Mengenali Pemilih Jabar Selepas Ridwan Kamil ke Jakarta
Selepas Ridwan Kamil ditarik ke pilkada gubernur Jakarta, kini kontestasi di pilkada Jawa Barat bakal lebih kompetitif.
Pilkada Jabar tampaknya akan memberikan kejutan berupa kandidat yang difavoritkan tak jadi maju ke kontestasi gubernur. Apakah publik Jabar akan merasa kecewa, atau biasa saja akan terpulang kepada seberapa mampu sosok yang berlaga mencerminkan figur yang diinginkan masyarakat Jabar.
Nama Ridwan Kamil yang merupakan gubernur petahana Jawa Barat sebelumnya menjadi semacam ’stempel’ pemenang bagi Pilkada Jabar 2024 karena tingginya raihan elektabilitas hasil survei. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, 15-20 Juni 2024, dengan 500 responden, pada model pertanyaan terbuka (top of mind), RK meraih elektabilitas 36,6 persen.
Angka itu jauh di atas peringkat kedua yang ditempati oleh Dedi Mulyadi yang sebesar 12,2 persen dan semakin terpaut jauh dari peringkat berikutnya, yaitu Wali Kota Bogor Bima Arya (1,6 persen) dan istri Ridwan Kamil sendiri, Atalia Praratya, (1,6 persen).
Sejumlah nama pesohor ada di bawah angka itu, yakni Presiden PKS Ahmad Syaikhu (1,0 persen), komedian AlfiansyahKomeng (0,8 persen), aktor senior Deddy Mizwar (0,8 persen), dan artis film Desy Ratnasari (0,8 persen).
Kepopuleran Ridwan Kamil di Jawa Barat juga hampir absolut karena mencapai 97,4 persen dan tingkat kesukaan yang juga di angka 92,8 persen. Popularitas dan tingkat kesukaan itu unggul atas semua kandidat yang terekam dalam survei ini, termasuk para artis senior dan artis papan atas.
Padahal, di provinsi lain, seperti Banten, misalnya, popularitas tokoh politik, seperti Airin Rachmy Diany, masih di bawah seorang artis senior Rano Karno. Atau seperti di pilkada Jateng, popularitas tertinggi diraih artis muda Raffi Ahmad yang mengalahkan kandidat tertinggi Ahmad Lutfie ataupun Kaesang Pangarep.
Dari segi kepastian niat memilih, lagi-lagi RK mendulang angka tertinggi dengan 48,0 persen responden yang mengenalnya menyatakan pasti akan memilihnya. Besaran angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan raihan Anies Baswedan di Jakarta (39,0 persen), Khofifah Indar Parawansa di Jatim ( 31,6 persen), atau Airin Rachmy Diany (18,5 persen) di Banten.
Tak hanya dari segi preferensi memilih, dari segi resistensi pun RK lagi-lagi memuncaki angka resistensi terkecil sebagai calon gubernur Jabar. Tingkat resistensi RK hanya sebesar 6,2 persen, paling kecil di antara para kandidat gubernur Jabar. Bandingkan dengan resistensi kepada AlfiansyahKomeng (15,4 persen), Desi Ratnasari (17,8 persen), dan Ono Surono (24,6 persen).
Keseluruhan hal itu menegaskan, penerimaan publik Jabar terhadap Ridwan Kamil bersifat ”paripurna”, di mana popularitas, preferensi, dan niat memilih sudah mencapai titik di mana RK hampir mustahil dikalahkan.
Namun, seluruh modal sosial kepercayaan publik itu akhirnya harus dilepaskan RK karena akhirnya patuh atas perintah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan kesepakatan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang meminta RK bertandang untuk bertanding ke Pilkada Provinsi DK Jakarta.
Kejutan di Pilkada Jabar 2008
Dinamika dengan amplitudo politik yang besar tak hanya terjadi saat ini saja. Publik Jabar juga sudah pernah menjalani pada peristiwa pilkada di masa lalu. Jabar membuktikan diri sebagai wilayah yang cair, dinamis, yang bisa membuat pengamat politik berdecak kagum karena hasil yang berbeda dengan prediksi awal.
Tengok saja hasil pilkada Jabar yang memberi hasil mengejutkan di masa lalu saat Pilkada 2008 ketika Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf yang sebelumnya tak difavoritkan tiba-tiba mampu mengungguli tokoh-tokoh sekelas mantan Menteri Perhubungan Agum Gumelar dan petahana gubernur Jabar (2003-2008), Danny Setiawan.
Saat itu pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf menang dengan meraih 40,50 persen suara, mengalahkan Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim (34,55 persen suara), dan Danny Setiawan-Iwan Sulandjana (24,95 persen suara).
Sebelumnya, tak ada yang menyangka bahwa Ahmad Heryawan (Aher) akan mampu memenangi Pilkada Jabar. Hasil jajak pendapat telepon Kompas, 17-19 Maret 2008, dengan 868 responden menunjukkan bahwa pengenalan publik terhadap dua dari tiga kandidat cukup tinggi. Untuk Danny Setiawan, 82,4 persen responden menyatakan tahu Danny adalah gubernur petahana Jawa Barat.
Sementara 86,8 persen responden menyatakan tahu bahwa Agum Gumelar adalah mantan Menteri Perhubungan. Di sisi lain, pengenalan publik terhadap Ahmad Heryawan cukup rendah. Hanya 33,1 persen responden yang menyatakan tahu bahwa Heryawan adalah anggota DPR.
Dari hasil wawancara kualitatif Litbang Kompas dengan DPW PKS Jabar setelah pilkada, diperoleh keterangan bahwa pemasangan Dede Yusuf dengan Ahmad Heryawan baru dilakukan sekitar 3 hari sebelum penutupan pendaftaran paslon.
Bahkan, ironisnya, nama Ahmad Heryawan sudah ”ditawarkan” ke sejumlah partai politik besar di Jabar, tetapi tak juga ada yang mau serius ’membeli’ tawaran PKS. Alhasil, pemasangan artis Dede Yusuf ke Ahmad Heryawan sebenarnya dilakukan dengan strategi ”spekulasi” dengan memperhitungkan aspek selera budaya orang Sunda yang perhatian dengan soal kemampuan, tapi juga penampilan dan kemudaan.
Pola serupa Pilkada Jabar 2013-2018
Kondisi psikologis politik ini tampaknya kemudian disadari parpol-parpol yang dalam pilkada Jabar berikutnya (2013) memajukan calon-calon kepala daerah dari kalangan artis. Tercatat nama Dede Yusuf yang pecah kongsi dan maju sebagai calon gubernur, Rieke Diah Pitaloka dari PDI-P, dan Deddy Mizwar yang di pilkada ini menjadi calon wagub Ahmad Heryawan.
Hasil dari Pilkada Jabar 2013 itu sungguh ketat karena ada empat pasangan calon yang bertanding. Namun, karena Aher sebagai petahana sudah memiliki jejaring politik yang mapan dan luas, akhirnya dia dan Deddy Mizwar mampu memenangi pilkada dengan angka 32,39 persen. Pada peringkat berikutnya diraih Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki (28,41 persen), Dede Yusuf-Lex Laksamana (25,24 persen), Irianto-Tatang (12,17 persen), dan Dikdik Mulyana-Cecep NS Toyib (1,79 persen).
Komposisi pemenang Pilkada Jabar yang diikuti lima pasang calon itu memiliki pola pemenang 32 persen, 28 persen, 25 persen, dan 12 persen. Uniknya, di Pilkada Jabar lima tahun berikutnya (2018) komposisi itu kembali terulang, di mana pola 32 persen, 28 persen, 25 persen, dan 12 persen kembali terjadi meski diraih kandidat yang berbeda.
Pada Pilkada 2018 itu, paslon Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum meraih 32,88 persen, Sudrajat-Ahmad Syaikhu (28,74 persen), Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (25,77 persen), dan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan (12,62 persen).
Terulangnya komposisi persentase raihan suara di Pilkada 2018 tak sekadar merupakan hasil dari pilihan cair warga Jabar di pilkada. Lebih dari itu, terulangnya komposisi pemenang itu mencerminkan ketatnya kontestasi berebut suara di pemilih Jabar, terpolanya pilihan publik Jabar atas perbedaan ketokohan dan ranah dukungan sosial yang dibawanya, dan kekuatan mesin partai, khususnya ketika empat paslon atau lebih yang maju bertanding.
Sebagai contoh, peta persebaran suara pemilih memperlihatkan bahwa pemilih Ridwan Kamil-Uu Ruzanul Ulum tersebar di Bandung raya, Garut-Tasikmalaya, wilayah perbatasan Jateng, hingga pantura Jabar. Sementara Sudrajat-Ahmad Syaikhu lebih terpusat di Bogor raya dan perbatasan Jabar-Banten.
Adapun suara Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi banyak ditopang dari wilayah Purwakarta dan Karawang, sementara Tb Hasanuddin-Anton Charliyan hanya menguasai wilayah Majalengka dan Banjar.
Citarasa memilih pemimpin Jabar
Jelang Pilkada Jabar 2024, di mana Ridwan Kamil tak ikut kontestasi politik, akan menjadikan pilkada lebih menarik karena publik harus menakar kembali siapa yang akan dipilih sebagai pemimpin wilayah. Elektabilitas Dedi Mulyadi memang ada di peringkat kedua, tetapi hal ini bisa berubah ketika tak ada sosok RK bertarung. Disinilah Dedi harus mencermati karakter memilih orang Jabar.
Provinsi Jabar dikenal lebih menyukai pemimpin yang mencerminkan karakteristik budaya ”orang Sunda” yang berciri budaya politik Sunda, seperti cerdas, ramah, santun, dan berwibawa. Menyitir artikel ”Refleksi Budaya Politik dan Perilaku Memilih Suku Sunda” yang ditulis Ari Ganjar Herdiansah dan Husin M Al-Banjari dalam Jurnal Politika, Departemen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, 30 April 2023, terdapat dualitas budaya politik Sunda.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Golongan Menengah-Bawah Menjadi Kunci
Dualitas itu di satu sisi mengedepankan keharmonisan, taktik, dan penghormatan; sedangkan di sisi lainnya cenderung pasif dan menghindari cara konfrontatif. Tulisan yang mencoba memberi gambaran budaya politik etnis Sunda pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar 2018 itu menemukan, pemilih Sunda sangat memperhatikan aspek sosiologis dan ketokohan kandidat dalam pilkada.
Faktor kesamaan suku, agama, etnisitas Sunda sangat diperhitungkan. Namun, dalam pemilihan gubernur tampak bahwa faktor popularitas tokoh adalah pertimbangan utama. Aspek pengaruh keluarga dan kesamaan partai politik kurang begitu dominan sehingga pemilih Sunda dapat dikategorikan sebagai pemilih yang relatif independen dari preferensi keluarga.
Lebih lanjut, dalam hasil penelitian tersebut terindikasi gambaran karakter ideal pemimpin Sunda. Di antaranya yang paling tinggi adalah preferensi sikap dan kompetensi, terutama pendidikan. Berikutnya adalah karakter tegas, berwibawa, serta hubungan sosial yang ramah dan santun.
Pemilih Sunda mempertimbangkan kandidat yang memberikan perhatian pada isu-isu sosial ekonomi yang dihadapi kebanyakan orang Sunda. Pada akhirnya, preferensi atas etnisitas yang cukup tinggi di kalangan pemilih Sunda lebih pada faktor psikologis dalam mempertahankan status kesundaan di Jabar sebagai kesatuan politik. Hal itu sebagai ekspresi suku Sunda dalam memperkuat identitas yang terhubung dengan tanah kelahirannya.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Tantangan Kesejahteraan di Jabar
Keunikan dari pemilih Sunda adalah religiusitas yang tinggi tidak dalam makna konservatisme politik yang mengancam nilai-nilai kemajemukan. Orang Sunda tidak menyukai perebutan kekuasaan yang menjadikan suasana kekeluargaan menjadi rusak. Akibatnya, pilihan politik orang Sunda relatif cair, independen dan bahkan tidak terpaku pada partai politik bercorak agama.
Religiusitas dalam budaya politik Sunda lebih sebagai etik yang harus tampil dalam karakter personal kandidat dan kebijakan yang harmoni dengan nilai dan norma budaya masyarakat. Dedi Mulyadi atau kandidat lain yang bertarung harus mengenali kekhasan budaya ini, selain tentunya menjalankan mesin parpol secara efektif. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Elektabilitas Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi Bersaing, Partai Lain Berebut Posisi Cawagub