Aksi Massa Pengawal Putusan MK Curi Perhatian Dunia
Media asing menyoroti aksi kawal putusan MK, terutama terkait dampak politik dan ekonominya.
Dunia internasional juga mengikuti aksi demonstrasi yang mengawal putusan Mahkamah Konstitusi dan melawan upaya Dewan Perwakilan Rakyat melakukan revisi Undang-Undang Pilkada yang mengabaikan putusan lembaga penjaga konstitusi tersebut.
Tangkapan media-media internasional turut menyoroti bagaimana situasi politik di Indonesia mencapai titik nadir. Di tengah sorotan komunitas internasional, pemerintah perlu membuktikan komitmen untuk menjaga demokrasi.
Pada Kamis (22/8/2024), ribuan demonstran memadati kantor-kantor pemerintahan di sejumlah kota di Indonesia. Di Jakarta, massa mengepung Gedung DPR RI juga memadati beberapa areal seperti kantor MK dan Istana Merdeka. Selain Jakarta, kota lain, seperti Makassar, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya, juga ikut membara.
Tuntutan gelombang demonstran di sejumlah daerah ini terfokus pada satu hal, yakni menuntut DPR dan pemerintah untuk menaati putusan MK terkait dengan aturan main di pemilihan kepala daerah mendatang.
Bagi mereka, munculnya rancangan undang-undang yang berbeda dari putusan MK tersebut menjadi pembangkangan terhadap konstitusi dan juga demokrasi. Terlebih lagi, apabila bermuara pada kepentingan golongan tertentu untuk bisa berkontestasi dalam pemilihan meski belum memenuhi syarat sesuai dengan UU Pilkada.
Sampai saat ini, bisa dibilang gerakan massa berhasil memberi tekanan kepada pemerintah. Buktinya, rencana paripurna RUU problematik ini berusia tak sampai satu hari. Setelah didesak demonstran, DPR pun menyerah dan memberikan pernyataan tegas terkait komitmen untuk mematuhi putusan MK sebagai acuan dalam penetapan calon di pilkada.
Meskipun begitu, posisi pemerintah dan anggota legislatif yang kerap plin-plan meninggalkan preseden buruk di benak masyarakat. Bagi sebagian orang, tidak ada yang benar-benar bisa menjamin bahwa pemerintah dan DPR tidak menyiapkan manuver di tikungan akhir sebelum penetapan calon. Tak heran, kelompok massa masih terus mengawal isu ini dan memastikan bahwa putusan MK lah yang benar-benar dipakai nantinya.
Namun, harapan segar terjadi di Minggu (25/8/2024) setelah Komisi II DPR menyetujui Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang mengakomodasi putusan MK. Fakta ini setidaknya menjadi jaminan bahwa putusan MK menjadi rujukan dalam pelaksanaan pilkada serentak pada November mendatang.
Baca juga: Putusan MK Diterima, Revisi UU Pilkada Ditolak
Coreng demokrasi
Huru-hara yang terjadi di politik Indonesia ternyata juga menarik perhatian dari dunia. Setidaknya, isu ini telah diberitakan oleh beberapa media internasional yang prominen, seperti ABC News, Reuters, NBC, Al Jazeera, dan Time. Dari tangkapan media-media ini, dapat ditarik benang merah, yakni munculnya tiga topik bahasan yang cukup menonjol.
Topik pertama yang dibahas oleh beberapa pemberitaan media internasional ini ialah substansi dari demonstrasi yang terjadi. Secara umum, tangkapan dari pemberitaan-pemberitaan tersebut cukup tepat terkait dengan RUU Pilkada dan dampaknya terhadap jalannya pemilihan kepala daerah ke depan.
Berita dari Newsweek, laman pemberitaan dari Amerika Serikat, menjabarkan bahwa RUU Pilkada bisa memperpanjang kekuasaan Presiden Joko Widodo di politik Indonesia. Dalam artikel ini disebutkan, pengesahan RUU Pilkada akan memberikan jalan bagi putra presiden, Kaesang Pangarep, untuk bisa berkontestasi di Pilkada Jawa Tengah.
Kesimpulan serupa juga tertangkap dari pemberitaan Reuters. Lebih mendalam, media ini membaca bahwa demonstrasi kemarin juga menjadi titik kulminasi kemarahan warga akibat upaya konsolidasi kekuasaan secara ekstrem oleh Presiden Jokowi. Dalam artikel tersebut dipaparkan, aksi massa ini tak terlepas dari beberapa peristiwa mengecewakan, seperti perubahan aturan pemilu yang memberi jalan untuk Gibran Rakabuming Raka di pilpres lalu.
Selaras, artikel dari Al Jazeera menangkap bagaimana kekacauan ini bermula dari gelagat nepotisme dari Presiden Jokowi. Mirip dengan laporan dari Reuters, artikel ini menerangkan secara kronologis bagaimana peristiwa Gibran di pemilu bisa berujung pada demonstrasi besar-besaran terkait RUU Pilkada.
Analisis dari artikel ini menunjukkan bahwa sulit untuk memisahkan agenda RUU tersebut dengan upaya untuk memperpanjang kekuasan Presiden Jokowi setelah masa pemerintahannya habis.
Baca juga: Konsinyering Digelar Terbuka, PKPU Calon Kepala Daerah Disepakati Ikuti Putusan MK
Kekerasan aparat
Selain soal substansi isu dalam demonstrasi, beberapa media internasional juga menyoroti aksi represif dari pihak kepolisian. Sebuah artikel dari Time menangkap bagaimana polisi tidak kuasa menahan diri untuk menghajar para demonstran. Dalam artikel tersebut digambarkan, bagaimana polisi membubarkan massa dengan meriam air dan tembakan gas air mata.
Selain itu, tangkapan dari The Strait Times juga menyampaikan bahwa polisi menangkap 301 orang yang ikut dalam demonstrasi. Lebih lanjut, artikel dari DW menyoroti bagaimana seolah polisi yang berpelindung dan bersenjata lengkap sudah siap untuk bertarung dengan warga sipil yang berdemonstrasi.
Kekerasan oleh aparat kepolisian ini direspons negatif oleh organisasi Amnesty International. Organisasi ini menyoroti beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam pengamanan demonstrasi lalu.
Pertama, lembaga ini menemukan terjadinya penangkapan paksa terhadap demonstran tanpa adanya proses hukum dan bukti yang memadai. Parahnya, aksi represif ini justru dialami oleh para pelajar yang masih berada di bawah umur.
Hal kedua yang disoroti oleh Amnesty International ialah tentang penggunaan kekerasan secara berlebihan oleh pihak kepolisian kepada demonstran.
Di lapangan, tercatat puluhan demonstran luka-luka akibat menerima bogem mentah dari petugas pengamanan yang represif. Tentunya, kekerasan yang dialami oleh demonstran yang ditahan paksa bisa jadi lebih brutal karena tidak ada saksi atau kamera yang bisa melindungi.
Kekerasan yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian ini makin mencoreng citra Indonesia di mata dunia. Seperti disebutkan dalam catatan Amnesty International, kebrutalan polisi ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak serius untuk merawat demokrasi. Sebab, hak warga negara untuk menyampaikan pendapat menjadi salah satu syarat mendasar dari demokrasi yang sehat.
Baca juga: Pascaputusan MK, PDI-P Akhirnya Tetapkan Airin sebagai Cagub Banten
Dampak ekonomi
Selain dinilai buruk secara politik, peristiwa kemarin ternyata juga berpotensi menimbulkan gejolak ekonomi. Hal ini setidaknya tertangkap dari pemberitaan media AS, Bloomberg, yang berfokus pada isu-isu ekonomi. Dalam artikelnya, media ini menyoroti bagaimana demonstrasi besar-besaran lalu membuat pasar modal Indonesia sedikit goyah meski akhirnya kembali normal.
Sorotoan Bloomberg ini perlu dijadikan alarm keras bagi pemerintah untuk tidak bermain-main dengan konstitusi. Sebab, huru-hara akibat syahwat politik dimaknai para pemodal internasional sebagai pertanda bahwa Indonesia merupakan pasar yang masih tidak stabil dan rentan untuk mengalami shock. Keraguan-keraguan ini pun akan makin menjadi penghalang mereka untuk berinvestasi besar dalam pembangunan di Indonesia.
Tak ayal, di masa transisi ini, seluruh elemen politik bangsa perlu untuk benar-benar berpikir dengan jernih. Di detik-detik krusial ini, semua mata tertuju pada Indonesia dan bagaimana negara ini bisa melanjutkan estafet kepemimpinan politik dengan mulus tanpa berkompromi pada nilai-nilai demokrasi. Jangan sampai, masa depan politik dan ekonomi negara harus dikorbankan hanya untuk kepentingan sosok tertentu. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: ”Plot Twist” Menjelang Pendaftaran Calon Kepala Daerah yang Menguras Emosi