Naik Turun Dukungan Publik pada Pemerintahan Jokowi di Saat Kritis
Di ujung pemerintahannya, citra positif dan ”legacy” Presiden Jokowi dipertaruhkan oleh polemik revisi UU Pilkada.
Sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus kepala negara, martabat tertinggi yang layak dipertahankan saat ini adalah bagaimana peralihan kekuasaan kepada presiden terpilih Prabowo Subianto dapat berjalan mulus dan program-program pembangunan terus berjalan lancar. Istilah yang sering dipakai adalah bagaimana Presiden Jokowi dapat soft landing dalam mengakhiri pemerintahannya.
Upaya untuk soft landing di akhir kekuasaan sebetulnya sudah terlaksana dengan cukup baik. Berbagai pembangunan program infrastruktur telah mencapai level yang belum pernah dicapai di era pemerintahan sebelumnya. Pembangunan Ibu kota Nusantara (IKN) telah terealisasi seiring dengan target penahapan. Demikian pula proyek-proyek prestisius, seperti kereta cepat Jakarta-Bandung (KCIC), telah dinikmati masyarakat luas.
Tak hanya jalan raya, jembatan, dermaga, waduk, bandar udara, atau pasar tradisional telah dinikmati manfaatnya oleh masyarakat luas. Untuk lapisan masyarakat bawah, berbagai program bantuan sosial berjalan berlapis-lapis hingga sedemikian menjamin keluarga-keluarga miskin untuk tetap mampu bertahan hidup. Belum pernah dalam era reformasi, masyarakat paling bawah mendapatkan begitu banyak program karitatif pemerintah.
Sebagai contoh menonjol adalah keluarga petani karet bernama Heri Harefa (45) yang berdomisili di Desa Fadoro Fulolo, di pelosok Nias Utara. Keluarga Heri yang tinggal di rumah panggung dari kayu merupakan penerima bantuan sosial (bansos) dari Program Keluarga Harapan senilai Rp 400.000 sebulan yang diterimanya sejak 2015 dan Bantuan Langsung Tunai sebesarRp 300.000 yang diterima sejak 2020.
”Uang bansos pemerintah menjadi penopang makan sehari-hari karena hasil dari karet sedang minim,” kata Heri saat ditemui awal Januari 2024 lalu di rumahnya. Dia menjadi kepala keluarga tunggal setelah istrinya pergi meninggalkan rumah begitu saja, menelantarkantiga anaknya, yang dua di antaranya memiliki kelainan mental.
Demikian pula sistem jaminan kesehatan masyarakat belum pernah mencapai tingkat dan skala sebesar saat ini di mana setiap warga negara yang sakit dapat memanfaatkan kartu BPJS Kesehatan yang menggratiskan hampir semua jenis biaya pengobatan. Dengan semua prestasi di ranah pembangunan dan kesejahteraan rakyat tersebut, tak aneh jika publik memberikan apresiasi tertinggi bagi pemerintahan Jokowi.
Itulah sebabnya, ketika dilakukan pengukuran periodik melalui survei nasional angka kepuasan dan apresiasi responden senantiasa meningkat. Jika di awal pemerintahan periode II, Oktober 2019, tingkat kepuasan hanya berada di angka 58,8 persen, maka pada bulan Juni 2024, tingkat kepuasan publik telah mencapai 75,6 persen. Apresiasi tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang pemerintahan periode II dan periode I sekaligus.
Jika ditilik alasan di balik tingkat kepuasan tersebut, menggunakan hasil survei Juni 2024, proporsi responden dengan alasan terbesar adalah karena ’sering mendapatkan bansos’, yaitu sebesar 21,7 persen, kinerja presiden yang baik disuarakan (16,3 persen), dan apresiasi soal pembangunan infrastruktur ada di peringkat berikutnya.
Tak hanya itu, citra personal Presiden Jokowi juga melambung tinggi hingga 89,0 persen, naik 8 persen dari hasil survei sebelumnya. Angka tersebut tergolong tertinggi daripada citra positif di survei-survei sebelumnya. Bandingkan angka tersebut dengan raihan citra positif wapres Ma’ruf Amin yang meraih 70 persen atau naik 6 persen dari survei triwulanan sebelumnya.
Sebagai catatan, pada periode pengumpulan data SKN tersebut, ada sejumlah sorotan publik terhadap Presiden Jokowi, seperti ”cawe-cawe”di pilpres dan dinasti politik. Namun, saat itu publik tampaknya belum terlalu peduli meskipun di berbagai ruang publik digital mulai banyak muncul sindiran terhadap langkah Presiden Jokowi yang dinilai turut berperan dalam Pemilu Presiden 2024.
Hari naas politik
Dengan catatan keberhasilan dan rapor yang sangat baik tersebut adalah sesuatu yang luar biasa bahwa dalam waktu sehari-dua hari publik dan mahasiswa mampu mengorganisasi diri dan melakukan demonstrasi dalam jumlah dan skala nasional. Sempat ada kekhawatiran sekaligus dorongan bahwa peristiwa 22 Agustus 2024 tersebut akan menjadi ”reformasi ’98 jilid II”.
Tak bisa dimungkiri bahwa 22 Agustus 2024 menjadi ”hari naas” bagi citra Presiden Jokowi karena ribuan massa mahasiswa tumpah ruah di berbagai kota mengecam revisi UU Pilkada yang dilakukan Badan Legislatif DPR dan pemerintah. Rancangan (draf) dari revisi UU Pilkada tersebut tak mengakomodasi secara utuh keputusan Mahkamah Konstitusi sehari sebelumnya, yang merevisi ambang batas perolehan suara parpol/koalisi parpol dan syarat usia pencalonan untuk mengusung kepala daerah di pilkada.
Bagaimana mungkin semua prestasi dan hasil kerja pemerintahan Jokowi yang sedemikian gegap gempita selama satu dekade dan dibangun dengan cucuran keringat seakan terhapus oleh sebuah peristiwa revisi undang-undang pilkada? Jawabannya tak lain adalah bahan bakar sosial publik dalam mencermati langkah politik Presiden Jokowi dan koalisi parpol pendukungnya dinilai telah melewati ”ambang batas toleransi publik”.
Ambang batas yang dilanggar itu secara normatif terkait dengan kekuatan hukum putusan MK yang bersifat ”final dan mengikat” sehingga tak bisa ditafsirkan lain, kecuali termaktub dalam putusan MK.
MK memutuskan bahwa ”Pasal 40 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan WaliKota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Di sisi lain, revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada oleh Badan Legislatif DPR telah membangkitkan sikap kritis masyarakat. Mereka kecewa dengan langkah DPR yang ”menyimpangi”putusan MK dengan langsung merevisi undang-undangnya secara langsung tanpa mengacu pada koridor putusan MK. Akibatnya, draft revisi DPR di satu sisi menghambat calon-calon yang difavoritkan publik untuk maju berlaga di pilkada dan di sisi lain membuka jalan bagi Kaesang Pangarep, putra Jokowi, untuk berkontestasi di pilkada.
Dengan ketentuan terbaru UU tersebut, nama-nama seperti Anies Baswedan di Jakarta dan Airin Rachmi Diany di Banten yang merupakan dua sosok dengan elektabilitas tertinggi di wilayahnya kini jadi ”terkatung-katung” karena tak bisa maju di pilkada. Mereka kehilangan parpol atau koalisi yang mengusung di pilkada karena tak memenuhi ambang batas minimal 20 persen suara atau 25 persen kursi DPRD provinsi. Padahal, sebelum terbentuknya Koalisi Indonesia Maju (KIM)-Plus dan agenda politiknya, kedua nama itu potensial dapat maju bersaing untuk meraih kursi gubernur di Jakarta dan Banten.
Sebelum fenomena pembentukan koalisi parpol KIM Plus yang secara konkret mampu mengubah peta dukungan parpol dalam mengusung kandidat calon gubernur, pandangan publik tampaknya telah ”mapan” memperkirakan siapa yang bakal unggul dalam pilkada di daerahnya. Namun, dengan revisi undang-undang, semua konstruksi politik itu menjadi berantakan karena terbukanya peluang bagi parpol-parpol mengusung sendiri calonnya.
Di Pilkada Jakarta, misalnya, publik tampak seakan-akan ”dipaksa” memilih antara paslon dari KIM Plus, Ridwan Kamil-Suswono, atau calon indenden, Dharma Pongrekuen-Kun Wardana. Demikian pula di Banten, publik seakan ”dipaksa” memilih paslon KIM Plus, Andra Soni-Dimyati Natakusumah; di Jawa Barat, publik ”dipaksa” memilih paslon Dedi Mulyadi; demikian pula dalam Pilkada Sumatera Utara ”dipaksa” memilih Boby Nasution.
Secara keseluruhan, ada tujuh provinsi besar yang diincar Koalisi KIM Plus untuk dimenangkan koalisi, meliputi lima provinsi utama di pulau Jawa kecuali DIY, ditambah Sulsel, dan Sumut.
Baca juga: Publik Marah dengan Revisi UU Pilkada: ”Kami Dianggap Bodoh”
Nama Presiden Jokowi mulai terang-terangan disebut para mahasiswa yang berdemonstrasi besar-besaran (22/8/2024) terkait berbagai manuver politik tajam saat ini. Seandainya dilakukan survei pada hari ini, tampaknya citra positif yang tinggi sebagaimana diperoleh di survei Juni 2024 lalu tampaknya akan sulit kembali diulang.
Namun, masih ada cukup waktu yang sempit untuk memperbaiki citra dan relasi dengan masyarakat luas jika Presiden Jokowi kembali menengok pola penyelesaian masalah di masa lalu yang berorientasi kepentingan publik, berpijak pada konstitusi, menjaga semangat demokrasi, dan mencerminkan ketegasan bertindak sebagai kepala pemerintahan.
Krisis citra Jokowi di masa lalu
Pada masa awal pemerintahan Jokowi periode I, 2014-2019 lalu, sejumlah langkah politik drastis dilakukan Jokowi untuk menstabilisasi pemerintahan di tengah gejolak masyarakat. Saat itu, Presiden Jokowi dihadapkan dengan konflik yang berlarut-larut, KPK vs Polri, yaitu terkait dengan pencalonan nama Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dan kriminalisasi petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Setelah penetapan calon Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, semua komisioner KPK berturut-turut diadukan sejumlah pihak ke kepolisian atas berbagai kasus di masa lampau. Saat itu, semua pimpinan KPK, yaitu Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain, menjadi tersangka karena dilaporkan ke Bareskrim.
Baca juga: Kecurigaan dari Dua Surat KPU ke DPR, Siasat Melawan Putusan MK Belum Berakhir?
Hanya beberapa jam sejak Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto dikabarkan ditangkap, netizen segera bergerak. Poster-poster virtual berisi ajakan berkumpul di Gedung KPK tersebar luas di berbagai platform media sosial, seperti Twitter, Facebook, Path, dan Instagram. Bertebaran slogan, ”Biar 1000 Bambang ditangkap, pemberantasan korupsi tak kan tiarap” atau juga ”KPK, you’ll never walk alone”.
Jajak pendapat 11-13 Februari 2015 mencatat hampir 70 persen responden melihat ada upaya kriminalisasi terhadap para komisioner KPK. Meski demikian, citra KPK juga terkena ’getahnya’ dengan skeptisisme publik jajak pendapat saat itu terhadap kepentingan politik KPK (sebesar 60,8 persen).
Krisis ”cicak vs buaya jilid II” tersebut faktanya membuat tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi periode I berada di angka 53-54 persen, selama April 2015 hingga Oktober 2015. Angka itu terendah di antara seluruh angka hasil surveiKompassepanjang periode I pemerintahan Jokowi (2014-2019).
Poin penting untuk belajar dari peristiwa ini adalah bagaimana ketegasan sikap politik Jokowi sebagai presiden yang baru saja diangkat yang pada akhirnya tidak menetapkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Tindakan itu dinilai publik mempertahankan ’marwah presiden’ dan menghindari kesan sebagai ”presiden boneka” (Kompas, 2/3/2015).
Baca juga: Unjuk Rasa Bergelora, Presiden Tak Bersuara...
Saat ini, masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf masih tersisa kurang dua bulan lagi. Di saat yang sama, publik masih menunggu bagaimana masa pendaftaran kandidat kepala daerah di pilkada apakah akan berjalan lancar.
Publik juga masih akan menilai bagaimana sistem demokrasi dan sistem hukum dijalankan secara fair dan bermartabat oleh partai politik, kandidat, hingga Presiden Jokowi sebagai sentral kekuasaan hingga berakhirnya jabatan 20 Oktober 2024 mendatang. Tiada yang mampu memperbaiki citra dan warisan peninggalan (legacy) Jokowi, kecuali Presiden Jokowi sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Presiden Jokowi Janji Tak Akan Keluarkan Perppu Pilkada