PKPU Menjawab Keinginan Publik
Revisi peraturan KPU yang mengakomodasi putusan MK untuk menurunkan ambang batas pencalonan memenuhi harapan publik.
Pilkada serentak 2024 diharapkan menjadi ajang kompetisi bagi banyak kandidat. Revisi peraturan Komisi Pemilihan Umum yang mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi untuk menurunkan ambang batas pencalonan memenuhi harapan publik tersebut.
Kesimpulan ini tertangkap dari hasil jajak pendapat Kompas 19-21 Agustus 2024. Lebih dari tiga per empat responden dari jajak pendapat cenderung berharap pemilihan kepala daerah yang akan digelar pada 27 November 2024 mendatang menghadirkan sosok-sosok calon kepala daerah dengan pilihan yang lebih banyak.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Separuh responden di antaranya (49,9 persen) berharap jumlah pasangan calon yang maju di pilkada nanti lebih dari dua pasangan kandidat. Harapan publik ini terpenuhi seiring dengan revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Revisi yang mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pilkada ini telah disetujui DPR.
Sebelumnya MK mengeluarkan putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 20 Agustus, pekan lalu.
Putusan ini mengubah Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang No 10/2016 yang sebelumnya mensyaratkan ambang batas parpol dalam mengajukan paslon di pilkada dengan syarat memiliki minimal 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah yang hanya berlaku bagi parpol peraih kursi DPRD.
MK memutuskan pasal tersebut inkonstitusional dan kemudian menyatakan bahwa ambang batas parpol mengajukan paslon di pilkada ditentukan berdasarkan perolehan suara sah yang disesuaikan dengan jumlah penduduk yang masuk daftar pemilih tetap (DPT).
Baca juga: Materi Revisi PKPU Pilkada Sesuai Putusan MK Disetujui, Menkumham Janji Segera Diundangkan
Dengan ketentuan ini, syarat minimal perolehan suara parpol/gabungan parpol tidak lagi 25 persen untuk bisa mengajukan paslon di pilkada. Namun, dengan rentang 6,5-10 persen disesuaikan dengan besaran jumlah pemilihnya.
Putusan MK ini membuka kesempatan lebih lebar munculnya lebih banyak paslon yang diusung oleh parpol. Di Pilkada Jakarta, misalnya, sebelumnya bursa pencalonan didominasi oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung pasangan Ridwan Kamil–Suswono dan satu bakal kandidat dari jalur perseorangan, yaitu Dharma Pongrekun dan Kun Wardana.
Dengan putusan MK ini, terbuka peluang munculnya pasangan calon baru. Salah satunya dari poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang berdasarkan putusan MK bisa mengajukan paslon sendiri tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain. Selain PDI-P, sebenarnya ada tujuh parpol lainnya, termasuk yang sudah bergabung dalam KIM, yang dapat secara mandiri mengusung kandidatnya.
Baca juga: Pascaputusan MK, PDI-P Akhirnya Tetapkan Airin sebagai Cagub Banten
Secara nilai, keadaan ini tentunya lebih mendukung iklim positif demokrasi dibandingkan dengan ambang batas terlampau tinggi untuk dicapai sebuah parpol, yang membuat terpangkasnya kesempatan lebih banyak paslon maju di pilkada.
Sayangnya, putusan MK ini sempat diwarnai gerakan politik di DPR, melalui Badan Legislasi, yang mencoba bermanuver politik melalui upaya merevisi UU Pilkada yang sebagian besar tidak menampung putusan MK.
Alhasil, publik yang merasa langkah DPR tersebut melukai cita-cita demokrasi memutuskan turun ke jalan. Gelombang penolakan publik ini terjadi di sejumlah daerah. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Yogyakarta, Makassar, Bandung, Surabaya, dan sejumlah wilayah lain.
Beruntung, pasca-eskalasi demonstrasi tersebut, sikap DPR, pemerintah, dan KPU pada akhirnya tunduk pada putusan MK.
Permainan elite
Sikap publik yang lebih banyak berharap calon di pilkada lebih banyak ini memandang fenomena kotak kosong tak ubahnya sebagai bentuk permainan dari aktor elite politik. Hal ini dikemukakan oleh 36,7 persen responden.
Selain itu, munculnya tren kotak kosong di pilkada, setidaknya sebelum putusan MK di atas, menjadi cerminan gagalnya kaderisasi di internal parpol. Sepertiga responden menyatakan kaderisasi partai yang kurang berjalan baik turut menyumbang sebagai penyebab hadirnya fenomena kotak kosong di pilkada.
Padahal, dalam konteks pencalonan kepala daerah, parpol menjadi pintu masuk utama seorang kandidat maju sebagai calon di pilkada. Meskipun tetap ada peluang maju dari jalur perseorangan, jalur partai tetap menjadi rujukan utama pemilih.
Setidaknya, pengalaman di pilkada-pilkada sebelumnya, jumlah paslon yang memenangi pilkada didominasi paslon yang diusung parpol dibandingkan dari jalur perseorangan.
Publik memandang hadirnya calon tunggal yang kemudian dibarengi fenomena kotak kosong sebagai sesuatu yang bisa mengancam dinamika politik yang semestinya menjadi hal lumrah dalam proses demokratisasi.
Baca juga: Berakhirnya Drama Kotak Kosong
Bagaimanapun, harus diakui, demokrasi tidak bisa mengabaikan aspek kontestasi. Kotak kosong di pilkada berpotensi memandulkan aspek tersebut.
Mengawal demokrasi
Harapan hadirnya banyak paslon di pilkada seperti yang tertangkap dalam jajak pendapat ini dapat dimaknai sebagai keinginan publik bahwa demokrasi selayaknya membuka ruang yang luas demi munculnya sosok-sosok yang tepat sebagai pemimpin di daerah.
Dengan cara pandang di atas, demokrasi selayaknya tidak dipergunakan sebagai sarana melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu melalui intrik politik. Pendidikan demokrasi semestinya berjalan maju dan menjadikan segala proses politik mengedukasi publik.
Baca juga: Dilema Pendidikan Politik di Indonesia
Tidak heran jika kemudian publik cenderung menilai demokrasi di Indonesia terganggu dengan adanya fenomena calon tunggal di pilkada. Separuh lebih responden dalam jajak pendapat ini menyepakati hal tersebut.
Sementara itu, terdapat 46,3 persen responden merasa proses demokrasi tidak terganggu dengan fenomena kotak kosong. Terbelahnya posisi responden dalam penilaian kotak kosong ini menunjukkan bahwa demokrasi dimaknai oleh publik dalam sebuah dilema sebagai substansi di satu sisi dan sebagai mekanisme di sisi yang lain.
Sebagai substansi, demokrasi yang semestinya memunculkan persaingan politik yang egaliter tentu berisiko tidak terpenuhi dalam fenomena calon tunggal. Sebaliknya, sebagai mekanisme memang tidak ada aturan yang dilanggar dalam kemunculan kandidat tunggal.
Akan tetapi, sebagai sebuah bangsa yang bersepakat demokrasi sebagai sistem politik negara, selayaknya demokrasi dimaknai dalam tataran yang paling substansial. Keinginan publik memiliki lebih banyak alternatif pilihan dalam jajak pendapat ini, menjadi hal yang tidak dapat diabaikan.
Baca juga: KPU Ikut Putusan MK soal Pilkada 2024
Keberhasilan massa yang turun ke jalan demi mendukung putusan MK memperkuat pertimbangan tersebut. Posisi keberpihakan kepada publik ini sepatutnya dikawal hingga saat tenggat pendaftaran pasangan calon di pilkada pada 27-29 Agustus mendatang.
Seperti harapan publik, proses tahapan pencalonan kandidat di pilkada nanti jangan sampai mengabaikan putusan dari lembaga penjaga konstitusi. (VINCENTIUS GITIYARKO/LITBANG KOMPAS)