 persen.
Jika dilacak lebih jauh, pemilih Anies tampak masih banyak ditopang dari pemilihnya di Pilpres 2024. Mayoritas pemilihnya adalah pemilih PKS (94 persen), Nasdem (76 persen), dan PKB (73 persen). Adapun pemilih PDI-P yang digadang-gadang menjadi pengusung Anies hanya berjumlah 8 persen yang memilih Anies. Pemilih PDI-P justru jauh lebih banyak memilih Ridwan Kamil, yaitu sebanyak 39 persen.
Pemilih PDI-P juga tampak sangat ragu-ragu memilih Anies Baswedan dengan sebanyak 53 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab dalam survei SMRC tersebut. Tidak ada pemilih dari partai lainnya yang memiliki keraguan kepada Anies Baswedan seperti halnya pemilih PDI-P.
Anies cenderung unggul atas Ridwan Kamil dalam kategori pemilih laki-laki, generasi Z, berpendidikan SD dan perguruan tinggi, beretnis Betawi dan merupakan pekerja kerah biru. Adapun Ridwan Kamil cenderung unggul di kelompok beretnis Sunda dan profesi ibu rumah tangga. Sementara dalam kategori generasi lanjut usia, pemilih berpendidikan SLTA dan pekerja kerah putih cenderung berimbang.
Sebagai catatan, survei tersebut dilakukan sebelum 22 Agustus 2024 saat terjadi demo besar-besaran mahasiswa di berbagai kota memprotes rencana revisi Undang-undang Pilkada oleh DPR yang isinya tidak selaras dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Saat survei itu juga dilakukan sebelum terbuka peluang terbuka sungguh-sungguh bagi PDI-P untuk berkoalisi dan mengusung Anies Baswedan.
Prioritas rasionalitas-elektabilitas
Dengan minimnya sumbangsih responden pemilih PDI-P kepada elektabilitas Anies Baswedan tersebut, wajar jika Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyuarakan keengganannya untuk segera mengakomodasi mengusung Anies dalam Pilkada Jakarta. Bagaimanapun, terlihat ada resistensi di kalangan pemilih PDI-P untuk memilih Anies dalam Pilkada Jakarta, baik secara kuantitatif hasil survei, kualitatif ideologis, maupun suara ketokohan kader parpol.
Sulit dimungkiri, pilihan kepada Anies Baswedan dalam Pilkada DKI sangat terkait dengan sejauh mana PDI-P hendak mencapai tujuan politik di Jakarta. Apakah kemenangan di Jakarta merupakan tujuan akhir ataukah ada tujuan politik lain yang ingin dicapai, misalnya keutuhan dan soliditas kader dan pemilih yang secara ideologis tidak mudah didekatkan kepada Anies Baswedan.
Bagaimanapun, terlihat ada resistensi di kalangan pemilih PDI-P untuk memilih Anies dalam Pilkada Jakarta.
Dengan format minimnya dukungan pemilih PDI-P terhadap Anies Baswedan, bisa diperkirakan bahwa sebenarnya tak banyak warga PDI-P di Jakarta yang memiliki harapan diusungnya Anies oleh PDI-P. Di sisi lain, mereka memiliki harapan diusungnya kader PDI-P sendiri untuk bertanding di Jakarta, termasuk dalam hal ini munculnya nama Basuki Tjahaja Purnama, dan kini muncul pula nama Rano Karno dan Pramono Anung.
Meski demikian, secara elektoral tampaknya sulit mengharapkan ada kader internal PDI-P yang benar-benar mampu mengimbangi Anies Baswedan dalam pilkada-jika lawannya Anies. Nama Rano Karno, Pramono Anung, serta Tri Risma cenderung rendah elektabilitasnya. Patut diingat, mesin politik PDI-P di Jakarta tak kuat-kuat amat tecermin dari penguasaan 15 kursi parlemen dari total 106 kursi DPRD Jakarta.
Menarik perhatian pemilih Jakarta juga bukan perkara mudah karena mereka yang memilih Anies dalam Pilpres 2024 mencapai 2,6 juta suara. Belum lagi menilik fanatisme pemilih Anies di PKS, yang merupakan pemenang pemilu dengan 18 persen atau mencapai 1 juta lebih pemilih.
Pada akhirnya, di atas kertas, pilihan publik Jakarta adalah antara Ridwan Kamil dari KIMplus dan kandidat yang akan dimajukan PDI-P, serta kandidat independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Kandidat PDI-P akan terantuk pada mesin politik parpol yang jauh lebih kecil ketimbang KIMplus, tetapi memiliki dukungan suara publik yang jauh lebih besar(jika Anies yang dipilih), yaitu gabungan antara pemilih Anies di pilpres dan pemilih dari basis nasionalis
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Pertimbangan Rasional Pemilih Jakarta
Adapun jika Pramono Anung-Rano Karno yang dipilih, PDI-P bisa jadi akan dihadapkan pada kekuatan mesin politik partai yang lebih kecil dibandingkan dengan Ridwan Kamil dan dukungan suara publik yang juga relatif lebih kecil karena absennya pemilih kaum religius, serta membesarnya kemungkinan golput.
Sekarang semuanya terpulang kepada pimpinan PDI-P apakah kandidat yang diusung cukup memberikan keyakinan bahwa ideologi dan visi misi partai akan mampu terus diemban tak peduli hasilnya kalah atau menang. Atau, sebaliknya, menempatkan pertimbangan-pertimbangan baru yang membuat lanskap politik Jakarta tak sekadar hitam-putih, tetapi juga berwarna-warni mengakomodasi berbagai kemungkinan dan membuat skema peta politik baru yang lebih berprospek. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pilkada Jadi Ajang Pembuktian Kader Partai